Nawaitu Redaksi

Sinyal Istana; Benarkah Jokowi Akan Jadi Ex Presiden yang Dipenjara?

Minggu, 29/06/2025 00:01 WIB
Ilustrasi ijazah palsu (Foto: Tribun)

Ilustrasi ijazah palsu (Foto: Tribun)

[INTRO]

Pernyataan mengejutkan datang dari Direktur Negarawan Center, Dr. Johan Silalahi. Pernyataan yang beredar di media sosial itu  telah memantik perdebatan publik. Dalam unggahan yang disebarluaskan oleh daily.news96, Johan menyebut bahwa mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menjadi presiden pertama dalam sejarah Indonesia yang menghadapi proses hukum setelah lengser. Pernyataan tersebut ia klaim bersumber dari salah satu anggota lingkaran dalam kekuasaan saat ini, yang masih menjabat sebagai pembantu presiden.

Wacana ini tentu mengundang pertanyaan besar dan sensitif: apakah benar ada dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan selama masa pemerintahan Presiden Jokowi? Dan jika benar, mengapa belum pernah ada presiden atau mantan presiden yang diproses secara hukum di Indonesia?

Selama ini, publik kerap menilai bahwa terdapat semacam konsensus tak tertulis dalam praktik politik nasional yang membuat presiden, wakil presiden, bahkan mantan presiden seperti berada di atas hukum. Padahal secara konstitusional, prinsip negara hukum Indonesia menegaskan bahwa tidak ada satu pun warga negara termasuk mantan kepala negara yang kebal dari proses hukum. Lalu, apakah konsensus diam-diam ini dapat dihentikan segera ?

Indikasi Pelanggaran Hukum Jokowi

Pernyataan Direktur Negarawan Center, Dr. Johan Silalahi, bahwa Joko Widodo (Jokowi) berpotensi menjadi mantan presiden pertama yang masuk penjara setelah lengser, bukan hanya mencuatkan sensasi politik. Di balik narasi tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang layak disorot secara serius: apakah selama menjabat, Jokowi memang melakukan tindakan-tindakan yang bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum, dan bahkan masuk ke dalam ranah pidana sehingga bisa menjadi penyebab yang bersangkutan dimasukkan ke penjara ?

Agaknya isu-isu yang selama ini beredar terkait dengan dugaan pelanggaran hukum Jokowi bukanlah isapan jempol semata. Ada cukup banyak peristiwa dan kebijakan kontroversial yang oleh sebagian kalangan dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, bahkan dugaan pelanggaran hukum yang serius, diantaranya:

Pertama, Cawe-Cawe Politik Pemilu: Abuse of Power yang Bisa Dipidana?.  Jokowi secara terbuka menyatakan akan “cawe-cawe” dalam proses politik menjelang Pemilu 2024, dengan dalih demi kepentingan bangsa. Namun, yang terjadi justru adalah terjadinya pengerdilan demokrasi melalui dominasi kekuasaan. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka putra sulung Jokowi untuk maju sebagai cawapres, menjadi titik balik dari kemerosotan etika kekuasaan di era Jokowi.

Yang membuat persoalan ini lebih kompleks adalah posisi Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan ipar Jokowi sendiri. Mahkamah Kehormatan MK menyatakan Anwar terbukti melanggar etika berat. Fakta ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi telah menimbulkan dugaan bahwa terjadi intervensi kekuasaan ke lembaga yudikatif. Bila benar ada rekayasa kekuasaan yang melibatkan pengaruh Jokowi untuk mengamankan kepentingan keluarganya, maka hal ini berpotensi masuk ke dalam ranah pidana penyalahgunaan jabatan.

Terkait dengan Jokowi, Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa setiap pejabat negara yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri atau orang lain bisa dijerat hukum. Jika kelak terungkap bahwa Jokowi memfasilitasi putusan hukum atau memengaruhi proses politik untuk kepentingan anaknya, hal itu bisa dikategorikan sebagai abuse of power dengan konsekuensi pidana.

Kedua, Nepotisme Terstruktur: Dinasti Politik yang Diorkestrasi Kekuasaan. Kasus Gibran bukan satu-satunya. Kaesang Pangarep putra bungsu Jokowi dalam waktu singkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hanya beberapa hari setelah bergabung sebagai kader. Pencapaian luar biasa tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang fair play dalam dunia politik. Sementara itu, menantu Jokowi juga menjabat sebagai Wakil Bupati, memperkuat dugaan bahwa politik kekeluargaan dijadikan kendaraan sistematis.

Meski nepotisme belum dikriminalisasi secara eksplisit dalam KUHP, namun jika terbukti kekuasaan digunakan untuk mengarahkan institusi, partai politik, atau proyek negara demi menempatkan keluarga sendiri dalam jabatan strategis, hal ini dapat dikaitkan dengan pasal penyalahgunaan jabatan dan konflik kepentingan dalam pengelolaan kekuasaan publik.

Terkait dengan Jokowi, jika Jokowi terbukti menggunakan instrumen negara untuk mengatur distribusi kekuasaan kepada keluarganya, dan itu berdampak pada pengambilan keputusan publik (APBN, kebijakan, dsb.), maka tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran etika, tetapi dapat dimasukkan ke dalam kategori tindak pidana korupsi berbasis state capture.

Ketiga, Proyek-Proyek Nasional dan Dugaan Konflik Kepentingan. Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, pembangunan infrastruktur menjadi agenda utama. Namun di balik geliat ekonomi, muncul sorotan tajam terhadap beberapa proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung, proyek Ibu Kota Negara (IKN), hingga pengadaan proyek-proyek BUMN lainnya. Banyak dari proyek tersebut digarap oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki afiliasi politik atau kedekatan dengan lingkaran dalam kekuasaan.

Di sini muncul dugaan bahwa Jokowi secara tidak langsung menggunakan otoritasnya untuk menunjuk kontraktor tertentu atau mendorong kebijakan fiskal yang menguntungkan kelompok tertentu. Jika dalam audit atau investigasi ditemukan adanya aliran dana, penggelembungan anggaran, atau pengaturan tender yang tidak wajar dan melibatkan restu atau perintah langsung dari presiden, maka hal itu masuk dalam kategori pidana korupsi atau gratifikasi.

Terkait dengan Jokowi, dugaan konflik kepentingan dalam proyek-proyek strategis nasional bisa dikenakan Pasal 12B UU Tipikor tentang gratifikasi dan Pasal 2 serta 3 tentang kerugian negara. Jika ada indikasi keterlibatan presiden dalam penunjukan atau pengaturan pemenang proyek secara tidak sah, maka ia bisa diproses hukum setelah lengser berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Ke Empat, Isu Ijazah Palsu: Gosip Politik atau Potensi Pemalsuan Dokumen Negara?. Isu mengenai keabsahan ijazah Jokowi, terutama ijazah sarjananya dari UGM, pernah menggema dan diajukan ke pengadilan. Meski gugatan ditolak, beberapa pihak masih meyakini bahwa ada kejanggalan dalam dokumen akademik Jokowi.

Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi sepertinya menjadi isu yang paling mungkin untuk mengantarkan Jokowi ke penjara. Karena meskipun UGM dan Bareskrim telah meyataan ijazah Jokowi asli tetapi data data secara ilmiah yang disodorkan oleh para peneliti seperti Dr. Rismon Sianipar, Dr. Roy Suryo, Dr. Tifa dan kawan kawannya menunjukkan indikasi kuat bahwa ijazah Jokowi palsu. Apalagi muncul informasi yang disampaikan oleh tokoh  PDIP Beathor Suryadi yang mengatakan bahwa ijazah Jokowi di cetak di pasar Pramuka saat yang bersangkutan mau mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Kini kepastian apakah ijazah Jokowi asli atau palsu masih menunggu proses hukum selanjutnya. Jikan nantinya ijazahnya terbukti palsu maka  Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dapat digunakan sebagai dasar hukum jika bukti menunjukkan adanya pemalsuan dokumen resmi, termasuk ijazah.

Berbagai isu yang mengemuka terkait Jokowi memang menunjukkan adanya indikasi kuat pelanggaran hukum, baik dari sisi penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, hingga potensi gratifikasi terselubung. Beberapa di antaranya bahkan bukan lagi opini publik semata, melainkan telah menyentuh substansi hukum dan etika pemerintahan.

Namun, karena posisi mantan Presiden Jokowi yang diduga masih besar pengaruhnya, sehingga proses hukum terhadap dirinya masih terhuyung huyung. Masih banyak “kader kadernya” di ranah politik dan birokrasi sehingga membuatnya untuk sementara seperti kebal terhadap hukum. Perlindungan kekuasaan menjadi semacam "tameng" de facto, meski bukan de jure.

Namun setelah lengser, pengaruh Jokowi nampaknya lama lama akan memudar juga, tidak lagi memiliki kekebalan politis maupun administratif. Maka, ranah pidana yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang opini publik, bisa saja berubah menjadi proses hukum nyata, jika ada keberanian politik dan integritas institusi penegak hukum untuk bertindak.

Apakah bangsa ini siap menyaksikan babak baru penegakan hukum yang benar-benar egaliter? Atau kita akan kembali menyaksikan pemakluman dan impunitas terhadap penguasa yang telah lengser? Waktu dan sejarah yang akan menjawabnya.

Mengapa Penegakan Hukum Lemah Kepada Sang Mantan ?

Selain karena masih punya pengaruh dan adanya “orang orangnya” yang saat ini bercokol dipemerintahan, Jokowi sebagai mantan Presiden masih sulit untuk diseret ke ranah hukum karena beberapa sebab, diantaranya:

Pertama, Budaya Politik Feodal: Kekuasaan Didewakan, Kritik Dianggap Pengkhianatan.  Di banyak negara maju, kekuasaan adalah kontrak. Tapi di Indonesia, kekuasaan kerap dianggap sebagai legitimasi moral dan simbol kemuliaan. Budaya politik yang bersifat paternalistik dan feodal membuat kritik terhadap penguasa sering dicap sebagai bentuk permusuhan terhadap negara. Ini menciptakan resistensi luar biasa terhadap upaya menuntut pertanggungjawaban pejabat tinggi, termasuk presiden.

Dalam kerangka budaya ini, mantan presiden dianggap sebagai "bapak bangsa" yang harus dihormati, bukan diperiksa apalagi diadili. Kekuasaan yang seharusnya dikontrol malah dikeramatkan, membuat mereka yang berada di puncak nyaris tak tersentuh, bahkan setelah mereka tak lagi menjabat.

Kedua, Lembaga Penegak Hukum yang Lemah dan Takut pada Kekuasaan. Di atas kertas, lembaga seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian punya kewenangan besar untuk menindak siapa saja yang melanggar hukum. Namun dalam praktiknya, institusi-institusi ini tak lepas dari intervensi politik dan tekanan struktural dari penguasa.

Sering kali, aparat penegak hukum bersikap selektif dalam menegakkan hukum, terutama terhadap elite politik. Ini bukan karena hukum tidak bisa menjangkau, tetapi karena institusi hukum kerap dikendalikan, disusupi, atau bahkan dimanfaatkan oleh kekuasaan. Pegiat antikorupsi menyebut ini sebagai gejala “hukum sebagai alat kekuasaan, bukan alat keadilan.

Penegakan hukum menjadi tidak netral, terutama saat yang diperiksa adalah figur besar dengan pengaruh politik dan ekonomi yang luas. Tak jarang, aparat penegak hukum lebih memilih aman daripada bertindak benar.

Ketiga, Kekuatan Oligarki dan Koalisi Perlindungan Kekuasaan. Kebal hukum juga muncul karena adanya sistem oligarki yang menopang dan melindungi para elite. Dalam sistem ini, politik tidak dijalankan oleh rakyat, tapi oleh segelintir elite yang saling melindungi. Siapa pun yang duduk di puncak kekuasaan akan disokong oleh kelompok-kelompok kuat yang memiliki kepentingan ekonomi, bisnis, dan jaringan politik.

Oligarki ini membentuk "koalisi kekebalan", di mana penuntutan terhadap satu tokoh bisa memicu efek domino ke banyak tokoh lain. Karena itu, para penguasa, termasuk mantan presiden, nyaris tak pernah disentuh secara hukum, kecuali bila sudah benar-benar kehilangan perlindungan politik.

Pada akhirnya orang akan mempertanyakan apakah mitos yang mengesankan seolah olah seorang Presiden atau mantan Presiden itu tidak bisa diadili di Indonesia itu tidak bisa diakhiri ? Jawabannya: bisa, tapi tidak mudah.

Untuk mengakhiri konsensus semu bahwa presiden dan mantan presiden kebal hukum, dibutuhkan kombinasi dari tiga kekuatan besar yaitu Kemauan politik, terutama dari pemerintahan baru, untuk tidak melindungi pelanggaran masa lalu.Selanjutnya Independensi lembaga hukum, agar mereka tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan pelayan keadilan. Terakhir Tekanan publik yang konsisten, agar opini publik mendorong terciptanya budaya akuntabilitas.

Jika ada bukti kuat bahwa seorang mantan presiden melanggar hukum, proses hukum harus dijalankan dengan tegas, transparan, dan tanpa intervensi politik. Ini bukan soal balas dendam politik, tapi soal menegakkan prinsip keadilan yang sama untuk semua warga negara, tanpa terkecuali.

Kita merindukan penegakan hukum yang adil untuk semua warga negara benar benar bisa  dijalankan seperti halnya negara lain. Korea Selatan adalah contoh paling gamblang. Tiga mantan presidennya Park Geun-hye, Lee Myung-bak, dan Roh Tae-woo dipenjara karena kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran HAM. Bahkan Park Geun-hye dijatuhi hukuman lebih dari 20 tahun penjara sebelum akhirnya mendapatkan pengampunan.

Prancis juga tidak menutup mata terhadap pelanggaran elite. Mantan Presiden Nicolas Sarkozy dijatuhi hukuman penjara atas kasus korupsi dan pengaruh terhadap proses hukum. Ini membuktikan bahwa kekuasaan bukanlah tameng permanen, dan hukum bisa menjangkau siapa saja, bahkan orang nomor satu di suatu negara.

Perbedaan utamanya adalah keberanian institusi hukum dan kemandirian politik. Di negara-negara itu, independensi peradilan dijaga dan tidak ada kompromi terhadap prinsip keadilan.Kita berharap Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Prabowo  bisa menirunya seiring dengan semakin pudarnya pengaruh penguasa sebelumnya. Semoga

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar