Adanya Kemunduran Demokrasi dan Intervensi Negara ke Civil Society

Kamis, 10/06/2021 00:01 WIB
Corporatokrasi Membuat Matinya Demokrasi (RRI)

Corporatokrasi Membuat Matinya Demokrasi (RRI)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia kini menunjukkan suatu praktik otoriter yang sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan tidak juga di negara lain yang mengalami kemunduran demokrasi seperti Singapura atau Amerika. Praktik tersebut ialah politisasi ilmu pengetahuan dan ancaman terhadap kebebasan akademik

Hal itu dikatakan Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES membuka forum diskusi daring di Jakarta, Rabu (9/6) dengan update atas empat praktik otoriter yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Praktik ini tercermin dari banyak kasus.

Pertama, dari pembentunikan BRIN yang meleburkan empat lembaga riset nasional seperti: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN). Kemudian, Wijayanto menegaskan, pelajar dan mahasiswa pun memperoleh represi ketika terlibat dalam aksi demonstrasi.

Hal ini ditemukan melalui banyaknya kasus mahasiswa dan pelajar yang mengalami berbagai jenis tekanan, baik secara digital maupun secara offline. Selain itu, peneliti atu pun dosen juga dihadang oleh persyaratan birokratis yang rumit, serta pendanaan yang minim. 

Praktik otoriter yang menekan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebebasan akademik ini menunjukkan bagaimana seriusnya pemerintah (atau dalam hal ini, elite penguasa) untuk memperlebar cakupan konsolidasinya.  Tetapi, tidak hanya berhenti di situ, upaya ini juga diikuti oleh nuansa anti-science yang tercermin dari kebijakan pemerintah dan respon mereka terhadap berbagai hal, seperti Pandemi dan bencana antropogenik yang semakin marak terjadi. 

Kemudian, Fadhil Hasan yang merupakan Direktur Corporate Affairs di Asian Agri Group pun ikut menambahkan paparan dari Wijayanto dengan mempertegas hubungan kemunduran demokrasi dengan korupsi dan dampaknya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Ia menelaah empat penyebab dari kemunduran demokrasi yang kini terjadi di Indonesia. Pertama, terkait dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pemerintah terutama di masa sulit akibat Pandemi Covid-19.  Hal ini lah yang kemudian menyebabkan negara dapat berperilaku layaknya negara otoriter. Kedua, over-reacting agent yang dilakukan untuk merespons beberapa isu, di antaranya: terhadap kasus penembakan FPI di akhir tahun 2020, kasus baliho oleh Kodam Jaya, penangkapan aktivis oleh polisi  di sosial media.  Alasan kedua ini yang pada akhirnya berpotensi membawa bangsa ini ke dalam situasi yang mendukung anarki aparat.

Ketiga, alasan kemunduran demokrasi disebabkan oleh persaingan elite deep state. Dengan kata lain, perang proxy antar-elite di lingkungan kekuasaan. Hal ini dicerminkan oleh kasus penangkapan Djoko Tjandra dan kasus belum terungkapnya pembakaran kantor jaksa.

Hal ini berpotensi untuk memunculkan chaos (kekacauan) dalam pengambilan keputusan atas suatu kebijakan. Terakhir, poin ke empat, ialah terkait dengan keberlanjutan oligarki kekuasaan yang pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan dan kemiskinan dalam suatu negara.  Untuk menjawab permasalahan yang diakibatkan oleh kemunduran demokrasi, maka konsolidasi masyarakat harus lebih konsisten dan kuat, diiringi oleh penyadaran yang berkelanjutan dari segi pemikiran.

Paparan diskusi hari ini pun diakhiri oleh Hurriyah yang merupakan dosen di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia. Ia menekankan bahwa situasi kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga terjadi di negara lain, bahkan Amerika sekali pun.

Penyempitan yang terjadi dalam ruang sipil ini juga diikuti oleh penyempitan dalam konteks kebebasan politik, terlihat dari adanya ketimpangan dalam kesempatan berpartisipasi dan upaya melanggengkan kekuasaan oligarki. Untuk itu, faktor kemampuan masyarakat untuk menggunakan new media menjadi salah satu kunci atas permasalahan ini. Di sisi lain, masyarakat harus setuju pada satu konsensus, tidak terpecah-pecah, agar proses konsolidasi masyarakat sipil dapat di wujudkan. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar