Urgensi Legislasi Atasi Pandemi

Selasa, 09/03/2021 22:30 WIB
Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin (ketiga dari kiri) usai memimpin penetapan pimpinan Baleg DPR RI, (dari kiri ke kanan) Achmad Baidlowi, Ibnu Multazam, Supratman Andi Agtas (keempat dari kiri), Rieke Diah Pitaloka, dan Willy Aditya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019). (Foto: Antara).

Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin (ketiga dari kiri) usai memimpin penetapan pimpinan Baleg DPR RI, (dari kiri ke kanan) Achmad Baidlowi, Ibnu Multazam, Supratman Andi Agtas (keempat dari kiri), Rieke Diah Pitaloka, dan Willy Aditya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019). (Foto: Antara).

law-justice.co - Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi objek yang paling diminati sejumlah kalangan, khususnya para peneliti hukum, untuk dikritisi sehubungan dengan urgensinya mengatasi pandemi. Selain fungsi anggaran dan pengawasan, diferensia politik yang dimiliki anggota dewan adalah fungsi legislasi. Para peneliti hukum menilai dalam kondisi sulit akibat kecamuk wabah, yang mesti diprioritaskan adalah fungsi anggaran dan pengawasan, bukan legislasi.

Ambil contoh peneliti hukum dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Charles Simabura. Menurutnya, fungsi legislasi tak begitu mendesak di saat pandemi secara nyata meluluhlantakkan ekonomi. Oleh sebab itu, fungsi anggaran dan pengawasanlah yang urgen diperkuat. Kedua fungsi ini diperlukan untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, yang kini telah menjadi UU.
 
"Dalam kondisi saat ini, yang perlu dijalankan adalah fungsi pengawasan dan anggaran. Awasi anggaran yang mencapai Rp 400 triliun beserta realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 ini," katanya dalam diskusi daring bertajuk "DPR Mencuri Kesempatan: Membebaskan Koruptor, Meloloskan Omnibus Law, RUU KUHP, dan Pemasyarakatan, Ahad, 5 April 2020 lalu.
 
Saran mereka lantas didukung sejumlah kalangan, termasuk editorial media yang gencar mengamplifikasi aspirasi masyarakat. Desakan kian menguat kala DPR merealisasikan pembahasan beberapa Rancangan Undang-undang (RUU) yang dinilai kontroversial, termasuk di dalamnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 42 hari sebelum Covid-19 melanda Indonesia. Dengan sebab itu, keinginan publik agar DPR mununda pembahasan UU selama pandemi semakin tinggi. Fungsi legislasi pun terancam tereliminasi.
 
Fenomena politik dalam kurun satu tahun belakangan menampilkan `Aktor Senayan` tengah dirundung tantangan besar atas perannya menjalankan legislasi. Situasi pagebluk membuat DPR kikuk karena selain harus mengakomodasi kepentingan politik mitranya di eksekutif, mereka juga dituntut mendengarkan aspirasi rakyat yang terwakili.
 
Sah-sah saja jika kemudian publik meminta agar anggota dewan mengerem sementara tugasnya sebagai legislator. Namun, upaya menyelematkan denyut ekonomi dan nyawa manusia dalam belenggu pandemi semestinya terlaksana dengan tetap mempertahankan jalannya legislasi. Sebab, dalam legislasi terangkul hajat hidup orang banyak, salah satunya adalah upaya mengatasi pandemi.
 
Untuk mempertegas argumen tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan apa yang dikatakan Presiden Parlemen Eropa, David Sassoli berikut dalam sebuah pembukaan sidang pertama Parlemen Eropa pada Maret 2020 lalu.
 
"Demokrasi seharusnya tidak dihentikan oleh virus. Sebagai legislator, kami memerlukan proses demokrasi untuk membantu mengatasi kedaruratan ini," ujarnya seperti dikutip situs resmi Parlemen Eropa, Europarl.
 
Ungkapan yang optimis dari Sassoli di atas menunjukkan tidak ada alasan bagi legislator untuk menurunkan kualitas kerjanya di tengah pandemi, meskipun itu hanya mengenyampingkan fungsinya di bidang legislasi. Menurunnya kualitas peran legislasi tentu berdampak pula pada kualitas demokrasi. Tidak menjadi jaminan jika langkah pengerdilan legislasi bakal turut mengangkat prestasi pemerintah dalam mengatasi pandemi. Stagnasi legislasi, di samping telah mendegradasi demokrasi, justru membuktikan adanya kontradiksi dalam upaya membasmi pandemi.
 
Cacat Logika Pengerdilan Legislasi
 
Kontradiksi dalam wacana pengerdilan legislasi di musim pandemi bisa dibuktikan dengan mengamati tiga unsur yang timbul di dalamnya, yakni "ekonomi dan kesehatan yang terdampak", "bantuan pemerintah", dan "peraturan yang mengamanatkan pemerintah melakukan bantuan untuk masyarakat terdampak pandemi".
 
Wujud dari unsur yang ketiga adalah UU. Hal ini mengacu pada jenis UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR sepanjang 2020, tahun di mana virus Covid-19 merajalela. Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen, Senin 23 November 2020, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan ada 13 RUU yang rampung disahkan menjadi undang-undang.
 
"Telah disahkan menjadi UU sebanyak 13 rancangan UU. 10 Di antaranya adalah RUU kumulatif terbuka," kata Supratman.
 
Ketiga belas RUU yang rampung disahkan menjadi UU itu adalah:
 
1. RUU tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia - Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement).
 
2. RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
 
3. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
 
4. Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang.
 
5. Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and the Swiss Confederation).
 
6. Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Kabinet Menteri Ukraina tentang Kerjasama dalam Bidang Pertahanan (Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Cabinet of Ministers of Ukraine on Cooperation in the Field of Defence).
 
7. RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
8. Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2019.
 
9. RUU tentang Bea Materai.
 
10. Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021.
 
11. Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (Dalam Surpres berjudul Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja ) (Omnibus Law).
 
12. Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Protocol to Implement the Seventh Package of Commitments on Financial Service under the ASEAN Framework Agreement.
 
13. Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama dalam Bidang Pertahanan.
 
Empat dari 13 UU di atas merupakan peraturan yang berelasi dengan penanganan pandemi Covid-19. UU tersebut antara lain UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Sistem Keuangan. UU ini sebelumnya dikenal dengan Perpu Corona.
 
Berikutnya UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang, atau yang bias dikenal UU Pilkada 2020. Kemudian ada UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN 2021. Terakhir adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau populer disebut Omnibus Law.
 
Logikanya, jika kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat terdampak akibat pandemi, maka sudah pasti bantuan dari pemerintah amat dibutuhkan. Untuk mendorong upaya itu, pemerintah harus diberi amanat melalui UU agar sesuai dengan koridor yang diharapkan bersama. Hal ini karena dalam negara hukum, setiap kebijakan yang hendak diambil pemerintah selalu akan mengacu pada UU yang disepakati oleh pemerintah dan DPR. Maka, diputuskanlah UU Nomor 1 Tahun 2020 atau Perpu Corona sebagai landasan bagi kebijakan pemerintah menangani pandemi Covid-19.
 
Oleh sebab itu, para pendengung yang melontarkan pernyataan agar fungsi legislasi dikesampingkan, sementara pada saat yang sama membutuhkan bantuan untuk menanggulangi pandemi, sejatinya telah menggugurkan aspirasi mereka sendiri, juga aspirasi masyarakat luas yang menginginkan fungsi anggaran dan pengawasan DPR difokuskan untuk mendorong penanganan pandemi. 
 
Fungsi anggaran dan pengawasan akan berjalan jika ada pihak yang diawasi dan diberi anggaran, yakni pemerintah. Untuk merealisasikan keduanya, maka dibutuhkan UU yang tak lain adalah implementasi dari fungsi legislasi. Jika fungsi legislasi dikesampingkan, maka otomatis dua fungsi yang lain akan terkena imbas. Bagaimana mungkin pemerintah mau jalan sementara tidak ada UU-nya? Pun bagaimana DPR mau mengawasi jika pemerintah tak melakukan apa-apa? Begitupun bagaimana anggaran ingin ditetapkan untuk pemerintah jika UU-nya sendiri sedang dikesampingkan? Jelas ada kecacatan logika dalam wacana pengerdilan legislasi di tengah pandemi.
 
Peran Legislator dan Urgensi Legislasi
 
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa ada empat UU yang berkaitan dengan pandemi Covid-19. Keempatnya disahkan menjadi UU tak lepas dari peran DPR sebagai legislator negara. Berikut akan dijabarkan urgensi dari keempat UU tersebut di masa pandemi.
 
1. UU Nomor 12 Tahun 2020
 
Kondisi negara yang diterpa pandemi Covid-19 menuntut adanya aksi dari pemerintah untuk menangani segala dampak penyebarannya. Untuk melaksanakan hal itu, maka dibutuhkan produk hukum yang berkaitan dengan tata kelola anggaran. Anggaran menjadi sumber daya bagi pemerintah untuk menangani pandemi dari hulu ke hilir. Dapat diketahui bahwa UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah produk hukum yang ditujukan untuk menanggulangi wabah ini.
 
Hal itu sebagaimana tergambar dalam penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menyampaikan Keterangan Pendahuluan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dalam sidang daring Mahkamah Konstitusi, Kamis, 8 Oktober 2020. 
 
Sri Mulyani menegaskan penerbitan UU tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam akibat dampak Covid-19, baik dari aspek keselamatan jiwa karena ancaman kesehatan dan keselamatan, maupun kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat yang ambruk menyusul terjadinya pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran selama pandemi.
 
"Tujuan pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19," kata Sri Mulyani, dikutip dari laman resmi Kemenkeu.
 
Sebagai prodak hukum yang ditujukan menyelesaikan sengkarut masalah di musim pandemi, UU Nomor 2 Tahun 2020 ini tentu mengacu pada asas keadilan. Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan bahwa suatu UU harus berasaskan keadilan, yakni setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
 
Adapun UU Nomor 2 Tahun 2020 menetapkan ruang lingkup pemanfaatan APBN sebagai anggaran penanganan pandemi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3), "Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: a) penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau, b) menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan." Ketentuan ini jelas menggambarkan adanya asas keadilan bagi masyarakat yang terdampak pandemi.
 
2. UU Pilkada 2020
 
Dalam bidang politik, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 di Indonesia mengalami penundaan. Dalam Rapat Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, Selasa (14/4/2020), disepakati penundaan Pilkada 2020 sampai bulan Desember 2020. Tak lama setelah itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
 
Awalnya, keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi sempat menimbulkan polemik, terutama di kalangan pakar dan akademisi. Keputusan untuk melaksanakan pilkada di bulan Desember 2020 dipandang tidak realistis dan berisiko menambah kluster penyebaran virus. Pilkada di musim pandemi juga diprediksi akan mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh turunnya angka partisipasi masyarakat. 
 
Mengutip laman Sekretariat Kabinet, setidaknya ada tiga perubahan mendasar yang diatur dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Pertama, Pasal 120 yang menyatakan faktor bencana non-alam sebagai alasan penundaan rangkaian pilkada. Kedua, Pasal 122 A berkenaan dengan penundaan dan penetapan pilkada lanjutan ditetapkan berdasarkan kesepakatan Pemerintah, DPR RI, dan KPU.
 
