Mahfud Heran Pemerintah Oktober Disebut Pro Komunis Kini Pro Kapitalis

Jakarta, law-justice.co - Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengaku bingung dengan aksi protes masyarakat yang terjadi dalam dua bulan terakhir.

Pasalnya menurut dia, ada dua tudingan yang mengarah ke pemerintah dan saling bertolak belakang. Pertama adalah tudingan bahwa pemerintah pro dengan kebangkitan komunisme di tanah air.

Baca juga : 7 Bandara Ditutup Akibat Erupsi Gunung Ruang Sulawesi Utara

Tudingan ini memang kerap muncul di bulan September, tepatnya jelang peringatan tragedi G30S/PKI.

Sebulan berselang kata dia, pemerintah dituding pro dengan kapitalisme.

Baca juga : Zulhas Tak Masalah PKS Gabung Koalisi Prabowo, Jangan Baper

Tudingan ini muncul siring pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10). Di mana UU Ciptaker dianggap sebagai gelaran karpet merah untuk para investor asing.

“Bulan September dalam ribut-ribut Film G.30.S/PKI Pemerintah dituding pro komunisme. Bulan Oktober karena ribut-ribur UU Ciptaker dituduh pro kapitalisme,” kicaunya di twitter Minggu 11 Oktober 2020.

Baca juga : Muhadjir : Anak Orang Kaya Penerima KIP-K Bisa Ditindak

Dia pun bertanya-tanya, teori apa yang bisa menjelaskan keadaan ini. Apalagi Indonesia menganut ideologi Pancasila.

“Teori apa yang bisa menjelaskan ideologi Pancasila kita? Mungkin kita perlu mempertimbangkan teorinya Fred Riggs tentang ‘Prismatic Society’,” tuturnya.

Prismatic society merupakan teori tentang masyarakat transisi. Setidaknya ada tidak ciri utama dari teori ini. Pertama adalah heteroginitas, yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern.

Pada masyarakat yang sedang berada dalam proses industrialisasi dan modernisasi, di mana yang lama dan yang baru berada dalam suatu campuran yang heterogen, kadang-kadang mempunyai kesan bahwa administrasi dapat dilihat sebagai hal yang terpisah.

Kedua ciri overlapping, yaitu gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.

Ketiga ciri formalisme, yaitu menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktik atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita.

Semakin formalistis situasi administrasi maka semakin kurang pengaruhnya terhadap perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang digariskan.

Sebaliknya, bila satu sistem sangat realistis, maka realisme tersebut dapat dicapai hanya melalui usaha yang terus-menerus untuk mempertahankan persesuaian.