Analisis Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Sesuai UU Cipta Kerja

Sabtu, 29/04/2023 11:31 WIB
Kerusakan Lingkungan  Hidup Akibat Tambang di Morowali, Menteri Lingkungan Hidup Digugat  (hutanhujan.org)

Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Tambang di Morowali, Menteri Lingkungan Hidup Digugat (hutanhujan.org)

Jakarta, law-justice.co - Penetapan Undang-Undang (UU) No.11/2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari berbagai beragam paket peraturan yang menjadi kontroversial yang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, salah satunya menyoal dampaknya pada masa depan pengelolaan lingkungan hidup.

Adanya salah satu pasal yang mengalami penyesuaian adalah pasal yang mengatur soal lingkungan hidup, yang tadinya diatur dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian diubah oleh UU Cipta Kerja ini dan melahirkan peraturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/ 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Setelah disahkannya PP 22/2021, aturan ini berdampak pada perubahan ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Utamanya terkait partisipasi publik dalam penyusunan Amdal.

Dalam aturan tersebut, Amdal menjadi prasyarat terbitnya persetujuan lingkungan. Adapun persetujuan lingkungan inilah yang menjadi prasyarat terbitnya perizinan berusaha. Hal ini diatur dalam beberapa pasal yang secara rinci menjelaskan prasyarat persetujuan lingkungan.

Adanya klausul partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan penilaian Amdal direvisi. Komisi Penilai Amdal (KPA), dimana sebelumnya merupakan wadah masyarakat untuk berpartisipasi aktif, dibubarkan lalu diganti dengan Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup (TUKLH) yang hanya terdiri dari pemerintah pusat, daerah dan ahli bersertifikat yang dipilih oleh pihak pemerintah.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), berpendapat telah terjadi pembatasan lingkup masyarakat yang wajib dilibatkan dalam penyusunan Amdal. Terdapat perubahan ketentuan pihak yang dapat berperan dalam penyusunan dokumen Amdal.

Dalam UU No. 32/2009, masyarakat yang dilibatkan terdiri dari masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal.

Tetapidalam UU No.11/2020 menjadi hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak langsung saja. Definisi inilah yang kemudian cenderung akan membatasi peran masyarakat dalam penyusunan Amdal.

Menurut ICEL, idealnya, proses partisipasi publik dalam Amdal dimulai sejak tahap perencanaan kegiatan, pengkajian (scoping and review), hingga pemantauan (follow-up) dengan melibatkan representasi dari seluruh pihak yang berkepentingan terhadap proyek yang akan dan telah dibangun.

Tabel Perbandingan UU Lingkungan Hidup dengan UU Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.

(Pasal 26) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/ atau kegiatan. Ketentuan lebih tanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan pemerintah. (Pasal 22 Angka 5 tentang Perubahan Atas Pasal 26) Lebih lanjut, hal yang lebih detail diatur dalam PP No. 22/2021.

Namun, PP tersebut hanya mengijinkan masyarakat yang terkena dampak langsung yang berhak dilibatkan dalam konsultasi publik. Akan tetapi akhirnya pemerhati lingkungan hidup, peneliti atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendampingi telah masyarakat terdampak langsung tersebut juga bisa terlibat sebagai bagian masyarakat terdampak langsung.

Dalam proses penyusunan Amdal di PP, ada level dalam pelibatan masyarakat. Yang teridentifikasi sebagai masyarakat terdampak langsung akan dilibatkan dalam proses konsultasi. NGO pada akhirnya dilibatkan dalam proses konsultasi, namun hanya terbatas mereka yang sudah mendampingi masyarakat terdampak langsung sejak awal.

Adapun yang tidak teridentifikasi sebagai masyarakat terdampak langsung dan LSM yang tidak terlibat langsung mendampingi masyarakat terdampak langsung, tidak terlibat dalam proses konsultasi publik dan hanya dapat mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan (SPT) terhadap rencana usaha dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak ada pengumuman.

Mereka hanya dapat memberikan masukan dan saran secara tertulis dalam jangka waktu tertentu. Peran publik dalam pengurusan Amdal di Indonesia lebih tertutup dibandingkan dengan negara lain.

Dalam penyusunan Amdal, Filipina mewajibkan pemberitahuan audiensi atau konsultasi publik yang dilakukan secara memadai. Informasi harus diberikan seluas-luasnya untuk menjaring aspirasi masyarakat, disertai dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan kewajiban mempublikasikan salinan kajian yang berisi lembar fakta proyek secara lengkap.

Sedangkan di Indonesia, pemerhati lingkungan berperan penting memperkuat kapasitas masyarakat. Publik masih sulit untuk memahami informasi terkait proyek dan Amdal itu sendiri, di mana bahasa yang digunakan dalam proses pengkajian Amdal bersifat ilmiah

Sementara fakta kurang meratanya tingkat pendidikan dan terbatasnya akses untuk informasi akan mempengaruhi tingkat pemahaman publik dalam Amdal. Meski terdapat usaha untuk kembali melibatkan perwakilan masyarakat melalui mekanisme saran, pendapat serta pelibatan dalam penilaian dokumen Amdal, kualitas ketentuan pelibatan yang dibangun masih sangat jauh dibanding ketentuan sebelumnya.

Dalam proses penilaian Amdal, pendapat masyarakat memang tetap akan didengarkan, namun secara kedudukan dikhawatirkan tidak sekuat saat masih menggunakan sistem KPA. Jika dalam KPA mereka memiliki peran dalam pengambilan keputusan karena mereka bagian dari anggota, namun dalam TUKLH kedudukan masyarakat bukan sebagai anggota, namun sebagai pihak yang didengarkan pendapatnya.

Dalam PP 22/2021, proses konsultasi publik yang mereduksi peran pemerhati lingkungan adalah bentuk sebuah kemunduran. Degradasi ini berpotensi besar memperburuk kualitas Amdal.

Hal ini tidak sejalan dengan semangat UU No. 32/2009 yang sudah diakui sebagai langkah maju dalam pengelolaan lingkungan. Dalam PP ini, kami melihat ada beberapa hal yang menjelaskan lebih detil dan membuka peluang partisipasi publik dibanding dalam UU Cipta Kerja. Namun jika dibandingkan dengan UU sebelumnya (red UU 32/2009), ini jelas masih merupakan pelemahan karena peran publik masih tidak seluas dalam UU Lingkungan Hidup.

Alur partisipasi publik setelah UU Cipta Kerja dan PP 22/2021 Dalam hal ini, baik UU 11/2020 maupun PP 22/2021 terlihat justru semakin mempersempit hak atas partisipasi masyarakat, yang tentunya berkaitan erat dengan penyempitan hak atas informasi dan hak atas keadilan lingkungan.

Padahal ketiga pilar ini merupakan pilar yang perlu dijamin dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 maupun Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2009.

Dampak Aturan Hukum yang Longgar

UU Cipta Kerja jelas telah mengubah sejumlah aturan dalam sektor kehutanan. Terdapat tiga aspek penting yang turut diatur dalam aturan baru tersebut, yaitu hilangnya aturan batas minimal 30 persen kawasan hutan, penyelesaian keterlanjuran berusaha di kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan ketahanan pangan (food estate).

Namun, beberapa aturan ini menuai pro dan kontra pada dampak lingkungan hidup. UU Cipta Kerja menghapus pasal mengenai kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Aturan ini sebelumnya ada pada Pasal 18 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kini, angka 30 persen dihapus. PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan menjadi aturan turunannya.

Perubahan regulasi ini dipertimbangkan karena ada beberapa provinsi yang hutannya sudah di bawah 30 persen dari luas wilayahnya dan pemerintah daerah dapat memperluas batas kawasan hutan di daerah yang kawasan hutannya masih di atas 30 persen.

Dalam rapat pembahasan UU Cipta Kerja pemerintah dengan DPR, Profesor San Afri Awang, salah satu penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, menyebutkan hanya ada 6 provinsi yang kawasan hutannya di bawah 30 persen yaitu di seluruh Pulau Jawa dan Provinsi Lampung.

Melihat keadaan ini, ICEL justru mengkhawatirkan regulasi tersebut. Ketentuan ini terlihat menjadi seperti insentif untuk mengeksploitasi kawasan hutan lebih luas. Luasan Kawasan Hutan di tiap daerah dikhawatirkan lebih rendah dari 30 persen karena sudah tidak ada batasan minimal, belum lagi adanya dorongan untuk mempermudah pemberian izin di sektor hutan.

Kebijakan ini pun berpotensi meningkatkan deforestasi karena terdapat ketidakpastian batas minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan di setiap daerah. Hal ini ditambah dengan semakin mudahnya pemberian izin untuk kegiatan di hutan, baik untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hingga pemungutan hasil hutan kayu maupun bukan kayu.

Perubahan pasal ini juga bertentangan dengan komitmen dunia untuk menurunkan deforestasi global. Berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada Agustus 2020, deforestasi global turun dari 16 juta Ha per tahun pada 1990-2000 menjadi 10 juta Ha dalam 10 tahun terakhir. Tak hanya itu, masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan akan terdampak.

Pasalnya, mereka akan kehilangan sumber kehidupan dan mata pencaharian karena adanya potensi ekspansi besar industri ekstraktif di kawasan hutan lebih dalam, bahkan memasuki hutan lindung.

Persoalan ini akan memicu konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Menanggapi polemik ini, Menteri KLHK Siti Nurbaya menyatakan dalam akun resmi Twitter-nya pada 10 Oktober 2020 lalu.

Dalam Omnibus Law (UU Cipta Kerja) bisa lebih ketat daripada hanya angka 30 persen. Artinya, implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan akan lebih ketat dalam aspek sustainability dan penerapan tools untuk itu.

Salah satu contohnya adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mengkaji kebutuhan luas hutan di tiap daerah. Tools yang dimaksud adalah alat analisis pengaruh terhadap rantai kehidupan seperti rantai pangan (food chain), rantai energi, siklus hidrologi, rantai karbon, dan lainnya. Atau disebut LCA (Life Cycle Asessment) yang sudah diawali oleh Kementerian LHK.

Dengan telah diterbitkannya PP 23/2021 mengenai Penyelenggaran Kehutanan, ICEL melihat komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kawasan hutannya sangat penting. Harusnya ada dorongan untuk daerah menentukan (batas minimal) lebih tinggi.

Penyelesaian keterlanjuran kegiatan di kawasan hutan yang tidak mengantongi izin bidang kehutanan atau izin berusaha juga diatur dalam UU Cipta Kerja, khususnya untuk perkebunan kelapa sawit.

Ketentuan ini diatur pada Pasal 110A dan 110B UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kedua pasal ini mengatur penyelesaian keterlanjuran usaha atau kegiatan di kawasan hutan.

Bagi usaha atau kegiatan yang berada di kawasan hutan produksi, penyelesaiannya dalam bentuk pelepasan kawasan hutan. Sedangkan bagi usaha atau kegiatan yang berada di kawasan hutan lindung atau kawasan hutan konservasi, diberikan kesempatan melanjutkan usaha dengan batas waktu dan syarat tertentu.

Seluruh penyelesaian tersebut diberikan setelah pelaku usaha membayar denda administratif atau melunasi PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan DR (Dana Reboisasi). Pasal 110A Pasal 110B Bagi kegiatan yang sudah memiliki izin usaha namun tidak memiliki izin di bidang kehutanan. Penyelesaian: Wajib membayar PSDH dan DR untuk mendapat persetujuan pelepasan kawasan hutan.

Selain pelepasan kawasan hutan, bisa juga dengan mekansime persetujuan melanjutkan kawasan hutan. Bagi yang tidak memiliki izin usaha dan izin bidang kehutanan. Penyelesaian: Adanya sanksi penghentian sementara kegiatan, membayar denda administratif atau paksaan pemerintah. Selanjutnya mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Dengan adanya regulasi terbaru dalam UU Cipta Kerja, diharapkan pelaku usaha dapat melaporkan kegiatannya yang ada di kawasan hutan. Melalui peraturan turunannya yaitu PP 24/2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Dari Denda Administrasi Bidang Kehutanan, penyelesaian kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan wajib diselesaikan maksimal 3 tahun setelah UU diterbitkan.

Meski terdapat sanksi administratif, namun kewajiban pemulihan lingkungan kini tidak diatur. Berdasarkan luasan lahan kelapa sawit yang tercatat, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyebutkan hal tersebut adalah imbas dari pemanfaatan hutan yang telah lama terjadi selama ini. Sebagai langkah mitigasinya, pemerintah memberikan kepastian hukum akan kelanjutan status kawasan hutan yang telah dikonversi yang tertuang dalam peraturan turunan PP 24/2021 tersebut.

Jadi bukan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan akan melegalkan sanksi administrasi denda dan dengan jangka waktu tertentu perkebunan sawit bisa berjalan tapi tetap statusnya kawasan hutan dan bukan diturunkan, ini prinsipnya.

Ironi Forest Amnesty Sebagai Tax Amnesty

Menurut seri analisis ICEL yang bertajuk “Penyelesaian Keterlanjuran Kegiatan Usaha di dalam Kawasan Hutan Pasca UU Cipta Kerja”, ini mengingatkan pada wacana forest amnesty yang dianalogikan sebagai tax amnesty. Dalam seri analisisnya, ICEL memberikan beberapa catatan bahwa wacana ini seperti melupakan bahwa hutan tidak hanya dilihat sebagai sekadar sumber daya, melainkan sistem penyangga kehidupan.

Keterlanjuran dalam kawasan hutan pun memiliki tipologi yang berbeda dan harus ditangani sesuai permasalahanya. Sebab, menyamakan keterlanjuran karena konflik regulasi dengan keterlanjuran yang diakibatkan oleh pelanggaran akan berujung pada pemutihan.

Seharusnya fokus kebijakan diarahkan pada penguatan hak kelola masyarakat dan penyelesaian konflik tenurial dan alasan kepastian hukum harusnya mampu menahan untuk tidak mengeluarkan tindakan administratif karena regulasi yang masih tumpang tindih dan harus diharmonisasikan terlebih dulu.

Konteks pengampunan (amnesty) ada pada penyelesaian dengan cukup membayar sanksi administratif dalam bentuk denda, kemudian turut membayar PSDH dan DR. Hal ini menimbulkan polemik, karena berdasarkan ketentuan sebelumnya, pelanggaran keterlanjuran usaha atau kegiatan di kawasan hutan seperti ini sudah dapat dikenakan sanksi pidana.

Namun, UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan penyelesaian dengan sanksi administratif semata. Lalu akan muncul kesan bahwa pembuat kebijakan enggan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran karena yang dikenakan adalah kewajiban. Alhasil dapat memicu kemungkinan pelanggar melepas tanggung jawab hukum dan dapat mengulangi perbuatannya lagi.

Aturan turunan PP 24/2021 juga menjelaskan bahwa Paksaan Pemerintah adalah sanksi administratif untuk memberikan efek eksekutorial, yang terdiri dari pemblokiran, pencegahan keluar negeri, penyitaan aset, dan/atau paksa badan jika tidak membayar denda administratif. Padahal, jika menilik pada fungsi dasarnya, sanksi paksaan pemerintah adalah sebagai sanksi yang berfungsi untuk memulihkan.

Sayangnya, paksaan pemerintah dalam PP 24/2021 justru tidak berfungsi untuk memulihkan, melainkan hanya seperti bersifat punitif. Melalui aturan turunan, ICEL melihat akan lebih efektif ketika pemerintah mau membuka datanya secara transparan. Agar mengetahui berapa proporsi kawasan keterlanjuran yang dimiliki masyarakat dan perusahaan.

Sehingga pemerintah dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan keadaan pelaku usaha atau masyarakat saat sebelum ditetapkannya aturan yang baru. “Karena kalau kita punya data yang transparan dan tipologinya seperti apa keterlanjurannya di kawasan hutan akan lebih baik,” kata Adrianus. Ilustrasi keterlanjuran pertambangan di kawasan hutan.

Untuk memulihkan situasi ekonomi dan sosial setelah dilanda pandemi Covid-19 di Tanah Air, pemerintah berinisiatif melangsungkan program ketahanan pangan yang salah satunya adalah food estate.

Selain di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, food estate akan dibangun di provinsi lainnya seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Papua. Agenda strategis ini kemudian ditindaklanjuti melalui penerbitan Peraturan Menteri (Permen) LHK 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Terdapat dua cara pembangunan food estate dalam Permen LHK 24/2020 tersebut. Adapun caranya adalah melalui perubahan peruntukan kawasan hutan dan melalui penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Dalam seri analisisnya yang bertajuk “Analisis Hukum Pembangunan Food Estate di Kawasan Hutan Lindung”.

ICEL mencatat ada beberapa kekhawatiran akan dampak lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan terkait kehadiran agenda strategis ini. Pertama, program Food Estate di kawasan hutan sudah pernah dicanangkan sebelumnya, namun dalam perjalanannya mengalami kegagalan yang beberapa di antaranya karena ketidakcocokan lahan.

Sebenarnya yang paling penting adalah evaluasi dari proyek yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya. Kenapa bisa gagal, apa faktor penyebabnya, bagaimana memperbaikinya supaya tidak terulang, dan lainnya. Kemudian perlu ada penjelasan juga ke publik mengapa proyek food estate yang sekarang ini berbeda dari yang sebelumnya dan bisa berhasil?

Sayangnya, hasil evaluasi ini tidak pernah dibuka ke publik. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah evaluasi benar-benar sudah dijalankan?. Adapun beberapa program tersebut adalah Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah (1995-1999) di era Presiden Soeharto, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke (2010) dan Delta Kayan Food Estate (DeKaFE) di Kalimantan Utara (2011) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kedua, regulasi penyediaan lahan food estate yaitu Permen LHK 24/2020 bertentangan dengan berbagai peraturan seperti UU No.41/1999, yang telah diubah pada UU Cipta Kerja tentang Kehutanan, yang mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung. Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok penyangga kehidupan hingga mencegah bencana alam.

Pemanfaatan hutan lindung pun tidak dapat mengubah atau menhilangkan fungsi utamanya. Permen LHK 24/2020 selanjutnya bertentangan dengan PP No. 6/2007 dan PP No. 3/2008 yang mengatur lebih lanjut mengenai batasan pemanfaatan hutan lindung. Permen ini dianggap bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, sehingga berpotensi menghasilkan ketidakpastian hukum.

Ketiga, perencanaan rencana strategis ini menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dengan Metode Cepat (KLHS Cepat). Permen LHK 7/2021 pun menjadikan “KLHS yang dikerjakan secara cepat” sebagai salah satu persyaratan teknis KHKP. ICEL menilai ini tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena metode ini belum dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Selain itu, fungsi KLHS adalah sebagai dasar pengkajian, pembentukan alternatif, dan rekomendasi kebijakan tata ruang dan pembangunan untuk menjamin keberlanjutan. Sehingga, Penggunaan KLHS Cepat dikhawatirkan dapat mengurangi esensi KLHS sebagai kajian sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Selain itu juga tidak ada penjelasannya rekomendasi dari KLHS Cepat tersebut akan ditujukan untuk memberikan rekomendasi terhadap kebijakan/rencana/program yang mana.

Keempat, ICEL menggarisbawahi tidak adanya prinsip kehati-hatian dengan menjalankan program tanpa mengevaluasi dampak yang sudah terjadi dan membiarkan adanya ketidakpastian ilmiah tanpa menjawabnya dengan kajian yang komprehensif. Namun, PP 23/2021 diundangkan pada Februari 2021. Aturan ini membuka ruang pemanfaatan hutan lindung untuk food estate. Sehingga Permen LHK 24/2020 memiliki landasan hukum dan tidak lagi bertentangan dengan peraturan di atasnya.

Selain itu, kawasan hutan untuk food estate pun dikategorikan sebagai daerah strategis yang memiliki beragam kemudahan untuk pemanfaatannya. Baru akhirnya pada bulan Juni, Permen LHK 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan dipublikasikan melalui JDIH KLHK.

Sehingga kini peraturan menteri yang mengatur mengenai Food Estate sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yang mencabut Permen LHK 24/2020. Meskipun demikian, substansi yang diatur di dalamnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan Permen LHK 24/2020.

Berbagai catatan kritis sebagaimana dijelaskan sebelumnya pun masih perlu untuk dikritisi lebih lanjut. Oleh karena itu, untuk menghindari implikasinya pada aspek lingkungan, perlu adanya transparansi akan kajian ilmiah yang berbasis bukti (evidence-based) pada proses pembuatan food estate. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kegagalan seperti proyek sebelumnya dan dampak lingkungannya dapat terukur.

Sebenarnya agak berbahaya, karena selain tidak ada transparansi, kemudian aturannya diubah supaya terakomodasi, ditambah yang menariknya food estate masuk ke dalam PSN (Proyek Strategis Nasional).

Terkait hal ini, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto dalam keterangan pers menjelaskan bahwa kawasan hutan lindung yang akan digunakan untuk kawasan food estate pun merupakan areal yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Sehingga, food estate diharapkan dapat menjadi sarana rehabilitasi kawasan hutan lindung dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman agroforestry.

Ia menyebut kawasan hutan lindung untuk ketahanan pangan (KHKP) akan memanfaatkan kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi. Kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai area food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan.

Namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakan pohon atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi. Lalu siapa yang bisa menjamin pernyataan Sigit ini saat dieksekusi di lapangan?. Jawaban paling mudah jika ada masalah kebijakan ya digugat saja di PTUN atau Pengadilan Negeri, biar hukum yang memutuskan. Semudah dan segampang itu untuk melepas beban tanggungjawab ke aparat hukum instansi lain...

Infromasi dari berbagai sumber.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar