Sejak Kapan Rendang `Beragama`, UAH: Sejak Batik Punya Kewarganegaraan

Minggu, 19/06/2022 19:26 WIB
Ustadz Adi Hidayat (UAH). (Bangka Pos).

Ustadz Adi Hidayat (UAH). (Bangka Pos).

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini, pernyataan Penceramah Kondang, Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang memberikan jawaban terkait pertanyaan `sejak kapan rendang punya agama?` Sehingga tidak boleh dibuat menggunakan olahan daging babi viral di jagat media sosial.

Dalam video yang viral tersebut, UAH dengan tegas mengatakan bahwa Rendang punya agama sejak batik, calung, dan angklung punya kewarganegaraan.

“Ada pertanyaan sejak kapan rendang itu punya agama, maka dijawab, apa jawabannya? Sejak batik, calung, angklung punya kewarganegaraan,” jawab UAH melalui channel youtube resminya Adi Hidayat Official dikutip Minggu 19 Juni 2022.

Dalam potongan video itu, penceramah muda itu mengilustrasikan ketika batik yang menjadi budaya Indonesia diklaim oleh negara lain tentu bangsa Indonesia tidak akan terima dengan hal tersebut.

“Kalau batik diklaim sama Malaysia mau tidak? tidak, orang Indonesia akan mengatakan batik itu budaya Indonesia, sudah melekat karena itu tidak ingin diklaim oleh negara-negara lain,” paparnya.

Dia menegaskan, bila memang tidak pantas untuk diklaim lantas sejak kapan batik memiliki kewarganegaraannya.

“Pertanyaannya sejak kapan batik punya kewarganegaraan? Kan sama saja, artinya itu adalah pertanyaan yang tidak berfaedah karena itu sudah menjadi budaya yang melekat,” jelasnya kembali.

Ustaz Adi Hidayat juga menambahkan kaidah ushul fiqh bahwa sebuah adat bila sudah melekat maka ia akan menjadi sebuah hukum.

“Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan al adatu muhakkamah kalau sudah melekat, sudah baik dikenal dengan itu maka jadi hukum, kalau sudah jadi hukum maka dikenal oleh masyarakat, kalau berbeda dengan itu maka akan ada sesuatu yang nyeleneh menyimpang,” ujarnya.

Dia menambahkan, tentang falsafah minang yang erat kaitannya dengan syariat Islam.

“Rendang itu produk masyarakat minang, budaya di minang falsafahnya berbunyi adat bersanding syarah, syarah bersanding kitabullah karena itu setiap yang keluar dari minang lekat dengan syariat walaupun produk makanan,” tambahnya.

Kemudian UAH juga menyatakan bahwa pertanyaan soal agama pada makanan merupakan pertanyaan yang kurang kerjaan.

Dia juga menegaskan bahwa untuk tidak menganggap enteng masalah apapun terlebih sesuatu yang telah menjadi tradisi.

“Jadi jangan tanyakan tentang agamanya, kalau bertanya tentang agama pada makanan itu pertanyaan kurang kerjaan. Jadi jangan pernah mengecilkan apapun apalagi bila sudah menjadi tradisi,” paparnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar