Apakah Istri Ikut Bertanggung Jawab soal Utang Judi Online Suami?
Judi online (Net)
Jakarta, law-justice.co - Sebagaimana diketahui, judi online kerap memicu masyarakat berutang. Lalu bagaimana bila suami yang main judi online, apakah istri ikut bertanggung jawab?
Seperti melansir detik.com, advokat Hadiansyah Saputra, SH mencoba menjelaskan masalah yang disampaikan oleh salah seorang pembacanya berikut.
Berdasarkan keluhan sang pembaca, ada dua pertanyaan besar terkait masalah itu.
1. Apakah Saudari akan dipenjara jika tidak bayar angsuran dan motor (yang menjadi jaminan) sudah tidak ada?
Bahwa adalah suatu prinsip yang harus kita pegang yakni setiap utang harus dibayar lunas dan diselesaikan sesuai dengan nilai dan menurut cara serta ketentuan yang telah disepakati.
Sebagai edukasi, kami menyarankan agar saudari selaku debitur/pihak yang mempunyai utang tetap menunjukkan sikap bertanggung jawab dan iktikad baik untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang yang terjadi serta bersikap kooperatif dan membangun komunikasi dengan kreditur/pihak yang memberikan pinjaman (Bank) tersebut agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah baru yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Kembali ke pokok pertanyaan Saudari mengenai apakah Saudari akan dipenjara jika tidak bayar angsuran, sedang motor (yang menjadi jaminan) sudah tidak ada?.
Bahwa pada prinsipnya hubungan hukum antara Saudari selaku debitur/pihak yang mempunyai utang dengan bank selaku pihak yang memberikan pinjaman/kreditur adalah hubungan hukum keperdataan berupa utang piutang dan bukan merupakan sebuah peristiwa pidana.
Artinya selama proses terjadinya utang piutang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka terjadilah perikatan keperdataan, namun jika di dalam proses terjadinya utang piutang itu terdapat unsur, sebagai contoh antara lain: tanda tangan yang dipalsukan, keterangan yang tidak benar/dipalsukan, surat yang dipalsukan atau bahkan terdapat unsur penipuan maka tidak menutup kemungkinan terdapat unsur pidana dalam utang piutang tersebut.
Untuk mempermudah pembahasan, kami mengasumsikan bahwa hubungan hukum yang terjadi adalah murni hubungan hukum keperdataan berupa utang piutang sebagai perjanjian pokok sedangkan penjaminan Motor/BPKB sebagai perjanjian tambahan atau perjanjian accesoir.
Pada dasarnya penjaminan motor/BPKB sebagai perjanjian tambahan dimaksudkan untuk memudahkan bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu atas piutang yang dimilikinya dengan mengeksekusi jaminan tersebut jika terjadi peristiwa wanprestasi. Namun dengan `hilangnya` motor yang dijadikan jaminan, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata") yang berbunyi:
"segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu"
Artinya perjanjian utang piutang yang merupakan perjanjian pokok akan tetap ada dan Saudari tetap berkewajiban untuk melunasi seluruh utang Saudari terhadap kreditur dan barang-barang bergerak dan tidak bergerak milik saudari menjadi jaminan atas utang tersebut.
Jika saudari tidak membayar cicilan yang merupakan kewajiban saudari, maka saudari dapat dikategorikan melakukan wanprestasi dan bank dapat mengajukan gugatan wanprestasi kepada saudari di Pengadilan Negeri setempat guna menuntut pelunasan atas pembayaran utang saudari, demikian pula bank dapat menuntut agar barang-barang bergerak dan tak bergerak milik saudari selaku debitur disita dan pada akhirnya dieksekusi untuk diambil sebagai pelunasan utang tersebut.
2. Apa yang harus saya lakukan agar saya bisa mendapat keringanan?
Kami ilustrasikan, jika saudari punya utang tetapi saat ini saudari mengalami kesulitan untuk melakukan pembayaran secara penuh (full payment) maupun mencicil (installment) karena `cash flow` Saudari sedang bermasalah, namun saudari yakin jika diberikan kelonggaran baik waktu, nilai dan ketentuan lainnya, mungkin Saudari masih bisa memenuhinya, maka menurut pendapat kami salah satu upaya yang dapat Saudari tempuh atas permasalahan tersebut adalah dengan mengajukan permohonan keringanan berupa `restrukturisasi` atas utang yang saudari miliki.
Restrukturisasi janganlah diartikan sebagai `pembebasan` atau `penghapusan`/`tidak membayar` namun harus diartikan sebagai kebijaksanaan kreditur berupa pemberian keringanan khusus dan terbatas untuk jangka waktu tertentu karena kondisi debitur yang tidak memungkinkan untuk memenuhi pembayaran sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya.
Namun harus digaribawahi mengingat restruturisasi adalah kebijaksanaan kreditur, maka disetujui atau tidaknya permohonan restrukturisasi yang Saudari ajukan sangat bergantung kepada peraturan dan ketentuan yang berlaku mengikat bagi kreditur maupun penilaian/assessment kreditur atas kondisi Saudari selaku debitur. Oleh karena itu sangat penting bagi Saudari untuk melakukan negosiasi dengan bersikap jujur dan terbuka serta memberikan "supporting document" yang dibutuhkan oleh kreditur untuk dapat menilai apakah restrukturisasi dapat atau tidak dapat diberikan.
Lalu apa yang dapat Saudari negosiasikan di dalam proses restrukturisasi tersebut?
Pada prinsipnya segala hal mengenai utang dapat saudari negosiasikan dalam proses restrukturisasi tersebut sepanjang hal itu bisa diterima dan disetujui oleh kreditur.
Komentar