Curahan Hati Mantan Ketua KPK

Antasari Azhar: Sutradara Kasus Saya Terinspirasi Film "the Hurricane"

Rabu, 06/03/2019 21:06 WIB
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar (foto: law-justice.co/P. Hasudungan Sirait)

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar (foto: law-justice.co/P. Hasudungan Sirait)

law-justice.co - Wajahnya terlihat segar meski usianya hampir 66 tahun. Kulitnya nampak lebih putih; maklum: lama menghabiskan hari di hotel prodeo alias penjara. Lelaki berkumis baplang ini tetap terkesan serius dan garang. Berkaos putih polos merek Yves Saint Laurant dan bercelana biru dongker, mantan jaksa dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, dengan santai – meski tanpa senyum – menyambut kedatangan kami. Masih terasa betapa dia belum sepenuhnya nyaman jika bermuka-muka dengan tamu yang baru pertama kali dijumpainya.

Pengawal pribadi yang sudah puluhan tahun setia ikut dengannya telah mewanti-wanti agar kami tidak lama-lama mewawancarai. Alasannya, sang majikan baru sembuh dari penyakit.  

“Nanti wawancara 10 menit saja ya, karena Bapak baru sembuh sakit,” kata pemuda asal Sumatera Utara itu. Nyatanya, kami—Nikolaus Tolen, P. Hasudungan Sirait, dan saya—bercakap hingga hampir 5 jam dengan si empunya rumah. Meski tak ada suguhan kopi panas, perbincangan seputar masa purna menjalani hukuman serta flashback kasus yang menjeratnya, berlangsung seru petang itu.

Hampir 8 tahun Antasari Azhar mendekam di dalam Lapas Kelas 1 Tangerang. Kesalahannya?  ‘Sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban Nasarudin Zulkarnaen Iskandar,’ demikian bunyi dakwaan yang dialamatkan kepadanya.

Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara pada 2009 (foto: law-justice.co/P. Hasudungan Sirait )

Kami berbincang di sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter. Letaknya di lantai 1 bangunan bertingkat 2 di Perumahan Les Belles Mansion, Tangerang Selatan.  Selepas menjalani masa tahanan, dia banyak menghabiskan waktu di ruang tamu ini terutama menerima keluhan masyarakat yang membutuhkan saran terkait perkara hukum. Bilik yang terasa sesak karena penuh barang—ada satu set kursi tamu berjok kulit sintetis, rak-rak,  serta sebuah televisi—merupakan garasi mobil yang telah dialihfungsikan menjadi tempat kerja.

“Kegiatan saya sekarang, ceramah dan menerima orang yang datang ke sini curhat. Banyak tamu, asal rajin nongkrong di sini saja,” kata mantan jaksa yang telah berkarir di lembaga penegak hukum hampir 30 tahun.

Belum lama ini dia kedatangan tamu seorang ibu rumah tangga. Sambil menangis sang ibu menceritakan persoalan hukum yang menjerat suaminya, Kepala Kantor Pos di Muara Bungo, Jambi.

“Wah kaget juga saya. Ibu itu tiba-tiba menangis saat menceritakan kasus suaminya. Maka saya suruh yang jaga nemanin supaya jangan dikira ada apa-apa,” ucapnya tanpa tersenyum. Kekhawatiran dia tentu berdasar. Kasus hukum yang pernah menimpa lelaki bertubuh tegap yang kini memiliki 5 cucu toh melibatkan seorang perempuan.

Dia dituduh  sebagai otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar, bos PT. Rajawali Nusantara. Motifnya, menurut dakwaan, adalah cinta segitiga yang melibatkan seorang mahasiswi sekaligus caddy bernama Rani Juliana yang tak lain adalah istri siri korban. Wajar jika Antasari masih risih jika berhubungan dengan wanita yang bukan istrinya.

Tepok Jidat

Kembali ke kasus ibu rumah tangga tadi. Suaminya, Kepala Kantor Pos di Muara Bungo, Jambi, dipenjara setelah didakwa melakukan korupsi.  Lelaki itu membantah dakwaan namun tetap dihukum. 

Kasus ini, menurut istri yang mengadu itu,  bermula ketika brankas di kantor itu dibobol orang. Uang Rp 1 miliar di dalamnya raib.  Setelah mendapat laporan, polisi pun menyelidiki. Pelaku akhirnya mereka tangkap.  Penjaga kas itu sendiri rupanya yang membobol. Alasannya, dirinya butuh betul uang untuk membayar utang.

Tak sampai 2 bulan, polisi ternyata memanggil sang kepala kantor pos. Bukan sebagai saksi, ia malah dijadikan tersangka. Pengadilan kemudian memvonisnya. Kalau si pembobol  dikenai pasal tindak pidana pencurian 362 KUHP, ia dijerat dengan pasal korupsi.

