UMP 2025 Naik 6,5%, Pengusaha Lempar Sinyal PHK

Sabtu, 30/11/2024 22:02 WIB
Ribuan buruh gelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/10/2023) dan jalanan di sekitar kawasan itu ditutup. Massa buruh yang menggelar demonstrasi menuntut omnibus law UU Cipta Kerja dicabut melakukan aksi bakar ban. Mereka terlihat mengelilingi ban yang dibakar itu. Robinsar Nainggolan

Ribuan buruh gelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/10/2023) dan jalanan di sekitar kawasan itu ditutup. Massa buruh yang menggelar demonstrasi menuntut omnibus law UU Cipta Kerja dicabut melakukan aksi bakar ban. Mereka terlihat mengelilingi ban yang dibakar itu. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa kenaikan UMP hingga 6,5 persen pada 2025 bakal cukup signifikan berdampak pada peningkatan beban operasional usaha, terutama beban biaya tenaga kerja. Di lain sisi, kenaikan upah dinilai bakal meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk.

Shinta mewanti-wanti kenaikan upah bisa berdampak buruk bagi nasib pekerja, alih-alih perusahaan. Opsi PHK dalam jumlah yang masif disebutnya bakal sulit dihindari oleh perusahaan. Pertimbagannya, kini realitas ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

“Hal ini (kenaikan UMP) dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang PHK serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” kata Shinta melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/11).

Kata Shinta, pengusaha kini sedang menunggu penjelasan pemerintah terkait dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen tersebut. Kini pula, belum ada penjelasan komprehensif apakah metodologi penghitungan tersebut telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual.

“Metodologi penghitungan tersebut penting, agar kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha. Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut,” ujar Shinta.

“Kami mendorong kepada pemerintah agar dapat memberikan penjelasan lebih rinci mengenai dasar penetapan kenaikan UMP ini serta mempertimbangkan masukan dari dunia usaha untuk memastikan implementasi kebijakan yang efektif dan berkelanjutan,” tambahnya.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, memandang ketidakmampuan pengusaha dalam menanggung kenaikan ongkos tenaga kerja juga dapat berdampak pada tertundanya investasi.

“Jika perusahaan tidak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, maka keputusan rasional terhadap penghitungan usaha akan dapat terjadi ke depan, yaitu penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu,” tutur Bob.

Bob menilai pemerintah tidak menghiraukan masukan dunia usaha dalam penetapan kebijakan ini. Padahal, kata Bob, Apindo telah memberikan masukan yang komprehensif dan berbasis data mengenai fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja.

“Namun, masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, buruh telah menerima keputusan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang baru saja diumumkan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (29/11/2024). Menurutnya, kenaikan upah minimum itu rasional, masuk akal dan sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Target yang kami harapkan (kenaikan) 8 sampai 10 persen. Karena Presiden sudah putuskan (naik) 6,5 (persen), dari usulan Menaker (6 persen), maka sudah mendekati nilai yang diharapkan buruh buruh," ujar dia dalam sebuah konferensi pers, Jumat.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar