Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M

Pakar HTN UGM: dari Tolak UU Ciptaker Hingga Fans Klub Bola AC Milan

Sabtu, 09/01/2021 09:08 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar (Foto:Instagram Zainal Arifin Mochtar)

Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar (Foto:Instagram Zainal Arifin Mochtar)

Jakarta, law-justice.co - Namanya sebagai Pakar Hukum Tata Negara memang tidak tersohor seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Mahfud MD, hingga Prof. Jimly Asshiddiqie. Bila dibandingkan dengan ketiga nama tersebut, nama Prof. Zainal Arifin Mochtar mungkin masih kalah popular dengan ketiga Pakar Hukum Tata Negara yang sudah senior dan malang melintang di kancah nasional.

Menjadi menarik ketika Zainal Arifin Mochtar mendadak ramai diperbincangkan publik saat ia mengkritisi secara rinci mengenai polemik UU Cipta Kerja (Omnibus Law) beberapa waktu lalu. Tak tangung tanggung Pria kelahiran Makasar itu menyebutkan kalua substansi UU Cipta Kerja secara asal-asalan dan berantakan.

“Kalau saya baca (UU Cipta Kerja), UU inikan dibuatnya sangat terburu-buru. Ya (hasil UU Ciptaker ugal-ugalan) contohnya di bab sanksi aja kan ini isinya berantakan,” katanya kepada Law-justice.co.

Untuk diketahui, Zainal Arifin Mochtar merupakan seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), dilahirkan di Makasar pada 8 Desember 1978. Selain aktif sebagai dosen, Pakar Hukum Tata Negara tersebut juga merupakan aktivis anti korupsi, hal tersebutlah yang mendorong dirinya menjadi peneliti pada Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) yang bergerak dalam kajian dan advokasi mengenai antikorupsi.

Zainal berhasil lulus dari Fakultas Hukum UGM pada tahun 2003, saat itu ia menuliskan tugas akhir berjudul "Konsep Pertanggungjawaban Pelaku Crimes Against Humanity di Pengadilan HAM". Setelah lulus dari UGM, Zainal melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar masternya di Northwestern University, Amerika Serikat pada tahun 2006. Kemudian, tahun 2012 Zainal melanjutkan studi S3 di UGM. Pada studinya, Zaenal cenderung mengambil topik mengenai Hak Asasi Manusia.

Zainal Arifin Mochtar juga pernah menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2007. Puncaknya Pria yang akrab disapa Uceng ini ditunjuk oleh KPU untuk menjadi moderator dalam debat Pilpres pertama tahun 2014 ketika Prabowo-Hatta berhadapan dengan Jokowi-JK dan tema yang diusung saat itu adalah pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan kepastian hukum.

Uceng merupakan anak dari salah satu ulama besar, yakni KH Mochtar Husein, pada saat itu KH Mochtar juga mendirikan Pondok Pesantren Nuhiyah Pambusuang di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Selain sebagai ulama, Ayah dari Uceng ini juga merupakan seorang orator handal dan termasuk aktif juga dalam kegiatan organisasi keagamaan. KH Mochtar pernah menjadi Ketua MUI Sulawesi Selatan. KH Mochtar Husein menghembuskan nafasnya di rumahnya di Jl. Belibis No. 1, Makassar, Sulsel pada 7 Oktober 2017 lalu dimakamkan di pemakaman Arab Bontoala, Minggu (8/10/2017).

Untuk diketahui, ada cerita menarik dari awal mula Zainal Arifin Mochtar memiliki nama akrab Uceng. Semua berawal dari temannya pada waktu itu yang kerap usil memanggil Zainal dengan menggunakan nama kakek dari Zainal, yang bernama Husein.

“Nama kakek Husein, dulu teman-teman usil panggil pake nama kakek, ya jadinya gitulah,” ujarnya.

Fans Berat AC Milan dan Band Padi

Dibalik kecakapanya sebagai pakar Hukum Tata Negara, Uceng memiliki hobi pada olahraga sepak bola. Ia bahkan mengaku kalau dirinya sudah menonton pertandingan sepak bola semenjak dirinya sebelum berusia 10 tahun, pada saat itu bahkan ia menonton langsung di Stadion Mattoanging Makasar karena memang jarak rumahnya yang sangat dekat stadion tersebut.

“Saya nonton bola, yang lengkap ya sudah mulai di stadion sepak bola saat usia 5-6 Tahun di Stadion Mattoanging Makasar karena rumah saya depan stadion mattoanging Makasar, itu saya udah nonton sekitar tahun 80an lah,” ucapnya.

Uceng sendiri merupakan fans berat dari klub Sepakbola legendaris asal Italia yakni AC Milan. Bahkan ia mengakui kalau ia sempat sedih ketika AC Milan dikalahkan oleh klub asal Inggris Liverpool pada Final UEFA Champions League (UCL) 2005 melalui babak adu penalty.

“Saya mulai suka sama AC Milan di Tahun 87-88, saat itu ada Sacchi hingga Ancelotti. Termasuk pada saat zaman trio Belanda awal,” ungkapnya.

Meski begitu selain menyukai AC Milan, Ia juga mengaku kalau dirinya juga merupakan fans dari klub bola asal Inggris Liverpool. Uceng bahkan mulai menyukai Liverpool sejak Zaman Ian Rush dan Barnes, meski sempat kecewa pada Liverpool karena telah mengalahkan AC Milan di Final UCL 2005. Namun akhir akhir ini ia kembali suka pada Klub bola yang telah meraih enam gelar UCL tersebut.

“Ya (Klub favorit selain AC Milan), Di Inggris ya Liverpool sejak zaman Ian Rush dan Barnes. Walau sempat marah waktu Milan dikalahkan di Istanbul. Tapi belakangan Kembali suka,” paparnya.

Selain memiliki minat pada Sepakbola, Ayah empat anak ini juga memiliki minat pada musik. Uceng mengakui kalau ia menyukai banyak band dari Luar Negeri dan Dalam Negeri. Meski begitu dirinya mengaku sangat suka pada Band Lobo dan Oasis, sedangkan untuk dalam negeri ia sangat menyukai band Padi.

“Banyak (band yang disukai), kalau diluar mulai dari Lobo dan Oasis, kalau Indo, Sukanya Padi,” tukasnya.

Bahkan Pakar Hukum Tata Negara tersebut juga sempat melakukan selfie dengan Vokalis Padi, Fadly. Kemudian momen selfie tersebut diabadikan di akun Instagram pria berumur 42 tahun tersebut.

Zainal Arifin Mochtar berfoto Bersama Vokalis Band Padi Fadly (Foto: Instagram Zainal Arifin Mochtar)

Kritik Keras UU KPK

Uceng mengeluarkan statement kalau dirinya tidak menyetujui mengenai revisi UU KPK beberapa waktu lalu. menyatakan kalau revisi UU KPK perlu dikaji lagi secara mendalam apakah revisi UU KPK itu keinginan dari rakyat atau hanya pihak tertentu.

Pakar Hukum Tata Negara tersebut mengatakan bila proses pembentukan undang-undang harus didasari pada bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, seharusnya pembentukan undang-undang tidak hanya memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pembentuk, melainkan juga menimbang keinginan rakyat.

Dalam hal revisi UU KPK, Zainal mencontohkan kesewenangan itu ditunjukkan saat pemerintah berdalih terjadi sejumlah kesalahan pengetikan draf RUU, termasuk mengenai syarat usia minimal pimpinan KPK.

Selain itu, proses pembentukan undang-undang seharusnya dapat mematuhi sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Proses tersebut tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, termasuk tak melibatkan rakyat.

"Proses pembentukan UU harus dibatasi, karena dalam pembentukan itu tidak boleh seenaknya. Dalam pembentukan undang-undang harus ada kesepakatan pembentukan undang-undang itu terjadi," katanya.

Selain UU KPK, Pakar Hukum berusia 42 tahun tersebut juga melihat keanehan dalam pasal 1 draf Perpres 102 Tahun 2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi kewenangan baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia juga melihat pula ada gejala pemerintah ingin menarik Kembali wewenang yang sudah independen di KPK.

“Kita sudah melangkah cukup jauh dengan hasil yang lumayan, walalupun masih ada yang perlu diperbaiki, tapi menjadi pertanyaan ketika ini ditarik mundur,” tuturnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada tersebut juga menyatakan kalau UU KPK tidak akan berjalan efetif, meski ada beberapa orang yang beranggapan UU KPK yang baru akan berjalan efektif.

“Saya sih yakin gak efektif, tunggu aja tahun ini waktu akan membuktikan,” tukasnya.

Zainal Arifin Mochtar ketika melakukan diskusi dengan KPK ditengah polemik UU KPK (Foto:Instagram Zainal Arifin Mochtar)

Kritik Keras UU Ciptaker dan Sebut Pemerintahan Jokowi Disorientasi

Zainal Arifin Mochtar termasuk yang mengkritisi RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) ketika disahkan menjadi UU pada Bulan November Tahun 2020. Uceng melihat bila UU sudah disahkan secara resmi oleh pemerintah merupakan hal yang sakral. Jadi adanya perubahan yang kerap terjadi pada draf final UU Ciptaker sangat disayangkan dan membuat UU tersebut menjadi tidak sakral.

Uceng juga mengatakan alasan yang dilontarkan oleh DPR mengedit redaksional draf UU juga tak diperbolehkan sebab dokumen tersebut sudah disahkan secara resmi oleh mereka dan pemerintah sebagai sesuatu yang sakral.

"Hanya saja sangat disayangkan, Indonesia tidak memperlakukan undang-undang secara sakral. Karena yang namanya undang-undang itu sakral," kata Zainal.

Maka tidak heran bila UU Ciptaker ini pada akhirnya menjadi kontroversi dan dicurigai oleh banyak masyarakat karena draf pada UU tersebut cenderung tidak konsisten dan berubah-ubah. Hal tersebut karena pembahasan UU Ciptaker yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adanya unsur ketertutupan.

Uceng menilai hal Itu menjadi fatal karena UU dibuat tanpa transparansi. Mayoritas publik tidak mengetahui mana draf UU yang benar, contoh ketika saat masa awal kala itu masih dalam bentuk draf. Saat publik mengkritisi, mereka bilang bukan itu versi yang sebenarnya. bukan itu.

"Ya itu buah dari ketertutupan dan buah dari tidak ada transparansi. Dengan kondisi begitu gimana orang enggak curiga dengan undang-undang yang dibuat," ucapnya.

Kesalahan ketik dalam UU Ciptaker juga merupakan bukan kesalahan yang bisa tapi merupakan kesalahan yang berbahaya. Perbaikan UU Ciptaker tidak bisa dilakukan hanya dengan melakukan koordinasi antara Pemerintah dan DPR. Melainkan hal itu kini berada dibawah wewenang Presiden Jokowi dengan menerbitkan Perppu.

“Saya menolak itu, pertimbangan saya bahwa itu bukan kesalahan biasa. Itu kesalahan praktik akibat mengubah-ubah pasal. Jadi itu bukan kesalahan ketik. Menurut saya itu kesalahan fatal,” imbuhnya.

“Kita bicara soal dasar hukum, dasar hukum memperbaiki kan diatur dalam UU 12 Tahun 2011. Bagaimana cara memperbaiki, kita bicara soal proses mekanisme yang diperbaiki secara hukum, dan bila ingin diperbaiki harus melalui Perppu,” ucapnya.

Pakar Hukum Tata Negara tersebut juga bahkan menyatakan bila pemerintahan Jokowi telah mengalami disorientasi pada masa pemerintahanya terutama saat periode kedua. Disorientasi tersebut bakal menurunkan tingkat kepercayaan publik dan juga kepada partai politik pengusung apabila preseden buruk tidak segera dibenahi.

Uceng pun mendorong kepada publik untuk terus memberikan peringatan kepada Presiden Jokowi untuk segera sadar untuk tidak meneruskan langkah diorientasi dalam masa pemerintahanya. Presiden Jokowi juga perlu menyadari bahwa sebentar lagi akan memasuki tahun 2022 bisa saja nanti perlahan parpol sudah fokus untuk kontestasi politik mendatang.

“Pemerintah mengalami disorientasi, kita semua wajib untuk mengingatkan presiden bahwa sebentar lagi paling di 2022 pemerintah sudah terfragmentasi, semua pasti sibuk untuk menyalahkan mesin untuk merebut kekuasaan pada 2024, siapa pun itu mau yang sekarang sedang mesra dengan presiden atau yang oposisi,” tukasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar