Bancakan di Proyek Rumah Dinas DPR
Saat kegiatan sidak Rumah Jabatan Anggota, Kalibata, Jakarta Selatan. Diduga ada korupsi dibalik pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR periode 2022. KPK sedang melakukan penyidikan kasus ini. Foto: Parlementeria.
Jakarta, law-justice.co - Tampak dari luar, pabrik bernama PT Dwitunggal Bangun Persada ini tampang kosong melompong saat jam siang yang biasanya waktu produktif. Pintu depan pabrik dibiarkan terbuka sedikit dan tak terlihat aktivitas kendaraan bongkar-muat barang. Sedangkan, aktivitas pabrik lain yang bersebelahan dengan Dwitunggal Bangun disibukkan dengan pekerja yang mondar-mandir memuat barang dengan alat berat.
Begitu melongok ke dalam, tampak ada tiga orang yang bergelut dengan pekerjaannya—ada yang memahat kayu, sisanya lagi semacam memoles barang jadi olahan kayu. Di lantai atas pabrik yang merupakan bagian back office terlihat hanya ada beberapa karyawan. Pabrik yang berlokasi di kawasan industri Sentul, Bogor, ini bergerak di bidang furnitur yang menjadi pemenang tender kelengkapan sarana rumah jabatan anggota DPR di kompleks Ulujami dan Kalibata, Jakarta Selatan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya praktik korupsi dalam proyek itu. Bancakan diduga terjadi pada medio 2020, yang kala itu Dwitunggal Bangun Persada dipimpin oleh Juanda Hasurungan Sidabutar selaku direktur utama. Dalam proses penyidikan, Juanda menjadi satu di antara tujuh orang yang dicegah bepergian ke luar negeri.
Merujuk LPSE DPR RI periode 2020, perusahaan Juanda menang tender dengan nilai proyek sebesar Rp39,7 miliar untuk menggarap kelengkapan sarana RJA DPR RI di Kalibata yang mencakup Blok A dan B. Total ada 70 peserta lelang dan 7 diantaranya mengajukan penawaran. Dengan angka penawaran sekira Rp38,9 miliar dan tanpa koreksi administrasi, kualifikasi hingga teknis, Dwitunggal Bangun menang tender. Pesaing lainnya seperti PT Elsa Graha Multikarya yang menawar lebih tinggi di angka Rp39,1 miliar tak lolos karena permasalahan rekening bank.
Penyidik komisi antirasuah menduga modus korupsi dalam proyek adalah penggelembungan atau mark up harga. Sejumlah kelengkapan rumah jabatan mulai untuk di ruang tamu hingga kamar tidur diduga dipatok lebih tinggi dari harga pasaran. Lain itu, disebut pula proses lelang hanya formalitas lantaran pemenang lelang sudah ditentukan sejak awal. “Pelaksana lelang sudah menentukan siapa pemenang lelang dan berapa harga perkiraan kelengkapan sarana rumah dinas untuk dikondisikan,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada Law-justice, Rabu (20/3/2024).
Kepada Law-justice, General Affair PT Dwitunggal Bangun Persada, Riki, mengatakan penyidik KPK sempat mendatangi pabrik pada 6 Maret lalu. Dia masih ingat bagaimana saat itu 6 penyidik memasuki ruangan Juanda dan menyita beberapa dokumen seperti nota keuangan dan berkas yang berkaitan dengan tender.
“Penyidik bertemu Pak Juanda selama 3 jam di ruangannya. Selain dokumen handphone bapak juga disita. Tapi belakangan udah dibalikin,” kata Riki saat ditemui di kantornya, Jumat (22/3).
Dia juga masih ingat bosnya sempat mendatangi KPK pada medio 2021 untuk pemeriksaan kasus bancakan ini. Selain Juanda, kata Riki, Direktur Keuangan perusahaan saat itu juga ikut dimintai kesaksiannya. Menurutnya, kasus ini berkaitan dengan politik Pilpres 2024 sehingga meyakini bosnya tidak terlibat korupsi proyek.
“Nyesel juga kami ambil proyeknya kalau tahu akhirnya begini. Nilai (proyek) enggak seberapa padahal. Ya ini ada kaitannya dengan politik,” kata dia.
Meski KPK bilang adanya kongkalikong dalam pemenang lelang dan harga satuan proyek, Riki mengklaim, produk yang digarap pabriknya berkualitas tinggi. Untuk beberapa partikel perabotan, katanya, berbahan impor. Namun, merujuk laporan Kompas.id yang menyambangi rumah dinas DPR di Kalibata beberapa waktu lalu, didapati beberapa perabotan dalam kondisi yang tidak layak. Ambil contoh seperti lemari kayu yang kondisinya sudah ringkih, padahal pengadaan barang baru berlangsung tak lebih dari empat tahun.
Pada saat KPK menyambangi pabrik milik Juanda pada awal Maret, penyidikan korupsi kasus ini diumumkan pada akhir Februari-nya. Memulai proses penyidikan, KPK mengumumkan 7 orang yang dicekal ke luar negeri. Selain Juanda Sidabuntar, Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur mengonfirmasi ada enam orang lainnya yang masuk daftar cekal pihak Imigrasi atas perintah KPK. Mereka adalah Indra Iskandar, Sekjen DPR RI, Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR Hiphi Hidupati, Direktur Utama PT Daya Indah Dinamika Tanti Nugroho, Direktur Operasional PT Avantgarde Production Kibun Roni, Project Manager PT Integra Indocabinet Andrias Catur Prasetya dan Edwin Budiman, pihak swasta.
“Pencegahan ini sebagai upaya untuk menguatkan proses penyidikan, termasuk memnimalisir adanya upaya menghilangkan barang bukti dan hal tidak diinginkan lainnya yang menghambat penydikan,” kata Asep yang belum menjawab jelas siapa saja tersangka kasus ini.
Yang jelas, kata dia, KPK sedikitnya sudah melayangkan surat pemeriksaan kepada puluhan saksi sepanjang Maret ini. Ditambah, katanya, dalam kasus ini tersangka berpotensi lebih dari dua orang yang melibatkan pihak Setjen DPR, BURT DPR hingga pihak vendor. Sementara itu, kabar soal Sekjen DPR RI, Indra Iskandar dan Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR, Hiphi Hidupati, juga sudah mengemuka.
Adapun lebih rincinya, berikut saksi-saksi yang dipanggil penyidik: Erni Lupi Ratuh Puspasari (PNS Setjen DPR RI /Staf Setkom VI); Firmansyah Adiputra (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Kalibata DPR RI TA 2020); Moh Indra Bayu (PNS Setjen DPR RI (Analis Tata Usaha Bagian Pengadaan Barang dan Jasa); Masdar (PNS Setjen DPR RI / Pengadministrasi Umum / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Kalibata DPR RI TA 2020); Mohamad Iqbal (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Ulujami DPR RI TA 2020); Muhammad Yus Iqbal (Kabag Risalah Persidangan I DPR RI, tanggal 1 Juli 2019 s.d sekarang); Rudo Rochmansyah (Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan DPR RI 2019-2021); dan Satyanto Priambodo (PNS Setjen DPR RI / Kepala Biro Pengelolaan Bangunan dan Wisma DPR RI)
Kemudian, beberapa ASN dan pihak swasta juga dipanggil sebagai saksi, mereka adalah: Sjaepudin (PNS Setjen DPR RI/Analis Bagian Pengadaan Barang/Jasa 2019-2020); Sri Wahyu Budhi Lestari (PNS Setjen DPR RI /Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa); Sutrisno (PNS Setjen DPR RI/Kepala Subbagian Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa); Syamsul Hadi (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana/Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Ulujami DPR RI TA 2020); Tomy Susanto (PNS Setjen DPR RI); Usman Daryan (Pemelihara Sarana dan Prasarana Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR RI Tahun 2012- sekarang); Wildan (PNS/Kasubbag Admin dan Logistik Pamdal DPR RI); Adhar (Direktur PT Haradah Jaya Mandiri); Adung Karnaen (Direktur Utama PT Alfriz Auliatama); dan Andi Wiyogo (Swasta).
Teranyar pada 18 Maret, penyidik memanggil 6 saksi, di antaranya mantan karyawan jenama elektronik Samsung, Aramdhan Omargandjar; Budi Asmoro (Direktur Utama PT Wahyu Sejahtera Berkarya); Andri Wahyudi (Freelancer Koordinator Pengawas Lapangan RJA Ulujami-PT Sigmabhineka Konsulindo (Tahun 2020); Andrias Catur Prasetya (Project Manager PT Integra Indocabinet); Anita Emelia Simanjuntak (Ibu Rumah Tangga); dan Ariel Immanuel A M Sidabutar (Direktur PT Abbotindo Berkat Bersama)
Untuk nama yang terakhir disebut berdasar penelusuran Law-justice adalah putra dari Juanda Sidabutar. Perusahaan Abbotindo Berkat Bersama yang menempatkan Ariel Immanuel sebagai direktur tersebut merupakan perusahaan furnitur yang terafiliasi dengan PT Dwitunggal Bangun Persada. Lokasi dua perusahaan anak-bapak ini juga berdekatan yang berlokasi di kompleks industri Sentul, Bogor.
Dalam laman katalog LKPP, produk jenama Abbot seperti lemari arsip terdaftar pemilik atas nama Juanda Sidabutar. Perusahaan Abbotindo juga tercatat mengajukan penawaran pada sejumlah proyek pemerintahan, mulai dari BNPB, Kemensos hingga MPR. Relasi kedua perusahaan ini juga terlihat dari beberapa lowongan kerja yang mengatasnamakan Abbotindo Berkat, namun ada embel-embel nama Dwitunggal Bangun dalam poster loker. Riki, GA dari Dwitunggal Bangun, pun mengonfirmasi relasi anak-bapak antara Juanda dan Ariel. “Iya (benar putra Juanda). Kalau Pak Juanda masih aktif, Ariel suka datang ke kantor. (Tapi) semenjak pergantian direktur, Pak Ariel juga enggak pernah hadir lagi,” kata Riki yang juga menjelaskan Juanda kini menjabat komisaris Dwitunggal Bangun.
Bicara soal suspect atau tersangka, dalam kebiasaan KPK--pihak-pihak yang dicekal keluar negeri adalah mereka yang berpotensi menjadi tersangka. Dalam status hukum Juanda yang termasuk dalam daftar cekal kasus ini, kami sudah berupaya untuk mengontak kuasa hukum Juanda Sidabutar, tetapi hingga kini tidak diberikan akses. Riki yang saat ditemui mulanya mengatakan bahwa pengacara sedang ada di kantor Dwitunggal, akan tetapi di ujung pembicaraan, dia menarik ucapannya.
Asep Guntur mengatakan total proyek yang sedang diusut KPK berkisar Rp120-an miliar. Jika merujuk pada LPSE DPR periode 2020, ada empat proyek yang jika dijumlahkan menyentuh angka Rp121.420.925.200. Selain proyek yang dimenangkan perusahaan Juanda, ada pula pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Ulujami dengan nilai pagu paket Rp9.963.500.000 dengan HPS sebesar Rp 9.962.630.700. PT Hagita Sinar Lestari Megah keluar sebagai pemenang tender dengan nilai penawaran Rp9.752.255.700.
Lain itu, ada pengadaan kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok C dan D dengan nilai pagu paket Rp 37.744.100.000 yang dipatok nilai HPS-nya sebesar Rp 37.741.324.500. Dalam tenderi ini, PT Haradah Jaya Mandiri terpilih dengan penawaran harga sebesar Rp36.797.807.376. Terakhir, terdapat pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok C dan D dengan nilai pagu paket Rp33.991.800.000 dengan nilai HPS sebesar Rp33.989.263.000. Proyek ini dimenangkan PT Paramitra Multi Prakasa yang memasukkan harga penawaran sebesar Rp32.863.600.000.
Sekjen Seknas Fitra, Misbah Hasan, menduga modus korupsi kasus ini berkutat pada penggelembungan harga yang disepakati antara pihak pemberi proyek (Setjen DPR) dan vendor. Akibat mark-up ini lah yang mempengaruhi kualitas produk yang dipasok ke rumah dinas. Alih-alih anggaran untuk produk berkualitas baik, tetapi yang ada sebaliknya. “Menurut saya ada potensi mark up anggaran, lalu sewaktu sudah di mark up, kualitas barang yang diadakan itu tidak sesuai dengan spesifikasinya. Ada dua layer potensi korupsi dan dua keuntungan,” kata Misbah kepada Law-justice, Kamis. (21/3).
Menurutnya, mark up harga yang disusun dalam anggaran sehingga berdampak pada produk tidak sesuai spesifikasi ini merupakan modus lama dalam pengadaan barang dan jasa. Katanya, antar pihak yang mengondisikan penggelembungan harga ini sudah merencanakan sejak awal pengadaan. Dari tren mark up yang terjadi selama ini, sedikitnya penggelembungan harga hingga 30 persen dair harga asli.
“Dari proses lelang, besar kemungkinan pemenangnya sudah disiapkan sehingga proses lelang itu hanya formalitas. Karena sudah ada deal dan kick back dari pengkondisian pemenang tender itu. Ini harus ditelusuri oleh KPK, apakah memang dari awal didesain untuk korupsi dari pengadaan ini,” ucap Misbah.
Misbah juga menyoroti sikap anggota DPR yang diberi jatah rumah dinas. Agak tampak janggal, katanya, jika anggota DPR tidak memperhatikan kualitas dari kelengkapan rumah dinasnya. Sehingga, patut diduga pula ada keterlibatan para politisi Senayan dalam kasus ini. Ia mewanti-wanti, KPK harus menelusuri aliran bancakan sampai tuntas, tidak sebatas berhenti pada pihak vendor, BURT dan Setjen DPR. Misbah menekankan titik tolak peranan politisi parlemen dalam pusaran kasus ini erat kaitannya dengan fungsi anggaran yang dimiliki DPR.
“Kalau potensinya (korupsi) sudah sejak awal sejak perencanaan, artinya memang pengawasan di DPR lemah. Apakah ada peran dari anggota dewan dan parpol tertentu. KPK harus bisa sejauh itu. Karena enggak mungkin dinikmati sendirian oleh Sekjen DPR,” kata Misbah.
Adapun secara garis besar proses penganggaran di DPR bermula dari pengajuan Setjen DPR kepada Kemenkeu. Dari sana, diakomodir dalam nota keuangan dan RAPBN sebelum dibahas pada rapat komisi di parlemen. Hingga akhirnya dibahas dalam forum paripurna untuk menentukan ihwal apa yang menjadi kebutuhan dan berapa anggaran Setjen DPR dalam kepentingan rumah dinas.
Koordinator Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman, menengarai kasus korupsi ini beririsan dengan politik Pilpres 2024. Dia merujuk pada periode korupsi yang dinilainya cukup lama untuk diputuskan diusut oleh KPK. Kata dia, potensi korupsi pengadaan di DPR terbuka lebar setiap tahun, bukan hanya pada 2020. Yang kami garisbawahi ini kasus 2020 lalu dibukanya di tahun 2024, momentumya tahun politik. Kami dorong ke KPK untuk tidak politisasi kasus.
Sependapat dengan Misbah, pihak yang terlibat dalam kasus ini tidak hanya ASN di lingkungan Setjen DPR dan pihak vendor. Tetapi juga aktor politik di parlemen, mengingat fungsinya dalam hal anggaran. Dia menduga ada pembiaran dari level perencanaan yang membuka praktik bancakan.
“Pengadaan ini kalau janggal anggarannya, harusnya tidak dibiarkan lolos (oleh DPR). Jadi aneh kalau proyek ini lolos. Sehingga kami curiga yang paling banyak terlibat itu di lingkaran politisi DPR,” kata Jajang kepada Law-justice, Kamis.
Dia juga mendorong penyidik KPK untuk menelusuri aliran dana bancakan yang diduga mengalir sampai elite politisi Senayan. “Dengan anggaran ratusan miliar, mustahil kalau yang menikmati hanya ASN. Karena dari penyusunan dan penetapan anggaran, ketua DPR pasti tahu termasuk dalam PBJ ini. Sehingga praktik pembiaran ini memang terjadi. Duit haram biasanya mengalir ke atas karena pembagian dari atas,” ujarnya.
Peneliti Seknas Fitra, Gulfino Guevarrato, mewanti-wanti potensi bancakan ini terbuka lebar dimanfaatkan oleh kuasa pemegang anggaran lantaran kultur buruk para politisi. Dia melihat kasus ini sebagai rentetan dari preseden buruk dari transparansi dan akuntabilitas yang mengarah pada penyelewengan anggaran di DPR. Beberapa pengadaan yang cukup berpolemik disebut bisa mendukung dugaan itu, seperti pemeliharaan dan biaya makan rusa bernilai miliaran rupiah pada 2024, pengharum urinoir yang diadakan pada 2016 dan pengadaan soal gorden rumah dinas DPR.
Menurutnya, gejala penyelewengan sudah menjadi semacam mens rea mayoritas anggota DPR. Modus yang dimainkan pula menggunakan modus klasik yang dirancang banyak pihak. “Kami melihat secara kewajaran (proyek pengadaan di DPR) patut dipertanyakan, urgensi dan alokasi anggarannya yang besar,” kata Fino kepada Law-justice, Kamis.
“(Dalam praktiknya diduga), melibatkan pihak ketiga dengan Sekjen DPR sebagai KPA yang mungkin mereka reka sedemikian rupa sehingga muncul angka yang relatif tidak masuk akal. Gelagat fraud di DPR RI ini soal pengadaan sudah sejak lama kami endus. Pola-pola pikir fraud yang melekat ini dimanfaatkan oleh sekjen DPR RI untuk bermain,” ia menambahkan.
Komentar