Ketiga, Pasal 201A pilkada yang pada awalnya akan dilaksanakan pada bulan September 2020 ditunda menjadi diselenggarakan pada bulan Desember 2020, dengan alasan bencanan non-alam Covid-19. Kehadiran Perppu yang kemudian hari menjadi UU ini sebenarnya sudah menerapkan prinsip kehati-hatian karena di samping telah menunda pilkada untuk mencegah penyebaran virus, ketentuan Pasal 201A ayat (3) masih membuka opsi penundaan Pilkada berdasarkan kesepakatan tiga pemangku kebijakan: DPR, pemerintah, dan KPU.
 
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dipandang penting karena merupakan amanat yang tertuang  dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 6. Adanya Pilkada Serentak merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang dianut, yakni sarana untuk regenerasi kepemimpinan secara adil, bijaksana, serta sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam konstitusi.
 
Nur Kholis, dalam "Pilkada Serentak 2020: Antara Demokrasi dan Kesehatan Publik" di laman politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyebutkan banyaknya masa kepemimpinan kepala daerah yang akan habis di 2020 membuat peran dan posisi kepala daerah amat dibutuhkan untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan pemerintah pusat guna mempercepat penanganan dan percepatan pemulihan pasca pandemi. Dengan begitu, kata dia, Pilkada Serentak 2020 tetap perlu dilaksanakan.
 
"Sebenarnya, proses ini bisa saja dapat diganti dengan pengangkatan Pelaksana Jabatan (PJ), tetapi dianggap kurang efektif karena kewenangan yang dimiliki oleh PJ sangat terbatas, sehingga akan memperlambat kinerja," katanya.
 
Lebih lanjut ia menjelaskan, jika pilkada ditunda kembali, maka risikonya adalah KPU dan penyelenggara pemilu lainnya harus menyusun regulasi, mekanisme, dan persiapan dari awal lagi. Pilihan ini tentu akan membuat proses menjadi semakin lama. Padahal, kehadiran para kepala daerah baru hasil pemilihan ini sangat dibutuhkan terutama perihal kebijakan dalam menyelesaikan krisis akibat dampak pandemi.
 
Tidak hanya itu, menurut Kholis, apabila pilkada kembali ditunda, maka perencanaan anggaran juga harus dimulai dari awal sehingga anggaran yang diperlukan guna penyelenggaraan Pilkada Serentak semakin bertambah. Hal ini belum lagi melihat bahwa penyebaran Covid-19 semakin meningkat dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.
 
"Tentu, beban ini menambah daftar permasalahan bagi negara yang tengah berupaya untuk selamat dari resesi. Atas dasar permasalahan tersebut, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus berpikir ulang apabila ingin menunda Pilkada," katanya.
 
3. UU APBN 2021
 
Pada 2020, postur APBN Indonesia mengalami tekanan luar biasa akibat pandemi. Sebagai dampaknya, pembiayaan utang melonjak, penerimaan pajak ambles, dan sisa pembayaran anggaran yang lebih tinggi dari biasanya. Kondisi ini dibenarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia mengatakan pemerintah menghadapi kondisi sulit yang luar biasa seiring seiring tertekannya APBN. 
 
Akibat Covid-19, arah perekonomian nasional pun berubah. Pemerintah banting stir dan menggunakan instrumen fiskal untuk merespons kondisi ekonomi agar tidak semakin terpuruk. Tak ayal, pemerintah pun buru-buru merevisi postur APBN 2020 dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. 
 
Meneropong ke depan, pemerintah dan DPR memperkirakan bahwa tantangan ekonomi di 2021 masih penuh ketidakpastian karena pandemi belum juga berakhir. Hal ini yang membuat kedua pihak bersepakat membuka ruang postur APBN 2021 untuk tujuan menjaga daya tahan dan memulihkan ekonomi serta kehidupan masyarakat yang terdampak pandemi. APBN 2021 menjadi landasan bahwa pemerintah mendesain kebijakan yang melindungi semua pihak.
 
Mengutip Buletin Parlementaria, APBN 2021 yang termaktub dalam UU Nomor 9 Tahun 2021 pun disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa, 29 September 2020. Kendati demikian, Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan bahwa APBN 2021 bukan semata-mata ditetapkan untuk penanganan Covid-19.
 
"APBN 2021 dirancang selain untuk penanganan pemulihan ekonomi nasional dari dampak pandemi COVID-19, juga berisikan program reformasi di berbagai bidang dalam mempersiapkan fondasi yang kokoh untuk mempercepat kemajuan Indonesia," kata Puan.
 
RUU APBN 2021 yang telah disahkan menjadi undang-undang ini antara lain mencakup target penerimaan negara Rp1.743,6 triliun yang bersumber dari perpajakan Rp1.444,5 triliun dan PNBP Rp298,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan target penerimaan itu disesuaikan dengan keadaan menghadapi tantangan yang berat melihat kondisi dunia yang terdampak pandemi belum sepenuhnya pulih. “Target pendapatan 2021 disesuaikan berdasarkan baseline 2020 yang menghadapi tekanan berat di tengah Covid-19,” kata dia.
 
Seturut dengan itu, UU APBN 2021 juga mempertimbangkan belanja negara dengan melihat masih besarnya kebutuhan penguatan penanganan kesehatan dan menjaga pemulihan sosial dan ekonomi. Belanja negara ditetapkan sebesar Rp2.750 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.954,5 triliun dan transfer daerah dan dana desa sebesar Rp795,5 triliun.
 
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa UU APBN 2021 diberlakukan dengan salah satu tujuannya adalah menanggulangi pandemi. Pemerintah tidak sendirian membahas isi dan tujuan UU ini, melainkan ada peran legislasi DPR di situ. Fungsi legislasi ikut menghantarkan fokus belanja nasional tidak hanya untuk mengantisipasi tantangan Covid-19, tapi juga pemulihan ekonomi, serta mitigasi dari tantangan kesehatan bangsa.
 
4. UU Cipta Kerja
 
Dari sekian UU yang disahkan oleh DPR, UU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi beleid yang paling besar menimbulkan gejolak di publik. Hal ini disebabkan selain beberapa ketentuannya yang dipandang berpotensi merugikan sebagian kalangan, proses penyusunannya juga dinilai berlawanan dengan asas transparansi dan partisipasi publik.
 
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bahkan menyebut proses pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa fungsi legislasi DPR RI sedang tidak berjalan baik dalam konteks menghasilkan produk hukum. Reformasi mengamanatkan adanya penguatan fungsi legislasi DPR dengan memberikan kekuasaan legislasi lebih condong ke DPR, bukan ke pemerintah. Meski begitu, dari sisi konteks penanggulangan pandemi, UU ini masih membuka harapan untuk memulihkan ekonomi yang sedang tidak berjalan baik.
 
Pengamat Ekonomi Universitas Dr Soetomo (Unitomo), Dr. Metiana Indrasari mengatakan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan keuntungan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini dibuktikan dari sejumlah pasal di dalamnya yang memberi akses dukungan, kemudahan berusaha, perlindungan, dan pemberdayaan bagi UMKM. Menurut Metiana, kemudahan yang didapat UMKM dari Undang-undang Cipta Kerja bisa membantu membangkitkan ekonomi di tengah pandemi. Peran UMKM sejak 1990-an cukup besar dalam membangun perekonomian Indonesia.
 
"Sudah teruji dari tahun 1990-an cukup besar, cukup signifikan terhadap perekonomian di Indonesia," katanya.
 
Peluang pemulihan ekonomi dari ketentuan UU Cipta Kerja tak hanya melalui UMKM. Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan UU ini juga bakal mendobrak stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terpukul akibat pandemi. UU ini, kata dia, hadir untuk menstimulasi perekonomian saat ini dan setelah pandemi Covid-19.
 
“UU Cipta Kerja akan membantu meningkatkan investasi pemerintah pemerintah melalui pembentukan lembaga pengelola investasi Sovereign Wealth Fund (SWF) untuk percepatan pembangunan berbagai proyek strategis. Seperti jalan tol, bandara, Pelabuhan kesehatan dan juga sektor potensial seperti pariwisata dan teknologi,” kata dia dalam "Economic Outlook 2021: Manfaat UU Cipta Kerja Bagi Dunia Usaha", Selasa, 24 November 2020.
 
Selain itu, dalam menjalankan investasi Sovereign Wealth Fund, Erick mengatakan manajemen akan disupervisi oleh para investor dari kalangan internasional yang merupakan perwakilan dari negara masing-masing. Untuk mereset ulang perekonomian diperlukan penciptaan iklim investasi yang ramah bagi investor domestik dan internasional. Erick mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja tetap menunjukkan keberpihakan kepada para pekerja, di samping memberikan kemudahan bagi para investor dalam membuka investasi baru.
 
Hal senada diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dalam Rapat Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senin 5 Oktober 2020 lalu, ia menegaskan salah satu alasan RUU Cipta Kerja dibuat adalah memprioritaskan program penanganan pandemi Covid-19. Mengenai respons UU Cipta Kerja terhadap pandemi, ia mengatakan bahwa pemerintah sudah meresponsnya dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "undang-undang ini yang menjadi catatan, untuk memprioritaskan program Covid," katanya.
 
Testimoni di atas memberi gambaran bahwa UU Cipta Kerja, di samping kehadirannya yang kontroversial, ternyata dipandang mampu menjadi solusi kunci dalam mengatasi persoalan ekonomi Indonesia. Segera setelah ekonomi terpuruk, kebutuhan lapangan kerja di Indonesia tentu terus meningkat. Selain banyak usia yang baru masuk dunia kerja, ironi yang kini santer terjadi adalah banyaknya korban pemutusan hubungan kerja karena krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi.
 
Langkah pemerintah dinilai tepat untuk memulihkan ekonomi nasional melalui instrumen RUU Cipta Kerja. Begitupun respons DPR dapat dibenarkan ketika mensahkannya menjadi UU lewat fungsi legislasinya dengan harapan mendukung percepatan pemulihan tersebut. Membahas dan mensahkan sejumlah RUU menjadi UU tentu dibutuhkan guna memperkuat posisi sebuah peraturan. Dengan disahkannya menjad UU, maka peraturan tersebut memiliki daya paksa kepada pemerintah untuk bekerja keras.
 
Pemerhati Perundang-undangan, Purnomo Sucipto, dalam kolom "Apa yang Perlu Diketahui untuk Membuat Peraturan Perundang-undangan?", mengatakan peraturan perundang-undangan merupakan dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur. Artinya, manakala pemerintah menjalankan tugasnya tidak sesuai atau melenceng dari UU yang disepakati, maka pemerintah bisa dituntut, bahkan dihukum. Inilah kekuatan hukum yang dihasilkan dari legislatif. Selain itu, Peraturan perundang-undangan juga merupakan dokumen politik yang menyangkut kepentingan banyak pihak.
 
Melihat peran yang dihasilkan tersebut, maka dipastikan urgensi legislasi begitu besar bagi penanganan pandemi. Tanpa adanya UU yang dihasilkan atas produk legislasi, mustahil pemerintah bertindak begitu saja menanggulangi krisis ini tanpa ada kesepakatan bersama dengan DPR sebagai representasi rakyat. Urgensi legislasi mengatasi pandemi menjadi tak masuk akal jika dikesampingkan seturut perlunya persetujuan anggaran dan pengawasan dari DPR. Alhasil, pemerintah dan DPR dinilai sudah melakukan sejumlah upaya untuk memulihkan perekonomian nasional di masa pandemi. 

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar