Salah Kaprah Penerapan Azas `Keselamatan Rakyat Ialah Hukum Tertinggi`

Jakarta, law-justice.co - Pada waktu memberikan pengantar pada Rapat Terbatas mengenai Laporan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (18/11), di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Jokowi mengatakan bahwa keselamatan rakyat di tengah pandemi COVID-19 saat ini merupakan hukum tertinggi.

Oleh sebab itu, penegakan disiplin terhadap protokol kesehatan sudah semestinya dilakukan dengan tegas oleh pihak yang berwenang menanganinya.

Baca juga : Bahlil : Realisasi Investasi Kuartal I-2024 Capai Rp 401,5 Triliun

 “Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Pada masa pandemi ini telah kita putuskan pembatasan-pembatasan sosial termasuk di dalamnya adalah pembubaran kerumunan,” ujarnya.

Untuk itu Kepala Negara meminta Kapolri, Panglima TNI, dan Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 untuk menindak secara tegas apabila ada pihak-pihak yang melanggar pembatasan-pembatasan yang sudah ditetapkan.

Baca juga : Ini Isi Pertemuan Jokowi dengan PM Singapura Lee Hsien Loong

“Jadi jangan hanya sekadar imbauan, tapi harus diikuti dengan pengawasan dan penegakan aturan secara konkret di lapangan,” tuturnya seperti dikutip media.

Ditengah mewabahnya pandemi virus corona, azas yang menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi memang seringkali kita dengar di ucapkan oleh penguasa serta menjadi landasan kebijakan yang diambilnya.

Baca juga : Heru Budi Sebut Penonaktifan NIK Lindungi Warga dari Kriminalitas

Azas Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi ini juga menjadi landasan bagi Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menerbitkan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran virus corona.

"Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Itulah alasan Polri mengeluarkan maklumat," kata Idham seperti dikutip Antara, Kamis (26/3/2020).

Maklumat Kapolri Mak/2/III/2020 yang  terbit pada 19 Maret lalu itu dikeluarkan dalam rangka menekan laju penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia.

Dengan mendasarkan diri pada azas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan kebijakan serupa.

Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah telah melakukan langkah-langkah strategis dalam ikhtiar mencegah penyebaran wabah Covid-19 di Lingkungan MK. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Sekretaris Jenderal MK Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kewaspadaan dan Imbauan Kesehatan Terkait virus corona.

Kiranya cukup banyak kelembagaan negara yang menjadikan azas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi sebagai sandaran kebijakannya ditengah mewabahnya virus corona.

Apa dan bagaimana latar belakang lahirnya azas keselamatan rakyat merupakan hukum  tertingi yang sekarang banyak dijadikan landasan hukum bagi pengambilan kebijakan terkait mewabahnya virus corona ?

Apakah penerapan azas ini telah konsisten dilaksanakan oleh penguasa yang diberikan mandat untuk menyelamatkan rakyatnya ?, Seperti apa penerapan azas keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi di berbagai aspek kebutuhan rakyat pada umumnya ?

Seputar Azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi

Di tengah merebaknya pandemi virus corona,  penyebutan azas Keselamtan Rakyat adalah Hukum Tertinggi semakin akrab ditelinga.

Istilah atau azas ini  dari bahasa asalnya disebut sebagai Salus populi suprema lex atau ada juga yang menyebutnya Salus populi suprema lex esto atau Salus populi suprema est yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi.

Adagium latin ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus”. Kemudian, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karya klasiknya “Leviathan” dan Baruch Spinoza (1632-1677) dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa.

Selain itu, John Locke (1632-1704 M) juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah atau penguasa.

Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum negara.

Prinsip ini lalu menjadi jangkar dalam pengambilan keputusan selama berabad-abad dalam teori pemerintahan, khususnya di benua Eropa.

Di Indonesia, penerapan azas Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi tergambar pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan  secara jelas dan tegas bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tujuan utama dari pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia.

Dengan demikian, adagium Salus populi suprema lex langsung menemukan landasannya dalam sumber hukum tertinggi di Indonesia (the supreme law of the land), yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Membahas mengenai keselamatan rakyat di masa pandemi virus corona, maka perhatian kita akan langsung tertuju pada keselamatan nyawa dan kesehatan warga negara.

Bertalian erat dengan kedua hal tersebut, Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan konstitusional terhadap hak hidup (right to life) dan hak atas kesehatan (right to health) rakyatnya.

Pasal 28A UUD 1945 menjamin, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya“. Begitu pula dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Secara spesifik terkait kesehatan, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 memberikan mandat konstitusional kepada negara dengan menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak“.

Hak-hak konstitusional tersebut harus dimajukan (promoted), dilindungi (protected), dan dipenuhi (fufilled) sebagai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara, terutama pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.

Dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan rakyat maka pemerintah memiliki dua jenis tugas secara bersamaan, yaitu tugas negatif (negative duties) dan tugas positif (positive duties).

Tugas negatif dimaksudkan bahwapemerintah dan pejabat publik tidak boleh secara sewenang-wenang atau sengaja merenggut nyawa seseorang. Sedangkan, tugas positif harus dimaknai bahwa pemerintah wajib memperhatikan dan melindungi hak hidup rakyatnya dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan.

 Artinya, setiap keputusan dan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona harus menempatkan keselamatan hidup rakyatnya sebagai prioritas dan tujuan utama.

Meskipun terdapat faktor-faktor penting lainnya yang juga perlu diselamatkan, misalnya perekonomian negara, namun muara dari semua kebijakan tersebut harus diarahkan seoptimal mungkin untuk mencegah jatuhnya korban jiwa atau bertambah banyaknya jumlah pasien yang terjangkit virus corona.

Begitu pula dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan menggunakan pendekatan keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya “A Theory of Justice” (1971), keputusan yang diambil haruslah diutamakan sedemikian rupa untuk memberikan manfaat terbesar bagi kalangan yang paling tidak beruntung (to the greatest benefit of the least advantaged).

Hal yang paling penting, semua pengambilan keputusan dan kebijakan tersebut tidak boleh keluar dari koridor konstitusi negara.

Di sinilah prinsip-prinsip konstitusionalisme Indonesia akan diuji implementasinya. Apabila keputusan dan kebijakan diambil dengan mengatasnamakan keselamatan rakyat, namun ternyata keluar dari aras konstitusi, apalagi justru membahayakan kehidupan rakyat, maka sudah pasti hal tersebut menyimpang dari tujuan bernegara.

Penerapan Azaz Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi

Kiranya jelas makna daripada azas Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi yang ternyata mempunyai cantolan di kontitusi kita. Menindaklanjuti azas ini maka dalam upaya memerangi pandemi virus corona Pemerintah telah melakukan langkah langkah yang diperlukan untuk mencegah penyebarannya.

Sejak kasus pertama covid-19 di Indonesia diumumkan tanggal 2 Maret 2020 yang menyasar kepada dua orang perempuan dewasa di daerah Depok, sebelas hari kemudian (13 Maret) pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan  Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), melalui Kepres No. 7 Thn 2020.

Gugus Tugas ini dipimpin oleh ketua BNPB (badan nasional penanggulangan bencana), lembaga Negara yang telah terbiasa menangani bencana di Indonesia.

Kemudian lahir  PP No. 21 Thn 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ditetapkan dan diundangkan 31 maret 2020, sebagai turunan dari pasal  59 (4) UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

 Pada tanggal yang sama (31 Maret) dikeluarkan juga  Perpu No. 1 Thn 2020 tentang Kebijakan Keuangan untuk Penanganan Pandemik  Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sebagai Stabilitas Sistem Keuangan.

Perpu ini akhirnya disetujui oleh DPR sebagai Undang-Undang (UU) tanggal 12 Mei 2020.

Dengan lahirnya tiga serangkaian peraturan perundang-undangan untuk menangani Covid-19 di atas, yaitu Perpu No. 1 Thn 2020, PP no. 21 thn. 2020 dan Kepres No. 7 Thn. 2020, maka sudah ada dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan aktivitas penanganan virus corona.

Lahirnya Gugus Tugas di tingkat nasional dan daerah yang langsung bertanggung jawab ke Presiden merupakan badan pelaksana yang melakukan koordinasi dan konsolidasi lintas sektor dan lintas wilayah. Keberadaan Perpu No. 1 thn 2020 menjamin adanya alokasi pendanaan dari APBN untuk penanganan Covid-19.

Pemerintah juga telah membentuk RS Rujukan khusus Covid-19, dan seluruh biaya menangani pasien covid-19 ditanggung oleh pemerintah.

Terlepas dari berbagai mancam kritik yang ditujukan kepada penerapan PSBB, maupun kelahiran Perpu nomor 1 tahun 2020, apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah bisa bermakna suatu upaya untuk menyelamatkan rakyatnya dari pandemi virus corona. Seperti yang disitir oleh Cicero, filsuf Italia “Salus Populi Suprema Lex Esto”: “Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”, alias keselamatan umum yang paling utama.

Namun seperti yang kita ketahui pada tataran implementasi atau secara realitas asas “salus populi suprema lex esto” tidak sepenuhnya direalisasikan bahkan asumsi yang extreme menyatakan bahwa hal itu hanyalah suatu mimpi belaka.

Meskipun dalam berapa kesempatan Kepala Negara mengingatkan agar daerah-daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah mengenai penegakan disiplin protokol kesehatan untuk betul-betul menjalankan aturan tersebut secara tegas, konsisten, dan tidak pandang bulu, namun kenyataannya pernyataan ini hanya sampai ditataran verbal belaka.

Berseliweran berita di sosial media yang mengabarkan penanangan pandemi virus corona tidak menggambarkan upaya  yang mencerminkan azas “Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”, sebagai tujuan utama.  

Buktinya banyak dana dana yang dialokasikan untuk menyelamatkan rakyat dari wabah corona diselewengkan oleh pejabat yang menjadi pelaksananya. Bantuan bantuan sosial yang dikemas dalam bentuk pembagian sembako dan uang diduga banyak diselewengkan dalam penyalurannya khusus terkait momen Pilkada.

Alokasi anggaran negara  dalam rangka penanganan virus corona yang jumlahnya lebih dari 900 triliun nyaris tidak termonitor dengan baik realisasinya.

Itu disebabkan karena lembaga formal pengawas seperti DPR sudah di amputasi perannya sedemikian rupa.Bahkan melalui Perpu No. 1/2020 telah disediakan katup pengaman bagi pihak berwenang yang menjalankan tugas dalam rangka program penanganan virus corona ini bebas dijerat pidana kalau ditemukan penyelewengan dalam menjalankan tugasnya.

Soalnya pada 27 ayat 1 Perpu tersebut memuat suatu ketentuan yang  membuat sang pengambil kebijakan menjadi kebal hukum jika dalam pelaksanaannya terjadi mal administrasi seperti penyalahgunaan anggaran, pembiayaan yang tidak efektif hingga risiko penggelapan dana.

Pengaturan sebagaimana dikemukakan diatas tentunya membuka peluang untuk terjadinya perampokan keuangan negara yang dilegalkan karena ada alas hukumnya.

Dengan begitu apakah ini  bisa dimaknai bahwa negara telah  lalai menjalankan tugasnya untuk menjadikan azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi sebagai dasar pertimbangannya ?. Bukankah ini lebih condong mengamalkan azas Keselamatan Pejabat Negara sebagai Hukum Tertinggi, dalam penanganan virus corona ?

Lebih jauh manakala kita amati secara cermat seluruh tindak tanduk pemerintah dalam menangani virus corona justru  cenderung melakukan anomali perilaku yang salah, diantaranya adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam menjalankan kebijakannya menangani pandemi virus corona.

Sebagai contoh aroma tebang pilih dalam  penegakan hukum protokol kesehatan (Prokes) begitu terasa akhir akhir ini yang membuat banyak pihak kecewa.

Sebagai contoh pasca terjadinya peristiwa kerumunan massa yang disebabkan oleh kegiatan Habib Rizieq Shihab  (HRS), Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, Keamanan Mahfud MD sempat `memanggil` aparat keamanan hingga tiga kali saat menyampaikan permintaan pemerintah untuk menindak tegas pelanggaran protokol kesehatan, termasuk kerumunan massa di tengah pandemi virus corona.

Mahfud juga menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan sanksi kepada aparat keamanan yang tidak bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya protokol kesehatan Covid-19.

Selain itu, Mahfud mengingatkan kepada kepala daerah, pejabat publik, dan masyarakat di seluruh Indonesia bahwa pemerintah akan menindak tegas dan lakukan penindakan hukum bila masih melakukan pengumpulan massa dalam jumlah besar.

Tindak lanjut dari “ancaman” Mahfudz ini telah memunculkan korban dengan dicopotnya dua Kapolda menyusul pemanggailan HRS dan Gubermur DKI Jakarta.

Tetapi pencopotan jajaran petinggi kepolosian dan disusul pemanggilan HRS dan Gubernur DKI Jakarta ini telah memunculkan “protes” dari sebagian masyarakat yang menganggap penegakan hukum dalam rangka Prokes terkesan tebang pilih karena hanya menyasar pihak pihak tertentu saja.

Pada hal sebelum sebelumnya marak terjadi pelanggaran terhadap Prokes yang dilakukan oleh berbagai pihak tanpa sanksi apa apa. Banyak peristiwa dan kejadian yang menunjukkan bahwa sebelum ini telah terjadi pelanggaran pelanggaran itu sebagai contoh pada Rabu (23/9/2020) yang lalu,  Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo menggelar hajatan dengan konser dangdut yang dihadiri oleh ribuan orang di Lapangan Tegal Selatan. Penonton dan tamu undangan berjubel dan dipastikan melanggar protokol kesehatan dimasa pandemi.

Sebelumnya, pasangan bakal cawali dan cawawali Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa  pada saat mendaftar membawa massa dalam jumlah banyak sehingga terjadi kerumunan di kator KPU. Hal itu melanggar aturan protokol kesehatan COVID-19 yang telah ditetapkan pemerintah. (6/9/2020).

Masih di Jawa Tengah, sebanyak 9.999 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Banyumas melakukan longmars ditengah guyuran hujan deras dengan membentangkan bendera merah putih sepanjang 1.000 meter atau satu kilometer. Kegiatan itu dilakukan pada Minggu (15/11/2020). Kegiatan bertajuk Parade Merah Putih digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.

Dikutip dari law-justice.co - acara Kliwonan Habib Luthfi bin Yahya atau Wantimpres Jokowi di Pekalongan, 16 Oktober 2020 lalu, dihadiri ribuan orang. Tak terlihat jaga jarak dan pakai masker dalam acara itu. Video ini diunggah di You Tube oleh akun MT Darul Hasyimi Jogja. Video ini berdurasi 2 jam 36 menit. Video ini dibuatkan judul Kliwonan 16 Oktober 2020.

Serangkaian kejadian yang mengindikasikan adanya pelanggaran protokol kesehatan tersebut sepertinya berjalan lancar lancar saja tanpa adanya sanksi bagi pelakunya. Tidak kedengaran adanya pemanggilan Gubernur atau Bupati/ Walikotanya. Demikian juga tidak ada kedengaran adanya Kapolda yang dicopot dari jabatannya karena dugaan pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang terjadi diwilayahnya. 

Bandingkan dengan proses penegakan hukum Prokes diwilayah DKI Jakarta yang begitu sigap dilakukan oleh aparat terkait yang menanganinya.  Selain Gubernur DKI Jakarta, ada 9 pejabat Pemprov DKI lainnya yang ikut dimintai keterangannya. Mereka adalah Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara, Kasatpol PP DKI Arifin, Lurah Petamburan Setiyono, Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah, Kepala KUA Tanah Abang, Camat Tanah Abang, Ketua RT dan RW tempat tinggal Rizieq, serta Babinkamtibnas.  Selain itu menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, Kepolisian juga mengundang 14 pejabat Pemprov DKI untuk dimintai klarifikasinya.

Menanggapi aroma tebang pilih dalam penegakan hukum Prokes, pihak Polri beralasan bahwa persoalan pelanggaran Prokes di DKI Jakarta tidak sama dengan pelanggaran Prokes karena pilkada.  

Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menyebut kasus kerumunan acara Habib Rizieq Shihab tidak bisa disamakan dengan kerumunan acara pilkada. Sebab, khusus untuk pilkada ada pengawasnya sendiri yang menanganinya."Jangan samakan kasusnya itu, ini kan ceritanya sekarang masalah apa pentahapan pendaftaran pilkada itu kan urusannya ada pilkada, itu pilkada ada siapa pengawasnya (Bawaslu)," katanya sebagaimana dikutip  SINDO media, Kamis (19/11/2020).

Sesungguhnya kalau mau konsisten dengan penerapan azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi maka penegakan hukum dalam rangka Prokes tidak bisa dibeda bedakan kasusnya. Karena sama sama sama ada kerumunan yang menghadirkan banyak manusia. Lalu bagaimana halnya dengan kerumunan acara Habib Luthfi di Pekalongan yang tidak ada kaitannya dengan Pilkada yang juga menghadirkan banyak manusia ?.

Karena itu apapun alasannya, kerumunan manusia bisa berpotensi menghadirkan klaster baru virus corona manakala protokol kesehatan tidak dipatuhinya. Karena virus corona tidak mengenal istilah apakah yang berkerumun itu karena acara pilkada atau bukan pilkada.

Lagi pula kalau pemerintah konsisten menerapkan azas  “salus populi suprema lex esto” atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara, maka sudah seharusnya pelaksanaan pilkada ditunda. Karena aspirasi agar Pilkada ditunda sebenarnya telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan seperti Ormas besar Muhammadiyah dan NU yang menghendaki supaya pilkada ditunda.  

Selain dua organisasi raksasa itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan agar pilkada 2020 ditunda. Tapi seperti kita saksikan bersama, Pemerintah tidak bergeming dan terus “keukeh” mengimplementasikan kehendaknya untuk menyelenggarakan Pilkada. Sampai disini yang menjadi pertanyaan adalah : apakah ini bagian dari penerapan azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi sebagaimana yang sering digaungkannya ?

Perluasan Makna Azaz Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi

Azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi yang sudah mendapatkan cantolan yuridisnya di pembukaan UUD 1945 sesunggunya tidak semata mata menyangkut keselamatan nyawa rakyat saja karena disana juga ada amanat rakyat agar negara mensejahterakan rakyatnya. Makna sejahtera disini tentunya bukan hanya sejahtera secara lahir saja tapi juga batinnya. Bukan hanya ekonominya saja tapi juga kebutuhan rohaninya.

Artinya  dengan  Azaz Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi mengandung makna pula bahwa negara atau Pemerintah diberikan mandat/ kewajiban untuk menyelamatkan rakyat dari berbagai aspek kebutuhan hidup, termasuk menyelamatkan sumberdaya alam, kedaulatan, keamanan dan lain sebagainya.

Pendeknya kepentingan rakyat adalah diatas segala galanya yaitu diatas kepentingan pejabat yang menjadi penyelenggara negara. Karena adanya negara hakekatnya adalah untuk melayani rakyatnya untuk mencapai tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Tetapi ditengah merebaknya pandemi virus corona, azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi itu ternyata hanya menjadi utopia belaka. Bahkan dalam kondisi darurat bencana ini Pemerintah justru terindikasi melakukan upaya memanfaatkan situasi bencana untuk kepentingannya, bisa dibaca pada peristiwa-peristiwa, diantaranya :

Pertama,  Mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2020.Disaat masyarakat tercekam menghadapi virus corona, Kementerian ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Pertambangan Minerba yang memihak kepentingan asing dan swasta . Permen ESDM No.7/2020 tersebut berisi ketentuan yang melanggar UUD 1945, sekaligus TAP MPR No.IX/2001 dan UU No.4/2009 tentang Minerba.

Kedua, Memberikan Kekebalan pada Pejabat Pelaksana  Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Berdasarkan aturan dalam ayat 2,  kebijakan yang menetapkan anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota Sekretaris KSSK dan perjabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.Pengaturan ini tentunya membuka peluang untuk terjadinya perampokan keuangan negara yang dilegalkan karena ada alas hukumnya.

Ketiga, di Tengah Covid-19, DPR Ngotot Bahas Omnibuslaw Cipta Kerja dan mengesahkannya. Pada hal Parlemen di berbagai negara di dunia ramai-ramai membahas berbagai kebijakan memerangi pandemi Corona. Tapi Parlemen Indonesia justru malah sibuk membahas omnibus law RUU Cipta Kerja."Ini bikin gemes," kata ahli tata negara Bivitri Susanti dalam diskusi webinar `Menilik Perkembangan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat`, Selasa (14/4/2020)

Keempat, membiarkan eksodus TKA China di tengan Pandemik Corona. Ditengah pandemic corona dimana hampir semua warga bangsa di minta untuk stay tinggal di rumah saja, justru eksodus TKA China tetap dipersilahkan masuk ke Indonesia. Pada hal seperti diketahui bersama, sumber wabah corona ini berasal dari Wuhan China tetapi orang orang China sepertinya dibiarkan tetap masuk ke Indonesia.Disini terlihat para “pengkhianat bangsa” mencoba untuk memasukkan TKA China ditengah pandemic corona pada hal negara negara lain sangat ketat menerima orang yang berasal dari luar negaranya. Sungguh hal ini patut diwaspadai karena bisa  mengancam kedaulatan bangsa dan negara.

Kelima,Ngotot Melanjutkan Agenda Pindah Ibukota. Ditengah merebaknya pandemic corona pemerintah melalui Menko Luhut Panjaitan masih juga ngotot ingin menjalankan program pindah ibukota.Juru Bicara Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) dan Kementerian Koordinator Marves Jodi Mahardi menyatakan proses pemindahan ibu kota negara (IKN) hingga kini masih terus berjalan sesuai rencana. Menurutnya tak ada perubahan di tengah mewabahnya virus corona.

Keenam,Melepas Narapidana. Ditengah pandemic corona. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laloly membebaskan para koruptor dengan dalih untuk mencegah penularan Corona COVID-19 di penjara.Rencana itu akan dilakukan dengan Merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Rencana pembebasan napi koruptor yang digagas Yasonna ini tak ubahnya  merampok di tengah kondisi bencana Corona. Pembebasan para nara pidana ini tentau saja bertentangan dengan landasan berpikir untuk memberikan efek jera terhadap koruptor yang dibangun oleh ketentuan yang ada.

Ketujuh, adanya Aksi Blunder Staf Khusus Presiden. Beberapa Staf Khusus (Stafsus) Presiden RI Joko Widodo, sempat melakukan blunder di tengah pandemic corona sehingga  menimbulkan banyak kritik dan kecaman kepadanya.Sebagai contoh  Andi Taufan Garuda Putra membuat surat yang dinilai menyalahi wewenang kepada para camat untuk bekerja sama dengan dalam program Relawan Desa Lawan virus corona.Politikus maupun pengamat menilai tindakan Andi telah menyalahi wewenang, maladministrasi dan pelanggaran berat ditengah pandemic corona. Andi telah mencabut surat tersebut dan menyampaikan permintaan maaf dalam keterangan tertulisnya.

Tujuh peristiwa sebagaimana telah dikemukakan diatas barangkali hanya beberapa contoh adanya para pengail di air keruh yang memanfaatkan kondisi bencana untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Kalau sudah begini kondisinya, masihkah mereka berani koar koar menyatakan diri bahwa azas Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi telah dijalankan oleh pemerintah yang sedang berkuasa ?.