Legalisasi Ekspor `Narkoba Hidup`, Siapa Diuntungkan?
Ekspor Benur Lobster Dibuka Lagi, Sekarang Mafianya Siapa?
Ilustasi: potensi korupsi di ekspor lobster. (bing)
law-justice.co - Benur bening lobster (BBL) bentuknya tergolong kecil, namun memiliki harga luar biasa. Statusnya saat dinyatakan sebagai komoditas yang dilarang untuk diekspor, membuatnya laiknya narkoba, diedarkan melalui jalur-jalur haram. Pemerintah kerap galau dalam mengatur tata niaga BBL, terutama untuk ekspor. Sekali waktu melarang ekspor dengan dalih lingkungan, lain waktu mengizinkan dengan alasan potensi devisa negara. Kini, pemerintah lagi-lagi membuka keran ekspor benur secara terbatas, siapa yang diuntungkan?
Kebijakan ekspor benur alias benih bening lobster (BBL) untuk kegiatan budidaya menuai polemik di masyarakat. Bagaimana tidak, kebijakan buka-tutup ekspor BBL rutin dilakukan selama Joko Widodo menjabat Presiden. Penutupan ekspor benur terakhir dilakukan oleh Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono pada tahun 2021 lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait izin ekspor BBL pada tahun 2020.
Penutupan keran ekspor oleh Trenggono ini bukannya tanpa resistensi. Alasan sulitnya budidaya lobster menjadi alasan. Kelompok nelayan yang telah terbiasa menjual benur lobster tangkapan, tentunya gagap saat dihadapkan pada kebijakan untuk budidaya. Selain butuh waktu, modal dan tenaga ekstra, budidaya benur ini pun rawan gagal.
Hal ini kemudian memicu terbentuknya pasar gelap untuk mengirim benur tangkapan ke luar negeri, khususnya Vietnam. Negara ini dikenal sukses melakukan budidaya benur hingga menjadi lobster. Tentu saja, mereka perlu bahan baku benur dari Indonesia. Sebab, siklus hidup lobster yang nomaden, bergerak laut-laut Indonesia dalam siklus yang teratur.
Buka Keran Ekspor
Meski sempat bertahan selama tiga tahun, tampaknya pertahanan Trenggono goyah juga dalam menjaga kebijakan menutup keran ekspor benur. Dia mulai membuka option untuk membuka kembali keran ekspor. Suksesnya Vietnam melakukan budidaya lobster, membuat disparitas harga yang sangat tajam. Hal ini tampaknya yang menjadi alasan Vietnam menerima benur dari indonesia meskipun melalui jalur haram.
Jalur haram ekspor benur ini ditengarai telah dikendalikan oleh sindikat yang mengatur tata niaga. Mulai dari nelayan tangkap, pengepul, hingga pada logistik pengiriman sampai ke Vietnam. Gelombang penyelundupan pun semakin masif. Meskipun aparat relah berulag kjali melakukan penggagalan upaya tersebut. Usai Raker bersama Komisi IV DPR RI, Selasa lalu, Trenggono juga menyatakan bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menggagalkan 2 juta penyelundupan benih bening lobster (BBL) atau benur di Indonesia pada hingga Agustus 2024 dengan potensi nilai ekonomi sebesar Rp 278,6 miliar.
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. (Medcom)
Menteri KKP mengatakan keberhasilan tersebut merupakan hasil kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum yang telah menggagalkan penyelundupan sebanyak 24 kali di 11 lokasi. "Melalui sinergi ini KKP berhasil menggagalkan penyelundupan dengan total 2 juta BBL dengan nilai Rp 278,6 miliar," katanya.
Selain itu, upaya yang sama KKP telah berhasil menyelamatkan penyelundupan 16.000 ekor BBL. Kemudian di perairan pulau panjang Kepulauan Riau berhasil diselamatkan 80 box benih benih lobster dengan jumlah 795.000 ekor lobster yang terdiri dari 783.000 jenis lobster pasir dan 12.300 jenis lobster mutiara.
Selanjutnya, Kata Menteri KKP, pihaknya juga menggagalkan penyelundupan BBL sebanyak 20 ribu ekor. Adapun modus penyelundupan BBL yang sering terjadi yakni pengepul BBL, menggunakan koper, menggunakan mobil berganti-ganti.
Kasus penyelundupan benih bening lobster sepertinya tidak pernah selesai. Kasus ilegal ini terus berlangsung dan tak pernah usai hingga hari ini.
Linimasa media acapkali menampilkan pengungkapan kasus-kasus tersebut. Siasat demi siasat dilakukan para oknum penyelundup untuk membawa benih benih lobster (BBL) ke luar negeri. Cuan yang menjanjikan jadi alasan tindakan buruk itu terus berlarut. Terbaru, Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menggagalkan upaya penyelundupan benih bening lobster sebanyak 795.500 ekor atau senilai Rp 90 miliar di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Rinciannya, 783.200 lobster pasir dan 12.300 lobster mutiara yang disimpan di dalam 80 box.
Tahun ini, ekspor benur kembali dibuka lewat Permen KP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portnusspp.) yang mulai berlaku pada 21 Maret 2024. Namun kali ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut kebijakan ekspor ini untuk kegiatan budidaya di luar negeri. Sayangnya, peraturan tersebut dinilai rawan celah korupsi salah satunya lewat kuota penangkapan benur.
Anggota Komisi IV DPR Suhardi Duka mengusulkan Pemerintah menerapkan kebijakan ekspor benih lobster secara terukur. Kebijakan ini sebagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menekan penyelundupan benih lobster Suhardi mengatakan ekspor benih lobster ini agak peka karena kemarin-kemarin ditutup. Dan ini banyak kepentingan, cuannya juga banyak. “Dua kali kita melarang, tapi penyelundupan jalan terus. Negara loss, tidak dapat apa-apa,” kata Suhardi kepada Law-Justice, Selasa (03/09/2024).
Anggota Komisi IV DPR Suhardi Duka. (Tribunnews)
Karena itu, dia menyarankan agar Menteri Kelautan dan Perikanan bisa mengambil kebijakan izin ekspor terukur, sehingga negara dapat menerima manfaat dari kegiatan ekspor benih lobster ini. Walau harus diakui, ekspor lobster ini lebih mahal dibanding ekspor benih lobster. “Yang paling bagus memang ekspor lobsternya, dibanding baby (benih) nya kan. Akan tetapi kalau belum mampu diatasi secara seluruhnya penyelundupan itu, maka diatur ekspornya juga. Yang penting betul-betul terukur, jangan sampai habis. Terukur dan kita mendapatkan PNBP,” katanya.
Suhardi juga menyatakan bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus secara intensif melakukan sosialisasi atas sejumlah peraturan KKP untuk meningkatkan PNBP. Beberapa waktu lalu, banyak nelayan kaget dengan beberapa penerapan aturan dalam rangka upaya peningkatan PNBP. Namun semua diatasi karena ada sosialisasi yang masif kepada stakeholders. “Dengan sosialisasi yang baik, nelayan kita bisa tenang dan bisa memahami bahwa antara pengusaha, dengan nelayan miskin, itu bisa sama-sama diuntungkan,” sebutnya.
Gerilya Trenggono, Konflik Kepentingan dan Laporan Ke KPK
Anggota Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty mengatakan, buka tutup ekspor benur terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Menurutnya, dinamika ini sangat merugikan nelayan termasuk hilangnya devisa negara.
“Ini dilakukan KKP untuk memfasilitasi penjualan BBL dari nelayan secara legal sehingga mampu memberikan dampak ekonomi bagi nelayan dan juga pemerintah tidak kehilangan devisa dari kegiatan tersebut,” ujar Saadiah kepada Law-justice, Jumat (06/09/2024).
Saadiah mengungkapkan, selama ini negara telah mengalami kerugian kurang lebih Rp 54 triliun per tahun akibat penyelundupan BBL. Menurutnya, pembukaan ekspor ini berpotensi tindak korupsi seperti yang terjadi di masa mantan Menteri KP, Edhy Prabowo. Dia bilang, celah korupsi itu muncul terkait kuota penangkapan BBL, di mana bila tidak dilakukan dengan hati-hati bakal membuka kesempatan mafia alias pemburu rente memonopoli kuota dan mengorbankan nelayan kecil.
“Praktik-praktik jual-beli kuota yang dilakukan oleh relasi penguasa dan pengusaha akan semakin memperburuk keadaan,” terang dia.
Saadiah meminta, pemerintah perlu waspada kepada para mafia yang hendak memainkan kuota tangkapan benur ini. Selain itu, kegiatan budidaya di luar negeri harus mendapat pengawasan yang ketat agar tepat sasaran serta menguntungkan negara dan nelayan.