Antasari menulis buku soal permasalahan hukum saat dalam penjara (foto: law-justice.co/ P. Hasudungan Sirait)

“Tepok jidat saya. Hukum begini udah kacau.  Dua-duanya dihukum dan suami ibu itu paling berat. Padahal tidak ada hubungannya; tanggung renteng saja. Saya minta ibu itu pulang ke Jambi, ajak lawyer-nya ke sini supaya saya arahkan untuk mengajukan PK [peninjauan kembali perkara]. Ini kesalahan penerapan hukum.”

Kepala Kantor Pos Muara Bungo, menurut dia, bisa mengajukan PK karena adanya putusan bertentangan untuk kasus yang sama yakni yang menggunakan pasal KUHP (mencuri uang di kantor) dan yang berdasarkan pasal korupsi (mengambil uang negara).

Antasari memang pantas memberi saran kepada mereka yang membutuhkan sebab dia sendiri, sebagai tertuduh-terdakwa,  sudah merasakan pelik-pahitnya menjalani proses hukum di negeri kita. Terkait perkara dirinya, ia sudah menjalani semua tahapan persidangan, termasuk  banding, kasasi, PK, uji materi PK. Yang terakhir ini bahkan sampai dua kali dilakukannya.

Lantas, selain pernah menjadi terhukum, ia juga berpengalaman panjang sebagai jaksa. Ia pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, sebelum kemudian menjadi Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum.

Sebagai orang merdeka, saat memberi nasihat hukum ia tak mengutip bayaran. Niatnya ingin berbagi saja ke masyarakat yang tidak paham hukum. “Saya saja yang paham hukum saja masih kena, gimana yang gak paham. Itu saja kerjaan saya tiap hari sekarang:  duduk, menunggu orang datang.”

Sejak masuk penjara  sebenarnya dirinya tidak lagi menerima gaji. “Sebetulnya saya masih punya hak di Taspen. Tapi nggak tahu saya, saya nggak proaktif nanyain. Karena saya dari kejaksaan mestinya tanpa saya proaktif mereka dong ngurusin. Data-data saya kan ada di kejaksaan. Mereka juga nggak peduli katanya, ya sudah,” kata lelaki kelahiran Bangka.

Beda Garis Politik

Bersama sang istri, Ida Laksmiwati, Antasari sekarang hidup dari tabungan yang dihimpunnya saat bekerja di bagian legal pada sebuah perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan tambang. Sekeluar penjara ia pernah bekerja dengan seseorang di kitaran Jl. Proklamasi, Jakarta, sebagai tenaga  legal. Gaji bulanan yang ia terima masuk ke rekening dan ditampung sang istri.

“Kelihatannya sudah tipis nih,” katanya seraya menambahkan: dirinya bersyukur karena kini anak-anak sudah mentas atau lepas dari tanggungan keluarga.

Sempat bekerja setahun lebih, dia memilih mundur karena perbedaan  garis politik.  “Owner-nya  kuat ke kanan, saya ke kiri. Saya pikir kalau saya bertahan, bahaya untuk saya,” ucapnya.  “Padahal saya sudah sering  mengingatkan dia agar fokus membesarkan usaha saja. Tapi dia bertahan di politik. Ya sudah,  saya mundur.”

Mundur dari pekerjaan karena beda garis politik (foto: law-justice.co/P. Hasudungan Sirait)

Antasari mendukung pencalonan kembali Presiden Jokowi pada pemilihan presiden April mendatang. Untuk itu, ia, beserta sejumlah tokoh politik termasuk Sumaryoto Padmodiningkrat, mantan anggota DPR RI dari PDIP, mendirikan Garda Jokowi.

Setelah tak lagi bekerja di perusahaan tambang yang memang bukan bidangnya, dia sempat bergelut di dunia hukum dan keadilan dengan memberi supervisi ke kantor pengacara milik temannya. “Ada sih rencana untuk buka law firm sendiri. Tapi terbentur modal.”

Sebenarnya dengan nama besar yang dimilikinya ia tak perlu kesulitan mendapatkan modal untuk membuka firma hukum sendiri. Masalahnya adalah ia tak mau meminta-minta. Itu sudah menjadi prinsipnya sejak bergabung dengan KPK. Sampai hari ini pun masih demikian. Menerima amplop pun ia masih canggung. Tentang yang satu ini ia punya cerita.

Pertengahan  Mei 2018 dia diundang untuk mengisi acara program Q&A (Question and Answer) di Metro TV. Usai acara, sebagai narasumber dia diberi angpau. “Spontan saya bilang, udahlah bagi-bagi kalian saja. ‘Lho Pak kenapa…kan  Bapak boleh menerima sekarang..’ Oh ya ya…saya boleh terima. Lupa.”

Reformasi Hukum Tak jalan

Sebagai orang yang merasa sebagai korban ketidakadilan hukum di negeri kita ada satu hal yang menjadi hirauan Antasari:  reformasi yang tak berjalan di ranah hukum sehingga kesetaraan di hadapan hukum belum mewujud. Yang ada, menurut penglihatan dia,  baru sedikit keseriusan ke arah itu. KPK sudah ada, misalnya. Namun tatanan belum rapi. Hukum cenderung masih berpihak ke mereka yang mempunyai kekuasaan dan uang banyak.

Integrated criminal justice tidak berjalan dengan baik. Proses peradilan, mulai dari laporan masyarakat, kemudian penyidikan, lalu penuntutan hingga ke pengadilan,  tidak satu irama. Acap kali prosesnya tersangkut. “Dengan segala hormat dan tidak maksud saya untuk mengecilkan arti korps saya sendiri, nyangkutnya banyak di kejaksaan.”

Kacaunya hukum di Indonesia tergambar misalnya dari kasus Nenek Minah dan Baiq Nuril. Keduanya divonis bersalah meski seharusnya  bisa dipertimbangkan untuk bebas.

Kenapa sampai muncul kasus nenek Minah yang viral itu…Kenapa sampai muncul kasus Baiq Nuril.. Itu semua karena jaksa. Terutama jaksa-jaksanya ya, bukan sistemnya. Sistemnya sudah benar. Aturan sudah benar. Tapi jaksanya tidak memahami apa yang mesti dilakukan dia,” kata Antasari.

Dalam hal penegakan hukum, menurut putra ke-4 dari 15 bersaudara pasangan H Azhar Hamid SH dan Hj Asnani,  seorang jaksa berposisi sentral sebab dia yang bisa menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi syarat untuk disidangkan atau belum. Yang menentukan sidang itu bisa atau tidak kan jaksa, bukan polisi.  Wewenang ini termaktub di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 139, yang berbunyi: “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.”

Kejaksaan mempunyai kedudukan yang sentral (foto: law-justice.co/ P. Hasudungan Sirait)

Hati nurani seorang jaksa, dengan sendirinya, penting saat dia menyidik sebuah perkara. Jaksa tidak boleh kaku hanya mempertimbangkan azas hukum dan UU saja. Dia harus secara menyeluruh membaca berkas hasil penyidikan polisi dari berbagai aspek termasuk, hukum, sosiologis dan filofofisnya. “Kalau dia tidak bisa berlaku demikian maka yang terjadi adalah munculnya ironi hukum. Kasus Nenek Minah, contohnya.”

Nenek Minah adalah penduduk Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Dia divonis penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan karena mencuri 3 butir kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan, pada 2 Agustus 2009. Kasus ini ramai diperbincangkan karena mengusik rasa keadilan. Seorang nenek yang buta huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik harus berhadapan dengan para hakim Pengadilan Negeri karena perbuatan sepele saja.

Seharusnya kasus Nenek Minah tidak hanya diuji secara legalistik, meski ia memang terbukti melanggar KUHP Pencurian pasal 362. “Tapi jangan stop di situ dong. Tahap satu legalistik. Lalu bagaimana aspek sosiologisnya?  Kenapa Nenek Minah ini mencuri? Ternyata dia lapar, dia mencuri hanya untuk makan. Saat melihat coklat  dipanen ia berpikir: kok bisa laku. Lalu dia ambil kakao jatuhan itu, dikumpulin, dicuci. Mau dijual, maksudnya. Kalau laku, uangnya untuk makan.”

Seorang jaksa penuntut sepatutnya juga mempertimbangkan aspek filosofis. Apakah layak nenek berusia hampir 70 tahun dihukum? Dengan pertimbangan itu maka jaksa bisa mengatakan kepada penyidik untuk menghentikan penuntutan. Keputusan ini kemungkinan akan menimbulkan polemik karena polisi akan mengatakan mereka sudah bekerja siang malam melakukan penyidikan, lalu tiba-tiba jaksa menghentikan penuntukan. “Lho, kan ada aturannya di KUHAP. Silakan ajukan pra-peradilan. Kita berdebat di situ masalah asas hukum. Hakim misalnya nanti bisa memenangkan jaksa. Berarti selesai.”

Para jaksa, menurut Antasari Azhar,  perlu meneladani dua jaksa agugn terkemuka: Singgih dan Baharuddin Lopa. Di mata dia, keduanya, terutama Singgih, mendekati sosok ideal jaksa agung. “Saya mengagumi ketegasan Pak Singgih. Saya juga mengagumi Pak Lopa.”

Seorang jaksa karir pertama yang menjadi jaksa agung,  Singgih dikenal sebagai tokoh yang memberi keteladanan dalam profesionalisme. Dia menjadi jaksa agung pada periode 1990-1998. Berkat prestasinya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adiprana. Dia juga mendapat penghargaan Bintang Pratamabhorn Knight Grand Cross of The Most Exalted Order of The White Elephant dari Raja Thailand (1993).

Bukan Pembunuh

Ketika kami berbincang kembali soal perkara hukum yang pernah menjeratnya, Antasari Azhar berujar bahwa sampai sekarang pun dirinya belum sepenuhnya merasa tenang. Dia masih berharap kelak akan terungkap siapa sesungguhnya dalang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Dirut PT Putra Rajawali Banjaran.

Ia tetap keukeuh dirinya tidak bersalah. Dia mengaku hanya korban dari sebuah skenario besar. “Kalau boleh saya bikin illustrasi, filmnya berjudul  ‘Pengorbanan Ketua KPK’. Ada produser, penulis skenario, sutradara, dan ada pemeran. Ada pemeran utama  lagi yang juga pelakunya. Pelaku itu mudah-mudahan 5 tahun ke depan baru muncul. Ketika dirinya sudah selesai, sudah basi baru ia muncul.”

Siapa gerangan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan ‘film’ tersebut?  Antasari memiliki jawabannya. Hanya saja ia belum bersedia megungkapkannya kepada khalayak luas.

Antasari, kisah getir seorang jaksa (foto: law-justice.co/ P. Hasudungan Sirait)

“Anda pernah nonton film berjudul The Hurricane? Katanya, pembuat skenario untuk saya itu terobsesi film itu. Saya diperlakukan seperti tokoh dalam film itu juga. Sang tokoh yang merupakan petinju dihukum seumur hidup untuk pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Dia dianggap berbahaya karena tidak terkalahkan. Para penjudi sulit mengatur skor,” jelasnya.  

Ber-genre drama dan dirilis pada 1999, The Hurricane mengadaptasi kisah nyata seorang petinju kelas menengah Amerika Rubin ‘The Hurricane’ Carter. Dibintangi Denzel Washington, kisah ini ihwal penangkapan Rubin sesaat setelah terjadi penembakan 3 orang di sebuah bar di Patterson, New Jersey. Korban suami-istri dan pegawai bar meninggal. Rubin dituduh membunuh berdasarkan kesaksian seorang korban yang sedang sekarat di rumah sakit. Dia kemudian disidangkan dan divonis hukuman seumur hidup. Sempat menjalani hukuman selama 20 tahun, Rubin akhirnya bebas berkat perjuangan seorang mahasiswa yang sempat membaca buku otobiografi Rubin yang ditulisnya  di penjara.

Mantan ketua KPK yang berwibawa ini berharap suatu ketika akan muncul keadilan yang akan mengungkap siapa pelaku sesungguhnya. Setelah menjadi manusia bebas, ia sendiri belum berpikir untuk terus melawan demi kebenaran. Keluarganya yang menjadi pertimbangannya.  

“Dulu, saat saya masuk penjara, kami masih berempat: saya. Istri, dan 2 anak.  Begitu keluar sudah nambah 7:  2  menantu dan 5 cucu. Itu yang saya pikirin. Kalau saya melawan terus untuk cari kebenaran maka  mereka yang sasar ini pasti khawatir  lalu susun kekuatan lagi. Kalau saya dihabisin, kan selesai. Kasihan cucu saya nanti nggak punya kakek lagi,” ucapnya dengan lirih.

Ada temannya yang menganggap dengan bersikap seperti ini ia pengecut. Dia bisa memakluminya.  “Kalau saya kejar,  nggak ada abis-abis-nya. Ya kalau dapat. Kalau nggak? Udahlah. Siapa yang mau bayar 8 tahun yang sudah saya jalani sia-sia…. Karier dan waktu habis. Pendapatan juga sekarang nggak ada;  hanya mengharapkan honor-honor ceramah yang dikumpul-kumpulin.”

Ia berharap pelaku sesungguhnya mengaku saja. “Kalau pelaku sesungguhnya tampil mengaku, ya saya nggak apa-apa kok. Nggak ada keinginan menuntut dia. Hanya penasaran saja,” tuturnya.  “Saya baru pada tatanan ikhlas, supaya tidak terbebani pikiran terus-menerus. Mikirin pelakuknya. Capek kan…. Sekarang sudah ikhlas dan tidak dendam.”

Pengungkapan pelaku yang sesungguhnya penting bagi Antasari yang saat ini telah menjadi kakek. “Supaya anak-cucu saya tidak men-stigma saya sebagai pembunuh. Kan cucu-cucu saya masih kecil,  nggak tahu apa-apa,” lanjutnya. Ia  tidak mau jika kelak cucu-cucunya meng-googling Antasari, yang keluar adalah informasi tentang seorang ketua KPK yang kemudian menjadi pembunuh. 

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar