Resmi, IDI dkk Gugat Undang-undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi

Jum'at, 22/09/2023 12:24 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, sejumlah organisasi profesi kesehatan mengajukan uji formil terhadap Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 Tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para pemohon ingin MK menyatakan Undang-undang Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang.

"Menyatakan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada 8 Agustus 2023 dalam Lembaran Negara RI tahun 2023 Nomor 105 tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945, dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum permohonan itu.

Adapun para pemohon adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI).

Mereka memberikan kuasa kepada para advokat dan konsultan hukum pada Law Office Joni & Tanamas yang bergabung dalam Tim Kuasa Hukum Sekretariat Bersama Organisasi Profesi Kesehatan: IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI.

Permohonan tersebut diterima MK pada 19 September 2023 dan teregistrasi dengan nomor AP3: 126/PUU/PAN.MK/AP3/09/2023.

Dalam permohonannya, pemohon menilai pihaknya terdampak langsung dan mempunyai kepentingan atas materi muatan Undang-undang Kesehatan.

Pemohon menilai pembentukan Undang-undang Kesehatan cacat formil lantaran tidak memenuhi syarat/prinsip keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningfull participation).

Adapun para pemohon mengaku pernah menyampaikan pendapat serta masukan substantif atas RUU Kesehatan Inisiatif DPR RI pada acara public hearing yang diselenggarakan Menteri Kesehatan pada 15 Maret 2023 lalu.

Para pemohon mengatakan pihaknya berhak untuk didengar pendapatnya (right to be heard) atas substansi materi muatan dan legal reasoning disampaikan, utamanya terkait pasal-pasal jantung mengenai organisasi profesi tunggal, konsil independen, kolegium sebagai academic body organisasi profesi, dan majelis kehormatan disiplin kedokteran/kesehatan.

Lalu, perlindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan, registrasi, Surat Tanda Registrasi (STR) lima tahun bukan seumur hidup, Surat Ijin Praktek (SIP) dengan rekomendasi, pendanaan kesehatan wajib (mandatory spending), ketentuan pidana, ketentuan penutup yang menghapuskan sejumlah Undang-undang terkait.

Kendati demikian, pemohon menilai pembuat Undang-undang mengabaikan hal tersebut.

"Norma penting dan organ penting dari "pasal-pasal jantung" dihapuskan yang berakibat kekosongan hukum bahkan kekacauan hukum, yang diperkirakan gagal laksana UU Nomor 17 Tahun 2023 sehingga tidak sanggup memenuhi asas dapat dilaksanakan," jelas para pemohon.

Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru pada 8 Agustus 2023. Aturan itu diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno di hari yang sama.

DPR sebelumnya resmi mengesahkan Omnibus Law RUU tentang Kesehatan menjadi UU pada 11 Juli lalu. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.

Mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan ini. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, dan PAN. Fraksi NasDem menerima dengan catatan terkait mandatory spending. Diketahui, hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Kesehatan itu.

Dalam perjalanannya, RUU Kesehatan mengalami penolakan dari berbagai pihak, khususnya lima organisasi profesi (OP) di Indonesia. Mereka adalah IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IAI.

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar