Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Legalisasi Ganja Medis di Indonesia, Apakah Memang Sudah Waktunya?

Senin, 22/08/2022 06:01 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis.” Begitu bunyi tulisan di sebuah papan persegi yang dibawa oleh Santi Warastuti (43) saat acara Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat pada 26 Juni 2022.

Santi membawa tulisan tersebut ditemani oleh sang suami, Sunarta dan putrinya bernama Pika Sasikirana yang menderita cerebral palsy yang tengah berbaring di kursi roda. Santi merupakan salah satu dari tiga ibu yang menjadi pemohon uji materi Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi  (MK) pada November 2020 agar ganja untuk kepentingan medis dilegalkan penggunannya.

Aksi Santi  yang memperjuangakan legalisasi ganja medis bersama suami dan anaknya tersebut mendapatkan perhatian banyak pihak sehingga sempat viral di sosial media. Tak urung aksi itu juga mendapatkan perhatian dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi 3 yang kebetulan tahun ini tengah membahas Rancangan Undang Undang  (RUU) tentang Narkotika.

Seperti apa sesungguhnya dinamika upaya legalisasi ganja untuk kepentingan medis di Indonesia ?, Mengapa wacana untuk legalisasi ganja ini menimbulkan pro dan kontra ?, Bagaimana sebaiknya kebijakan tentang ganja untuk kepentingan medis ini diatur di RUU Narkotika ?

Dinamika Legalisasi Ganja

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akhir akhir ini wacana untuk legalisasi ganja medis terus mengemuka termasuk di Indonesia. Ganja mulai dilihat sebagai komoditas yang memiliki potensi lain di luar dari statusnya sebagai obat-obatan terlarang penggunannya.

Di Indonesia sendiri penggunaan ganja masih dilarang meskipun untuk kebutuhan pengobatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang Undang Narkotika yang berlaku saat ini  memasukkan ganja sebagai narkotika golongan I, yaitu golongan yang dinilai sangat berbahaya. Semua tumbuhan ganja dilarang digunakan baik daun, akar, batang, biji, jerami, atau turunannya. Ganja lantas berada dalam daftar yang sama dengan berbagai obatan-obatan terlarang lain seperti sabu-sabu, heroin, kokain, ekstasi dan yang sejenisnya.

Mengapa ganja dimasukkan ke dalam kategori  narkotika golongan I, hal ini  tidak terlepas dari sejarah pembentukan Undang Undang  Narkotika. Dimana Undang Undang Narkotika yang pertama kali dibentuk berasal dari Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 (The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs, 1961).

Konvensi tersebut kemudian diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang Undang  No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnantie peninggalan zaman kolonial belanda.

Undang Undang  No. 9 Tahun 1976 kemudian beberapa kali mengalami perubahan sampai kemudian menjadi UU No. 9  Tahun 2009 tentang Narkotika yang sekarang menjadi acuan yuridis pengaturan tentang Narkotika di Indonesia.

Berdasarkan peraturan perundang undangan yang mengatur tentang Narkotika, ruang pemanfaatan ganja amat terbatas di Indonesia. Pasal 7 UU Narkotika hanya memungkinkan penggunaannya dalam hal kepentingan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semata.

Saat ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin dinamis, Negara-negara yang dulu ikut dalam konvensi tunggal PPB kini mulai melegalisasi ganja.Beberapa negara itu diantaranya  Amerika Serikat, Israel,Uruguay, Meksiko, Afrika Selatan,  Inggris, Kanada, Jerman dan Australia.

Amerika Serikat  telah meregulasi ulang kebijakan ganja. Sebanyak 46 negara bagian AS telah melegalisasi pemanfaatan ganja untuk berbagai macam tujuan mulai pengobatan, makanan dan juga pariwisata. Ketentuan tersebut diberlakukan di negara negara bagian Amerika Serikat seperti Washington DC, Alaska, California, Coloradi, Maine, Massachusetts, Vermont, Oregon, hingga Nevada.

Negara pemegang hak veto lainnya seperti Inggris juga telah mengubah jauh haluan kebijakan narkotikanya. Inggris kini adalah salah satu negara dengan pasar penjualan cannabis yang terbilang besar di dunia.

Biji ganja jadi komoditas yang mencatatkan permintaan tertinggi disana. Meski begitu, Inggris belum sepenuhnya mereformasi keberadaan ganja dalam UU Narkotika mereka. Maka, meski diperjualbelikan, penggunaan ganja tak dapat dilakukan secara luas atau seenaknya.

Di Asia, China jadi salah satu negara yang paling berhasil mendayagunakan ganja. Data World Intellectual Property Organization (WIPO) mencatat, Negeri Tirai Bambu mendominasi paten ganja dengan jumlah 309 dari 606 paten yang tercatat di data WIPO.

Selain China, Thailand adalah negara di Asia yang baru baru tadi melegalkan penanaman ganja untuk kebutuhan pengobatan tradisional dan kuliner disana.Memang masih menjadi tanda tanya besar terkait sikap pemerintah Thailand terhadap ganja ini terkait penyalah gunaannya. 

Langkah yang diambil oleh Thailand yang melegalkan ganja memang mengejutkan dunia  karena Thailand akan tercatat sebagai negara pertama di Asia  yang melegalkan penanaman ganja.Pada hal dalam sejarahnya ,Thailand merupakan salah satu negara yang dikenal paling ketat dan keras dalam menerapkan hukuman bagi pengguna ganja.

Perubahan sikap pemerintah Thailand dari semula memusuhi  menjadi bersahabat dengan ganja ini kemungkinan besar memiliki tujuan untuk memulihkan kembali dan meningkatkan industri pariwitanya yang terpuruk akibat pandemi virus corona.

Selain itu, legalisasi ganja medis oleh Pemerintah Thailand  juga bertujuan untuk mengurangi narapidana narkoba. Karena dengan legalisasi ganja, aturan yang menghukum rakyat Thailand karena memproduksi, mengimpor, mengekspor, menjual, memiliki, dan mengkonsumsi ganja, praktis sudah tidak berlaku lagi disana.Dengan demikian, 4.000 narapidana yang dihukum menggunakan aturan tersebut harus dibebaskan segera.

Secara keseluruhan aturan baru yang dirilis Pemerintah Thailand terkait ganja bertujuan agar Thailand bisa lebih unggul dibandingkan tetangganya di kawasan Asia Tenggara untuk mendapatkan porsi besar"kue" perawatan kesehatan yang menggunakan turunan ganja.

Sebagai langkah awal melegalkan penanaman ganja di negaranya,  pemerintah Thailand dengan undang-undang  barunya menghilangkan pasal-pasal yang terkait dengan ganja sebagai tanaman yang semula dilarang di tanam disana.

Di kawasan Asia, Thailand telah tercatat sebagai negara yang mengikuti langkah China dalam mendayaguna ganja. Kabarnya negara tetangga kita yang paling dekat yaitu  Malaysia juga tengah gencar menuju legalisasi ganja guna menopang pertumbuhan ekonomi yang sempat terpuruk karena hantaman pandemi virus corona.

D Indonesia, upaya untuk melegalkan penggunaan ganja telah didorong oleh beberapa Lembaga diantaranya oleh LGN (Liga Ganjar Nusantara).  Ada juga Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dimana Lembaga ini bersama sejumlah lembaga sosial masyarakat lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil  telah melakukan uji materi Undang Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika MK.

Salah satu poin yang dikejar dari upaya legalisasi ganja tersebut  adalah mengeluarkan ganja dari golongan satu narkotika, bersama heroin, kokain, morfin, hingga opium. Narkotika golongan satu adalah yang paling berbahaya. Di mata UU, segala narkotika dalam golongan ini tak boleh dimanfaatkan untuk apapun juga. Maka, mengeluarkan ganja dari golongan satu adalah langkah awal dari pendayagunaan tanaman ganja.

Pemerintah sempat memunculkan harapan pemanfaatan ganja sebagai alternatif medis usai Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman itu sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementan pada 2020 yang lalu.

Namun, berselang beberapa bulan, beleid tersebut kemudian dicabutnya. Mentan Syahrul Yasin Limpo mengatakan bakal mengkaji dan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Kementerian Kesehatan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN).

Memunculkan Pro -Kontra

Sejauh ini kebijakan untuk melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis di Indonesia masih memunculkan pro dan kontra. Banyak pihak yang setuju dan mendorong penggunaan ganja sebagai sarana untuk pengobatan namun banyak juga yang menolaknya.

Mereka yang setuju agar ganja dilegalkan penggunaannya antara lain disuarakan oleh LGN (Liga Ganja Nusantara). LGN merupakan kelompok pertama yang percaya bahwa ganja memiliki manfaat besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia.

Gerakan yang berawal dari diskursus yang dibangun para mahasiswa Universitas Indonesia tersebut, mencoba menggali lebih dalam tentang manfaat serta eksistensi tanaman ganja di Indonesia. Gerakan ini turut menerbitkan buku Hikayat Pohon Ganja yang mencoba menjelaskan posisi ganja serta penggunaanya dalam kacamata hukum Indonesia.

Menurut LGN, Undang-undang  Nakotika yang ada di Indonesia saat ini tidak bersifat humanis kepada para  pengguna ganja. “Kami dari LGN tidak sepakat dengan cara pemerintah menangani para pengguna ganja yang tertangkap,” ujar Ketua LGN Dira Naya dalam diskusi terbuka dengan pejabat BNN di Cawang, Jakarta Timur, Jumat (8/2/22) seperti dikutip republika.

Padahal, tuturnya,  ganja bukanlah tanaman yang masuk dalam kategori narkotika. Untuk itu kata dia, dari pada ganja beredar di pasar gelap, lebih baik pemerintah memanfaatkan dengan baik tanaman ganja dan segala jenis ekstraknya . “Legalkan saja, tapi penggunaannya diawasi,” saran dia.

Ia menilai, diakui atau tidak, di jaman ini mudah sekali bagi masyarakat bila ingin mendapatkan ganja. Kemudahan mendapatkan ganja yang berbenturan dengan keilegalannya ini menjadi rancu tentunya. “Sudahlah, jika ganja dilegalkan, tentu tidak akan ada lagi pasar gelap. Ini jelas baik bagi masyarakat yang membutuhkan khasiat ganja,” kata dia.

Lebih jauh, dirinya menilai tak ada yang salah bila ganja dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Dia mengibaratkan, kenikmatan yang dihadirkan ganja tak berbeda yang didapatkan dari mengonsumsi kopi, rokok atau yang lainnya.

Selain itu Dhira Narayana, Ketua LGN mempertanyakan landasan pikiran kenapa otoritas di Indonesia amat anti terhadap wacana pemanfaatan ganja. Padahal, menurut Dhira, tak ada alasan bagi Indonesia menetap pada UU 35/2009 yang sudah kadaluarsa. Sebab, sejatinya konvensi PBB memberikan keleluasaan bagi setiap negara untuk mengatur pengelolaan tanaman ganja yang mereka punya.

Itulah kemudian yang dilakukan negara-negara maju seperti Amerika, Kanada dan yang lain lainnya. Mereka sadar, poin terpenting dari legalisasi ganja adalah memindahkan kuasa peredaran ganja dari pasar gelap ke negara. Sebagai contoh sejak Juli 2017 Uruguay resmi jadi negara pertama dunia yang melegalkan secara penuh penggunaan ganja.

