Indonesia Tumbang, Ini Negara yang Diuntungkan oleh Perang Dagang

Jum'at, 06/09/2019 17:43 WIB
Perang Dagang Amerika Serikat-China (NDTV Gadgets)

Perang Dagang Amerika Serikat-China (NDTV Gadgets)

Jakarta, law-justice.co - September ini, Amerika Serikat (AS) resmi memberlakukan kebijakan tahap pertama kenaikan tarif 15% pada US$ 300 miliar terhadap barang asal China.

Sementara itu, China juga mulai memberlakukan tarif tambahan pada beberapa barang AS senilai US$75 miliar. Tarif tambahan senilai 5% dan 10% dikenakan pada 1.717 barang dari total 5.078 produk yang berasal dari AS.

AS juga berencana untuk menaikkan tarif masuk menjadi 30% dari 25% yang sudah diberlakukan pada impor China senilai US$ 250 miliar mulai 1 Oktober.

Melansir dari CNBC Indonesia, Jumat (6/9/2019), akibat serangkaian peningkatan dalam perang dagang dua ekonomi terbesar dunia ini, pasar saham telah mengalami pergerakan yang brutal sepanjang tahun ini.

Oleh karenanya, banyak investor yang mulai ragu pada prospek pengembalian dari investasi di sektor ini. Sebagai hasilnya, aset aman (safe haven) lainnya seperti emas menjadi banyak diincar.

Selain itu, perang dagang yang sudah berlangsung sejak awal 2018 ini telah membuat berbagai perusahaan yang beroperasi di kedua negara kalang kabut.

Ancaman tarif telah membuat mereka terpaksa melakukan berbagai upaya untuk melindungi keuntungan, di antaranya seperti melakukan efisiensi bisnis dan menaikkan harga produk. Bahkan, cukup banyak juga perusahaan yang memutuskan untuk memindahkan operasinya keluar AS dan China.

Di benua Amerika, negara yang umumnya dijadikan tempat pelarian dari tarif China adalah Brazil. Sementara di Asia, ada beberapa negara yang menjadi tujuan utama kepindahan perusahaan asal China, yaitu Vietnam, Malaysia dan India.

Seberapa banyak negara-negara asia ini diuntungkan perang dagang? Berikut rinciannya.

1. India

Negara Bollywood dikabarkan mengharapkan untuk menjadi tujuan investasi berbagai perusahaan besar termasuk Apple, Foxconn dan Wistron Corp. Demikian dilaporkan Reuters, mengutip dokumen pemerintah yang dilihatnya.

Pada 14 Agustus lalu, beberapa pejabat India dikabarkan melakukan pertemuan membahas daftar `perusahaan target` yang di dalamnya termasuk perusahaan kontrak yang bermarkas di Taiwan, Pegatron Corp.

Ada sembilan sektor yang menjadi target, termasuk sektor elektronik, farmasi, otomotif dan telekomunikasi.

Dokumen itu mengatakan pemerintah akan bertemu perusahaan antara 26 Agustus hingga 5 September untuk menyarankan zona investasi terbaik untuk operasi mereka. Pemerintah negara bagian juga akan berpartisipasi.

Para pejabat India minggu ini secara terpisah bertemu dengan delegasi lokal berbagai perusahaan pembuat mobil termasuk Volkswagen, Hyundai Motor Co dan Honda Motor Co untuk melihat apakah mereka akan mempertimbangkan untuk memindahkan beberapa operasi rantai pasokan dari China ke India, menurut sumber dan pejabat industri yang menghadiri pertemuan tersebut.

"Pemerintah melihatnya sebagai peluang besar," kata pejabat industri.

Perselisihan perdagangan yang berkepanjangan juga mempengaruhi perusahaan pembuat iPhone, Apple. Perusahaan AS ini menghadapi ancaman bea masuk 15% yang dikenakan oleh pemerintah AS pada 1 September untuk produk-produk utamanya yang dibuat di China seperti jam tangan pintar.

Sebelumnya, produk iPhone-nya sudah mulai terkena bea masuk yang berlaku pada 15 Desember 2018 lalu.

India adalah pasar smartphone terbesar kedua di dunia dengan ruang besar untuk pertumbuhan. Oleh karenanya tidak mengherankan jika Apple dikabarkan melirik India untuk dijadikan tujuan baru bagi tempat memproduksi produknya agar terhindar dari tarif impor.

2. Vietnam

Perang dagang juga telah membuat Vietnam dilirik berbagai perusahaan yang ingin membangun kembali rantai pasokan di luar China. Sebab, Vietnam memiliki kelonggaran yang lebih cepat dan kebijakan stabil, kata para pakar industri.

Salah satu perusahaan yang memindahkan produksinya adalah Google, anak usaha Alphabet Inc. Perusahaan yang berbasis di AS itu mengalihkan produksi ponsel Pixel ke Vietnam dari China mulai tahun ini, Nikkei melaporkan, Rabu (4/9/19).

Selain diuntungkan karena beberapa perusahaan memindahkan bisnis ke negara ini, Vietnam juga diuntungkan karena penjualan obligasi negara ini telah melonjak. Ini terjadi akibat banyak perusahaan berupaya meningkatkan modal karena ketegangan perdagangan memicu volatilitas pasar saham.

Perusahaan lokal mengumpulkan sekitar 117 triliun dong (US$ 5 miliar) dari penjualan obligasi dalam delapan bulan pertama tahun ini, dengan skala menyumbang sekitar 11% dari ekonomi Vietnam versus 8,6% untuk sepanjang tahun 2018, SSI Securities Corp menulis dalam sebuah catatan kepada investor.

Penjualan saham hanya US$ 45,1 juta pada periode tersebut, sama dengan hanya 6,4% dari nilainya setahun sebelumnya, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.

"Nafsu makan untuk aset berisiko telah jatuh karena ketidakpastian di pasar saham sebagai akibat dari perang dagang, sehingga beberapa perusahaan memutuskan untuk pergi ke pasar obligasi untuk mengumpulkan dana," kata Hoang Viet Phuong, kepala lembaga penasehat penelitian & investasi SSI yang berbasis di Hanoi. "Pasar obligasi korporasi akhir-akhir ini cukup aktif,".

Namun akibat hal ini, AS telah meningkatkan tekanan pada Vietnam untuk mengurangi pertumbuhan surplus perdagangannya. Ancaman AS termasuk meningkatkan menerapkan bea impor baja karena menuduh negara itu mendapatkan baja dari tempat lain.

Ketergantungan pada ekspor membuat Vietnam rentan terhadap lonjakan proteksionisme. Pengiriman ke Amerika dari negara ini mencakup sekitar 20% dari produk domestik bruto (PDB) tahun lalu dan hampir 26% pada paruh pertama 2019.

Mengutip laporan Los Angeles Times, dalam lima bulan pertama 2019, ekspor Vietnam ke AS telah melonjak 36% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pada Mei, Vietnam mengirim senilai US$ 25 miliar barang ke AS. Ini menjadikan Vietnam sebagai sumber impor Amerika kedelapan terbesar, naik dari urutan ke-12 setahun lalu.

Akibat hal ini, beberapa manajer pabrik Vietnam kelebihan kapasitas pemesanan dan kekurangan tenaga kerja. Selain itu, pelabuhan juga disibukkan lalu lintas kapal kontainer yang hampir dua kali lipat jumlahnya pada tahun lalu, menurut data dari MarineTraffic.

Samsung sendiri mempekerjakan lebih dari 150.000 pekerja di Vietnam yang memproduksi smartphone. Ini menyumbang hampir seperempat dari ekspor Vietnam tahun lalu. Pabrikan smartphone terbesar di dunia mulai mengalihkan produksi ke Vietnam dari China pada 2011 untuk menghemat biaya tenaga kerja.

Raksasa Korea Selatan itu bisa menjadi model bagi saingan terbesarnya Apple, yang ingin memindahkan sebagian produksinya dari China.

3. Malaysia

Malaysia menerima investasi AS senilai US$ 5,62 miliar (RM23,6 miliar) pada semester pertama tahun ini. Naik tajam dibandingkan dengan US$ 113 juta pada tahun sebelumnya. Ini kemungkinan diakibatkan kepindahan dari perusahaan AS karena perang dagang, kata pemerintah, Kamis, mengutip Free Malaysia Today.

Otoritas Pengembangan Investasi Malaysia (Mida), yang berbagi data tentang investasi swasta asing dengan Reuters, menolak menyebutkan nama perusahaan mana yang terlibat. Tetapi, lembaga itu mengatakan perusahaan global semakin tertarik ke Malaysia karena iklim bisnis dan politiknya yang stabil.

Dalam enam bulan pertama tahun ini, Malaysia menyetujui proposal investasi AS senilai RM 1,69 miliar di sektor manufaktur, naik dibandingkan dengan RM 307 juta setahun sebelumnya. Akibatnya, Malaysia berhasil mengalahkan China di urutan teratas dalam daftar investasi.

Malaysia sudah menjadi tuan rumah bagi berbagai pabrik perusahaan AS seperti Intel Corp, Dell Technologies Inc dan On Semiconductor Corp.

Proposal investasi AS di sektor jasa melonjak menjadi RM 11,52 miliar dari hanya RM 42,3 juta pada periode tahun lalu, menurut data.

Sementara itu, total proposal yang disetujui dari perusahaan China turun menjadi RM5.1 miliar tahun ini dari RM5.69 miliar tahun sebelumnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar