Ketika di Era ini Perfilman RI Masih Pakai Fenomena Male Gaze

Senin, 09/01/2023 09:00 WIB
Fenomena Male Gaze di Perfileman (Net)

Fenomena Male Gaze di Perfileman (Net)

Jakarta, law-justice.co - Male gaze adalah sebuah kondisi ketika perempuan direpresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat seorang laki-laki. Nantinya, representasi ini dipertontonkan dalam media bergerak, khususnya film dibingkai sebagai objek pandangan dari kacamata laki-laki. Artinya, dalam hal ini, perempuan dipandang sesuai stereotip gender yang mengutamakan harapan para laki-laki sehingga ini akan mengarah pada langgengnya patriarki dalam kehidupan masyarakat.


Menurut Journal of Linguistics, media perfilman memang dikenal memberikan sajian berbagai macam adegan yang dikemas dengan mudah. Hal ini bertujuan untuk membantu para penonton mempertahankan hegemoni dalam tatanan sosial tertentu. Salah satu contohnya adalah fenomena male gaze yang semakin marak dengan menggambarkan perempuan agar sesuai keinginan dan tujuan kelompok kepentingan tertentu berupa dominasi laki-laki. Akibatnya, male gaze sulit untuk diatasi dengan cepat, bahkan dapat dikatakan sudah mendarah daging dalam dunia perfilman.

Seorang ahli film ternama dan pencetus male gaze, Laura Mulvey telah mendeklarasikan bahwa male gaze berkembang lantaran kentalnya ketidaksetaraan gender. Fenomena ini melahirkan kekuatan dominasi pengendali dalam industri film yang dibentuk dengan tujuan utamanya berupa kesenangan hasat penonton laki-laki. Terlihat bahwa penonton laki-laki menjadi target utama dalam pasar dunia perfilman yang telah mengakar dari ideologi dan wacana patriarki. Akibatnya, penonton menjadi lebih berkuasa daripada objek tatapannya sehingga melahirkan stereotip buruk terhadap perempuan dalam media film.

Saat semakin berkembang dengan pesat, fenomena male gaze melahirkan gambaran yang menginstruksikan seorang perempuan untuk menjadi seorang ibu yang sempurna, kekasih, istri, ibu rumah tangga, dan sejenisnya. Gambaran nyata seperti itulah yang semakin melengkapi lingkaran setan hegemoni seksis. Mulvey juga menjelaskan bahwa dalam dunia perfilman perempuan tidak ditempatkan dalam peran utama atau menjadi pengendali sebuah adegan. Biasanya, perempuan hanya menjadi objek untuk diamati subjek dari setiap adegan, sebagaimana dilansir esai berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema.

Secara lebih lanjut, Mulvey melihat implikasi male gaze dalam dunia film dapat dilihat dalam tiga cara. Pertama, bagaimana perempuan dapat memandang dirinya sendiri. Kedua, bagaimana perempuan dapat memandang perempuan lain secara setara. Ketiga, bagaimana laki-laki dapat memandang seorang perempuan sama statusnya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.

Contoh penerapan male gaze yang sering terjadi dalam film adalah arahan kamera close-up perempuan dari atas bahu pria, bidikan lekuk perempuan, dan hanya terpaku pada tubuh perempuan. Selain itu, terdapat pula suatu adegan yang sering terjadi dengan menunjukkan seorang laki-laki secara aktif mengamati tubuh perempuan, mulai dari bagian atas sampai bagian bawah.

Adegan-adegan seperti itu tampaknya sudah banyak diadopsi oleh film di berbagai genre. Ironisnya, male gaze yang ditemukan sejak 1975, masih ditemukan dalam film-film modern atau kontemporer ini. Sekarang, sebagian besar film dikemas dengan memprioritaskan kebutuhan laki-laki untuk dipenuhi terlebih dahulu.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar