AJI: 82,6% Jurnalis Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual

Kamis, 16/02/2023 07:35 WIB
Jurnalis Perempuan (Kompas)

Jurnalis Perempuan (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Jurnalis perempuan paling rentan menjadi korban kekerasan seksual di dunia kerja. Dalam riset terbaru AJI Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan didukung International Media Support (IMS), 82,6 persen responden menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang jurnalistik mereka.

Riset berjudul "Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia" itu mensurvei 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi pada September - Oktober 2022. Riset tersebut bertujuan untuk menggali pengalaman jurnalis perempuan terkait beragam jenis kekerasan seksual, yang terjadi di ranah daring maupun luring, di kantor maupun luar kantor saat para jurnalis perempuan melakukan kerja jurnalistik.

Grafis responden yang pernah mengalami kekerasan seksual dan tidak pernah mengalami

Dari jumlah responden yang disurvei, sebagian besar yakni 704 responden (82,6 persen) menerima kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Hanya 17,4 persen (148) responden yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apa pun dalam karier jurnalistik mereka.

Dari jumlah yang pernah mendapat kekerasan seksual tersebut, mayoritas (37 persen) mengalaminya di ranah daring sekaligus luring, di ranah daring saja 26,8 persen dan luring saja 18,2 persen.

Laporan Riset Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan

Survei tersebut juga mengungkap 10 jenis kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis perempuan yakni:

(1) Body shaming secara luring (58,9 persen);

(2) Catcalling secara luring (51,4 persen);

(3) Body shaming secara daring (48,6 persen);

(4) Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2 persen);

(5) Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3 persen);

(6) Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36 persen);

(7) Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1 persen);

(8) Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2 persen);

(9) Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8 persen);

(10) dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6 persen).

AJI Indonesia berharap riset tersebut dapat mendorong perusahaan pers dan organisasi pers untuk membuat aturan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di internal masing-masing. Aturan tersebut bisa berbentuk SOP, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB). “Aturan yang jelas di dunia kerja tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual setidaknya dapat memberikan jaminan kepada korban untuk melaporkan kasusnya. Sebab, aturan ini bisa memberikan kepastian bahwa kasusnya akan ditangani oleh perusahaan pers atau organisasi tempat korban bernaung,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito.

AJI Indonesia dan PR2Media telah menyampaikan riset tersebut ke Dewan Pers pada Rabu 11 Januari 2023. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berjanji akan menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil riset tersebut dengan mendorong perusahaan media membuat SOP.

“Data kekerasan seksual yang dialami perempuan jurnalis yang disajikan dalam riset, semakin menguatkan urgensi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, tak terkecuali di lingkungan pers,” kata Ninik.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar