Gawat, Benny Wenda Sebut Jokowi Berlakukan Darurat Militer di Papua

law-justice.co - Situasi di tanah Papua saat ini disebut sudah sangat menyeramkan. Bahkan saking seramnya, situasi tersebut tak bisa digambarkan lagi. Hal itu disampaikan oleh Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda karena pemerintahan Jokowi telah memberlakukan darurat militer yang efektif di Papua Barat.

“Hari ini, mahasiswa telah ditembak dengan peluru tajam, gas air mata dan dipukuli dengan tongkat bambu oleh polisi di Jayapura, hanya karena melakukan aksi demonstrasi damai. Bagaimana orang bisa ditembak dan dipukuli karena duduk di ruang publik?," katanyaa dalam peryataannya pada 27 Oktober 2020 yang berjudul ‘Martial Law is being imposed in West Papua’, atau daruat militer diberlakukan di Papua.

Baca juga : PDIP: Ternyata Kemajuan Era Jokowi karena Utang yang Sangat Besar

Peryataan itu dikeluarkan Benny Wenda berkaitan dengan penembakan seorang katekis Katolik yang terjadi di Intan Jaya pada 26 Oktober 2020 dan pembubaran paksa dan penembakan massa aksi demonstrasi penolakan Otsus di Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Papua pada, Selasa (27/10/2020).

Kata Wenda, Selama dua bulan terakhir, dua pekerja agama, pendeta Yeremia Zanambani dan pengkhotbah Katolik Rafinus Tigau telah dibunuh oleh militer Indonesia. Seorang lainnya telah ditembak, dan satu lagi meninggal secara misterius.

Baca juga : Civitas UGM Lakukan Deklarasi Kampus Menggugat

Katanya, Polisi bersenjata lengkap mengintai setiap sudut tempat di Papua Barat, dan pasukan militer memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka. Empat puluh lima ribu orang terlantar dari Kabupaten Nduga, dan lebih banyak lagi yang mengungsi dari Intan Jaya setiap hari.

“Ini adalah darurat militer di semua tempat. Hari ini, anda tidak dapat berjalan melalui setiap tempat di Papua Barat dengan bebas tanpa dihentikan aparat polisi dan bertemu dengan pos pemeriksaan militer. Setiap demonstrasi tidak peduli seberapa damai, pasti akan terjadi penangkapan massal dan kebrutalan aparat – di Nabire pada 24 September, di Universitas Cenderawasih, 28 September, di Jayapura hari ini 27 Oktober 2020.”

Baca juga : Heran Pemerintah Gelar Simulasi Makan Siang Gratis, Anies: Dasarnya?

“Indonesia panik karena Ketua Forum Kepulauan Pasifik (PIF) menyuarakan keprihatinan atas Papua Barat belum lama ini. Indonesia dihantui oleh kata-kata Vanuatu yang dikeluarkan di Sidang Umum PBB pada bulan September. Orang Indonesia takut dengan perlawanan kami, perjuangan kami melawan rasisme, dan perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri. Sebuah negara demokratis yang normal tidak mengerahkan ribuan pasukan militer untuk melawan perlawanan damai. Yang melakukan itu adalah kediktatoran militer yang melakukannya.”

Dalam konteks ini, Wenda juga singgung soal kunjungan Menteri Pertahanan Indonesia yang berkunjung ke Amerika dan menteri luar negeri Indonesia berkunjung ke Inggris. Selain itu, Indonesia juga menggunakan krisis Covid-19 sebagai kedok untuk mengintensifkan operasi militer di tanah Papua.

Ia mengatakan, operasi dan penumpasan militer ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran hukum humaniter internasional, dan pelanggaran hukum konflik. Represi militer dan polisi merupakan satu-satunya aturan yang dipakai di tanah Papua.

“Dengan demikian, kami membutuhkan intervensi PBB untuk mendesak Indonesia. Darurat militer diberlakukan di bawah pengawasan para pemimpin regional di Melanesia dan Pasifik, dan di bawah pengawasan dunia. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia harus diizinkan masuk ke tanah Papua untuk mengungkap realitas yang terjadi di West Papua.”

“Forum Kepulauan Pasifik dan Organisasi Negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik harus meningkatkan upaya mereka untuk mewujudkan kunjungan ini.”

Ia lalu mempertanyakan, berapa lama rakyat Papua harus menangis dan menderita untuk kebebasan mereka dan tidak didengar oleh dunia. “Apakah 58 tahun tidak cukup lama untuk menderita?” tutupnya.