“Tujuannya agar kita bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang maksimal dari kegiatan budidaya tersebut,” pungkasnya.
Sinyalemen yang diungkap Saadiyah, rupanya telah tercium juga Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI). Melalui Rusdianto Samawa slaku Ketua, ANLI melaporkan dugaan korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono terkait tata kelola lobster di Indonesia dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (30/8/2024).
Dalam laporan tersebut Rusdianto yang mencium adanya aroma ekspor benih bening lobster (BBL) ilegal berkedok budidaya. Disertai dengan adanya aksi di depan Gedung KPK, Rusdianto menyerahkan bukti dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut ke penyelidik KPK. “Kedatangan ke KPK ini kami pada prinsipnya dari Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia itu melengkapi data-data dugaan kasus ekspor yang berkedok budidaya benih bening lobster,” kata Rusdianto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jumat sore (30/8/2024) sebagaimana dilansir Maritimnews.
Rusdianto menjelaskan, pihaknya mempersoalkan adanya niat jahat untuk melakukan dugaan korupsi dan monopoli dengan adanya Peraturan Menteri KP Nomor 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) “Dalam pelaksanaan Permen ini ada monopoli yang kuat karena pemilik semua dari 10 perusahaan yang ada. Semua satu pemilik cuma orang-orangnya dipecah untuk bisa pegang satu-satu. Nah dalam hal ini kami menilai sangat monopoli sekali,” bebernya.
Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Rusdianto Samawa. (ist)
Pada pertengahan Maret 2024, Trenggono menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Beleid ini diyakini sejumlah aktivis perikanan dan kelautan sebagai celah masuk eskpor benih bening lobster. Regulasi ini tampak bertolak belakang jika mengacu kebijakan Trenggono di awal masa pemerintahannya yang mengeluarkan Permen KKP Nomor 17 Tahun 2021.
Rusdianto Samawa berpendapat fokus sejumlah pasal dalam Permen KKP Nomor 7/2024 itu menekankan kepentingan ekspor, alih-alih budi daya lobster. Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) ini mempertanyakan ketentuan dalam Pasal 3 yang menyatakan pembudidayaan benih bening lobster dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia. Ketentuan itu mengartikan kegiatan ekspor bisa berlangsung. Regulasi ini lantas dianggap menguntungkan kepentingan bisnis segelintir pemodal, ketimbang nelayan kecil.
Dia juga mewanti-wanti pasal 6 peraturan itu yang menekankan pembudidayan benur lobster di luar wilayah Indonesia hanya bisa dilakukan oleh investor atau pihak yang menjalankan pembudidayaan Indonesia. Perusahaan asing yang menjalankan mekanisme budi daya benur lobster, pun mesti berasal dari negara yang sudah meneken perjanjian dengan Indonesia serta membentuk badan hukum perseroan terbatas di Indonesia. Adapun Vietnam kini menjadi negara satu-satunya yang telah menjalin kemitraan bisnis dengan Indonesia. Mereka juga memiliki kebutuhan tinggi akan lobster. “Setelah terbit Permen itu, saya menduga terjadi kongkalikong antara mafia benih bening lobster berkedok budidaya,” kata Rusdianto.
Dugaan Rusdianto agak relevan bila merujuk pada pembentukan sejumlah perusahaan di Indonesia yang terafiliasi secara modal dengan perusahaan Vietnam. Dalam dokumen perusahaan yang didapat Law-justice, terdapat 5 perusahaan yang menyokong kegiatan ekspor benur lobster. Mereka adalah PT Gajaya Aquaculture International, Idichi Aquaculture International, PT Idovin Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, dan PT Mutagreen Aquaculture International. Waktu pengesahan seluruh korporasi itu sama, yakni 29 Februari 2024 atau dua pekan sebelum Trenggono meneken Permen. Total modal yang ditempatkan pun sama bagi lima perusahaan, yakni sebesar Rp20,5 miliar.
Dari data yang Law-justice miliki, lima perusahaan Vietnam membentuk patungan usaha atau joint venture dengan lima korporasi asal Indonesia itu. Di antaranya, Phu Gia Long tranding Joint Stock Company, Aquagreen Trading Company Limited, Ichika Joint Stock Company, New World Seafood Trading Import Export, dan The Global Trading Company Limited.
Narasumber yang mengetahui tali-temali bisnis antar perusahaan ini bilang dana operasional berasal dari satu orang yang membawahi PT Perusahaan Joint Venture Indonesia – Vietnam (JVMIV). Korporasi itu merupakan induk usaha Mutagreen dkk. Holding itu menunjuk Mutagreen sebagai pengendali lintas afiliasi perusahaan dalam aktivitas ekspor benur lobster. Kata dia, hal ini sebagai bentuk monopoli ekspor benur lobster oleh perusahaan Vietnam yang menyokong perusahaan di Indonesia. “Sementara perusahaan lain hanya pajangan,” kata narasumber itu.
Sementara itu, berdasarkan investigasi dan informasi yang berhasil dihimpun law-justice, Trenggono diketahui pernah memboyong sejumlah pejabat KKP, pengusaha dan akademisi ke Vietnam pada Mei 2023. Mereka datang ke Vietnam bertujuan meloloskan kemitraan Indonesia-Vietnam dalam urusan budi daya dan jual-beli benih bening lobster. Di Vietnam, Trenggono bertemu seorang warga Vietnam bernama Tran Quang Vinh atau biasa dipanggil Cen. Trenggono disebut mengandalkan Cen sebagai perantara yang mencarikan investor.
Seorang narasumber yang mengetahui relasi Trenggono dan Cen, mengatakan Cen berhasil meyakinkan sejumlah taipan Vietnam untuk berinvestasi. Cen tidak bergerak sendiri karena pengusaha Indonesia juga turut terlibat. Mereka adalah Toto Nursatyo dan Paul Gurusinga. Toto sempat menjabat direktur di Sriwijaya Air. Sedangkan Paul terkenal sebagai pebisnis lobster. Belakangan diketahui, Paul maju dalam pemilihan legislatif 2024 dari partai Gerindra. “Mereka (Toto dan Paul) sebagai pelobi,” kata narasumber itu.
Sebuah foto yang menunjukkan Trenggono dan Chen saat bertemu di Vietnam. Chen (warga vietnam) diduga sebagai makelar yang mencari investor di Vietnam. Foto ditengarai diambil tanggal 23 Desember 2023. Law-justice sudah mencoba mengkonfirmasi ke Menteri KKP Wahyu Trenggono (ist)
Paul O. Gurusinga juga dikenal sebagai Sekretariat Jenderal (Sekjen) Penggiat Budi Daya Lobster Nusantara (PBLN) yang kerap menyuarakan dukungan untuk mmebuka keran ekspor benur. Paul, sempat menyampaikan ke media, dia menilai kebijakan supply chain lobster memberikan manfaat signifikan bagi nelayan dan negara. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7/2024.
Paul menyebut kebijakan tersebut merupakan langkah progresif untuk mendorong Indonesia menempati posisi penting dalam global supply chain lobster. "Usaha pemerintah patut diapresiasi. Kami sebagai pelaku industri perikanan memiliki harapan besar terkait perbaikan pengelolaan benih lobster setelah diterbitkannya Permen KP Nomor 7/2024," kata Paul dalam keterangan tertulis, Rabu (4/9/2024) sebagaimana dilansir Detik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal menindaklanjuti laporan ANLI terkait kebijakan benih bening lobster (BBL) yang sarat dugaan korupsi, bahkan melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Sakti Wahyu Trenggono. Kepastian itu disampaikan Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, Senin (15/7/2024) sebagaimana dikutip RMOL.
Jika syarat-syarat itu lengkap, bisa ditindaklanjuti ke proses berikutnya, yakni penyelidikan. Maka KPK tak segan memprosesnya di penyelidikan. "Kalau memang ada indikasi tindak pidana korupsi, tapi syaratnya belum lengkap, tentu diminta dilengkapi dokumennya," pungkas Tessa.
Dugaan Aliran Dana
Cen yang disebut-sebut dekat dengan sejumlah taipan Vietnam rupanya sukses nenjalankan tugasnya. Lobi-lobinya menghasilkan pencairan dana investasi yang mulanya disepakati sebesar 10-20 juta US$. Sebagian kecil dana itu digunakan untuk sosialisasi masyarakat dan nelayan ihwal budi daya lobster di tanah air. Sebagian besar lagi dialokasikan untuk operasional budi daya, mulai dari modal beli benih, pembentukan koperasi nelayan dan badan layanan umum serta pendirian perusahaan.
Namun pada awal Januari 2024, narasumber yang mengetahui aliran dana investasi ini bilang, taipan Vietnam memangkas dananya menjadi Rp200-500 miliar. Berselang tidak lama, Trenggono mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyepakati kerja sama dengan Pemerintah Vietnam terkait pembangunan perikanan tangkap dan budi daya, investasi dan budi daya lobster.
Wakil Ketua Masyarakat Akuakutur Indonesia, Budhy Fantigo, mengatakan Permen KKP Nomor 7/2024 didesain oleh Trenggono untuk taipan Vietnam memonopoli ekspor benur lobster. Modal dari Vietnam digunakan untuk pembentukan BLU khusus lobster, yang sebenarnya tidak pernah ada BLU untuk satu komoditas tertentu. Dari BLU itulah, perusahaan Vietnam membeli lobster hasil tangkap yang semulanya dikumpul di koperasi nelayan. “Dari pengiriman 100 ribu ekor saja, mereka berpeluang mendapat cuan 1,5 miliar rupiah. Sekira 15 ribu rupiah per ekor,” kata Budhy pada Jumat (6/9/2024).
Perusahaan Vietnam yang berkongsi dengan pebisnis Indonesia ini, kata Budhy, sebetulnya menyalahi aturan bukan saja karena telah memonopoli ekspor, tapi juga menyalahi aturan dari Permen soal budi daya. Sebab, perusahaan sama sekali tidak melakukan budi daya lobster secara berarti. Adapun KKP menetapkan Pantai Penyaringan di Jembrana, Bali sebagai satu-satunya pusat budi daya lobster.
Namun dari hasil penelusuran yang dilakukan pihak Budhy, aktivitas budi daya tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Di Jembrana itu, lokasi budi daya tidak memenuhi syarat. Dan saya melihat itu jelas kamuflase saja budi dayanya. Bukan bertujuan untuk mencapai hasil, tapi hanya untuk membenarkan ada budi daya sehingga mereka bisa ekspor BBL,” kata Budhy.
Sementara itu, ekspor benur lobster saat ini mencapai 3,1 juta ekor. Dari data yang dihimpun ANLI, total ekspor pada awal bulan Maret hingga akhir Agustus ke Vietnam sebanyak 2,2 juta ekor. Teranyar, ekspor sudah mencapai 3,1 juta ekor sampai awal September. Namun, capaian jutaan ekspor ini tidak berbanding lurus dengan capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Trenggono sendiri menggemborkan cuan yang akan didapat negara dari hasil budi daya benur lobster yang cenderung ekspor ini.
Berdasar data di laman PMO KKP, pemerintah hanya menerima PNBP sebesar Rp3,6 miliar. Jumlah ini cukup jauh nominalnya apabila merujuk nilai PNBP per ekor benih sesuai regulasi PP Nomor 75 Tahun 2015. Dalam beleid itu, tarif penetapan PNBP untuk benih lobster terbesar senilai Rp3.000. “Yang harus masuk PNBP ke negara itu berkisar Rp9,8 miliar,” kata Rusdianto.
Narasumber yang mengetahui dugaan bancakan dari ekspor benur lobster ini bilang, ada semacam fee untuk pihak-pihak yang terlibat dalam proses ekspor. Dana itu diduga berasal dari taipan Vietnam yang membentuk sejumlah joint venture di Indonesia. Sejumlah orang dan pejabat dalam lingkar inti perusahaan mematok fee dari setiap pembelian dan ekspor per ekor benih senilai Rp1.000. “Dugaan pemberian fee kurang lebih 500 ribu dollar kepada sejumlah pejabat pemerintah, termasuk saat kegiatan sosialisasi dan MoU berlangsung di Vietnam. Hal itu di lakukan oleh sejumlah pimpinan perusahaan yang mendapat izin dan terlibat dalam ekspor BBL,” kata narsum itu.
Tolak Ekspor = Dukung Penyelundup?
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono buka suara terkait polemik benih benur lobster, saat ini ia tengah menekan praktik penyelundupan benih bening lobster (BBL). Trenggono mengatakan jika ada yang menghalangi untuk mengatasi hal tersebut merupakan bagian dari mafia penyelundupan BBL.
Trenggono menjelaskan, pihaknya telah mengubah tata kelola pada BBL untuk menekan praktik penyelundupan BBL. "Kalau saya bilang, saya punya inisiatif seperti itu lalu ada yang menghalangi, yang menghalangi itu adalah bagian dari mafia penyelundupan," kata Trenggono melalui keteranganya yang diterima Law-Justice, Selasa (03/09/2024).
Trenggono menyebut, pihaknya telah menekan penyelundupan BBL dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.). Namun, peraturan yang mestinya harus dipatuhi oleh seluruh pihak itu tetap tidak bisa menghentikan praktik gelap tersebut.
"Kita dikasih anugerah sama Tuhan lobsternya begitu luar biasa, beranak-pinak di wilayah kita. Dia tidak bisa beranak di negara lain atau di laut lain karena iklim. Tapi kenapa yang berkembang di negara lain untuk budidaya? Sudah kita tahan dengan Permen (Peraturan Menteri) untuk tidak dilakukan perdagangan tapi yang terjadi lolos terus," jelasnya.
Dia pun telah menyepakati kerjasama perikanan dengan Vietnam, sebagai negara yang selama ini menjadi memanfaatkan BBL dari Indonesia untuk kegiatan budi daya. Vietnam membutuhkan ratusan juta ekor BBL untuk menopang kegiatan budi daya. Kerja sama bilateral ini utamanya untuk menekan praktik penyelundupan BBL, membuka pintu investasi budidaya lobster modern di Indonesia, transfer teknologi hingga etos kerja yang selama ini diterapkan pembudidaya di Vietnam ke Indonesia.
"Faktanya lolos (penyelundupan) apa yang harus saya lakukan sebagai menteri? Bicara dengan Menteri MARD (Pertanian dan Pembangunan Pedesaan), bicara bilateral ayolah beginilah walaupun mereka juga tidak mudah," imbuhnya.
Tidak berhenti sampai di situ, dia juga telah mengubah tata kelola BBL. Perubahan tata kelola ini salah satunya akan menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari aktivitas perdagangan BBL secara resmi. Trenggono menyebut negara akan menerima PNBP Rp 1,5 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur budidaya lobster modern di Indonesia. "Kalau itu kita bisa penuhin dan jumlahnya betul bisa mencapai seperti itu bisa mendapatkan Rp 1,5 triliun dari PNBP. Rp 1,5 triliun ini bisa melakukan banyak hal, seperti pembangunan sektor kelautan khususnya di bidang budidaya," imbuhnya.
Bernegara tak semata-mata cuan. Ada sejumlah tanggungg jawab pemerintah dalam mengelola negara. Salah satumya adalah memastikan kelestarian dan keberlangsungan hidup. Persoalan ekspor benih lobster, berpotensi merusak lingkungan terutama akibat penggunaan alat tangkap yang merusak. Jika henak membuka keran ekspor, seyogyanya, Trenggono mesti memeriksa ulang kebijakan dia yang sebelum yakni melarang ekspor.
Membuat rangkaian kebijakan dengan design sedemikian rupa, sehingga kebijakan yang diterbitkan seolah memang telah disetting untuk dikerjakan oleh segelintir pengusaha tentunya sulit untuk mengatakan tidakl ada konflik kepentingan. Ditambah lagi kebijakan ini justru dilakukan di penghujung masa pemerintahan Jokowi. Kebijakan ini, tentunya akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Tak salah jika masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kebijakan ini mencurigai adanya kongkalikong antara pengusaha dengan birokrat. Betapa tidak, razia terhadap nelayan yang menjual benih lobster makin masif belakangan ini. Ditambah lagi, kebijakan ekspor yang hanya akan menguntungkan konglomerat vietnam saja.
Maka tal berlebihan jika masyarakat berharap banyak pada KPK dan juga presiden terpilih Prabowo untuk serius menangani persoalan ekspor benih ini. Jika meujuk pada hasil investigasi, semestinya tidaklah susah bagi penegak hukum untuk memberangus dugaan korupsi ini. Sebab, aturan-aturan yang baru saja diterbitkan ini justu telah secara sadar dilanggar. Kata kuncinya da di elemen budidaya. Demikian juga kepada Prabowo, agar mewaspadai. Jangan lupa, kalau Menteri Kelautan yang diberangus KPK akibat kasus korupsi izin ekspor benuh adalah kadernya sendiri. Jangan sampai sejarah teriulang.
Rohman Wibowo
Ghivaryu Apriman
Komentar