Dukungan untuk penggunaan ganja medis di Indonesia juga disuarakan oleh Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Eva Yuliana. "Saya setuju, utamanya adalah obatnya bukan persoalan ganjanya. Adapun obatnya itu dari unsur yang terkandung dalam ganja, maka itu yang akan kami bahas dalam UU Narkotika,” ujar Eva dalam tayangan Hotroom pada Kamis, 7 Juli 2022 seperti dikutip media

Sementara itu ahli Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Asmin Fransiska menilai bahwa sebenarnya banyak cara untuk dapat meregulasikan penggunaan ganja medis di Indonesia. Hanya saja, kata dia, pemegang kuasa harus mengubah perspektif mereka dalam memandang penggunaan ganja di Indonesia dari penegakan hukum menjadi untuk pelayanan kesehatan.

Asmin mengatakan pemerintah dapat mengatur ulang penggolongan tanaman ganja yang semula ditempatkan pada golongan 1 menjadi yang lainnya. Upaya tersebut dapat dilakukan sehingga tanaman tersebut dikecualikan dari zat yang dinilai sangat berbahaya dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun jua.

Di kesempatan lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) buka suara terkait wacana legalisasi ganja medis yang kembali mencuat di Indonesia. MUI akan segera mengeluarkan fatwa seputar penggunaan ganja medis.

Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma`ruf Amin, meminta Komite Fatwa MUI untuk segera menyiapkan fatwa penggunaan ganja untuk kepentingan medis."Bahwa ganja itu memang dilarang dalam Islam. Masalah kesehatan itu MUI harus membuat fatwanya, fatwa baru kebolehannya itu," kata Ma`ruf Amin, dikutip dari situs resmi MUI, Rabu (29/6/2022).

Ada yang menginginkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis tapi banyak juga yang menolaknya. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, tidak setuju terhadap upaya legalisasi ganja meskipun dengan alasan untuk tujuan medis. Sebab, ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif yang artinya bisa memengaruhi kondisi psikis pengguna dan menyebabkan ketergantungan serta berdampak pada mental penggunanya.

Dia tetap meyakini, tanaman ganja harus tetap masuk narkotika golongan satu, seperti aturan yang ada. Pelegalan yang bisa dilakukan, adalah terhadap unsur di dalamnya yang memiliki manfaat medis bukan yang lainnya. Menetapkan tanaman ganja tetap sebagai narkotika golongan 1 penting, menurut Zullies, karena potensi penyimpangan sangat besar jika status itu diubah dari semula.

“Ganjanya sebagai tanaman tetap saja masuk golongan 1, dan itu kita bisa mengacu pada narkotika yang lain seperti morfin, misalnya. Morfin itu kan obat, yang legal juga bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tetapi opiat-nya atau opium-nya, tanaman penghasilnya, itu masuk golongan 1,” kata Zullies, dalam diskusi Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis, Rabu (6/7/22).

Alasan secara yuridis formal tentang  larangan penggunaan ganja untuk kepentingan medis disampaikan oleh Lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN). Berdasarkan ketentuan yang ada,  ganja adalah narkotika golongan 1 yang tidak diperbolehkan untuk kepentingan obat, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

"Kita adalah negara hukum, artinya kita menegakkan hukum-hukum positif. Kalau dalam hukum positifnya terkait pengaturan narkotika ada di UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa narkotika golongan 1 tidak diperbolehkan untuk kepentingan obat, dan ganja termasuk ke dalam golongan 1, maka dalam proses penegakan hukum dan hukum positif tidak mungkin untuk dilegalkan berlakunya," ujar Direktur Hukum BNN Susanto dalam acara Focus Group Discussion di Jakarta, Selasa, 5 Juli 2022.

Alasan senada juga disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK  menyatakan ganja medis tetap tidak boleh digunakan untuk alasan Kesehatan karena menyalahi ketentuan yang ada. Hal ini dinyatakan MK dalam putusan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020. MK menolak uji formil Undang-Undang Narkotika tentang pasal-pasal larangan penggunaan narkotika golongan I.

"Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum. mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman pada persidangan virtual, Rabu (20/7/22).

Dalam amar putusannya, dinyatakan :"Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang “secara fenomenal” menurut para Pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I. Namun, hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk mendorong penggunaan jenis Narkotika Golongan I dengan sebelumnya dilakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi," demikian bunyi salinan keputusan MK.

Dengan demikian, ketentuan pasal pasal 6 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tidak berubah statusnya. Artinya ganja tetap tidak diperbolehkan dikonsumsi meskipun untuk alasan medis atau pengobatan

Momentum Perubahan

Adanya pro kontra dalam menanggapi  rencana legalisasi ganja medis untuk kepentingan medis kiranya wajar wajar saja sebagai bagian dari dinamika aspirasi yang berkembang di masyararakat kita. Dalam hal ini kami di Komisi 3 DPR RI sedang  melakukan  pembahasan RUU Narkotika dimana soal legalisasi penggunaan ganja untuk kepentingan medis termasuk di dalamnya.

Pembahasa terkait dengan hal tersebut direncanakan setelah memasuki masa Sidang periode ini yang dimulai tanggal  17 Agustus 2022. Tentu dalam pembahasan RUU tersebut akan berjalan simultan dengan pelaksanaan  RDPU (rapat dengan pendapat umum) dengan para dokter, ahli farmasi dan pihak pihak lainnya.

Digelarnya RPDU adalah dalam rangka menyerap aspirasi  sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan masukan terhadap Panja RUU tentang Narkotika yang pada prinsipnya meminta agar terhadap kebijakan untuk memperbolehkan penggunaan tanaman ganja sesuai dengan kemanfaatannya untuk Kesehatan.

Komisi III pada akhirnya nanti akan mempertimbangkan masukan tersebut di dalam proses pembahasan RUU tentang Narkotika baik dari perspektif kesehatan, pengawasan dan penegakan hukum bersama dengan Pemerintah.

Apabila berbagai masukan tersebut telah mendapat hasil kajian atau penelitian secara lebih komprehensif dan mendapat persetujuan bersama maka Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan untuk menyarankan Pemerintah mengeluarkan tanaman ganja dari Daftar Narkotika (Golongan I).

Atau Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan untuk menyarankan Pemerintah agar tanaman ganja disesuaikan dengan penggolongannya secara lebih tepat, sesuai dengan mekanisme ketentuan perundang-undangan yang ada.

Bisa saja nantinya Komisi III akan mengusulkan agar isi pasal  8 Ayat (1) UU Narkotika yang berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kebutuhan medis di lakukan perubahan sedemikian rupa sehingga narkotika golongan I dapat dipergunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam satu peraturan perundangan

Ketentuan-ketentuan tersebut bisa didasari dengan peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri Kesehatan sebagai peraturan pelaksananya dimana dalam aturan pelaksanaan itu bisa saja mengatur juga soal riset atau penelitian ganja untuk keperluan medis yang harus dilakukan pemerintah

Yang jelas Komisi III akan memempertimbangkan aspirasi mengenai pemanfaatan ganja medis sebagaimana yang diperjuangkan oleh beberapa elemen masyarakat dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetgauan dan teknologi yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan ganja.

Apa yang dilakukan oleh Komisi III pada dasarnya sejalan dengan keputusan MK yang menyatakan bahwa soal legalisasi ganja untuk kepentingan medis merupakan kebijakan yang sifatnya terbuka (dimana Pemerintah bersama DPR diberikan mandate untuk mengkaji apakah ganja bisa digunakan untuk kebutuhan medis).

Memang tidak ada kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak tapi sebagai pengambil kebijakan dan pembuat aturan tentu kita mempertimbangkan aspek manfaat yang paling optimal dan meminimalkan mudharat yang kemungkinan terjadi dengan adanya suatu ketentuan yang dibuat sebagai landasannya.

Berdasarkan kondisi sebagaimana dikemukakan diatas DPR RI khususnya Komisi III tentu akan sangat terbuka untuk mendapatkan masukan masukan dan aspirasi dari berbagai pihak  terkait dengan rencana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis. Karena pada dasarnya hukum berlaku tidak hanya atas pertimbangan secara yuridis maupun filosofis tetapi juga yang lebih penting lagi adalah aspek sosiologisnya. Bagaimana menurut Anda ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar