Kuasa Hukum Petinggi KAMI Adukan Polisi ke Komnas HAM

Jakarta, law-justice.co - Penyidik Bareskrim Polri telah menangkap dan menetapkan Petinggi KAMI Jumhur Hidayat sebagai tersangka karena tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, upaya polisi itu dinilai melanggar HAM sehingga diadukan ke Komnas HAM.

Langkah itu dilakukan oleh kuasa hukum Jumhur Hidayat, Nelson Nikodemus. Menurutnya, ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap kliennya selama proses penangkapan.

Baca juga : Aktivis KAMI Syahganda Nainggolan Divonis 10 Bulan Penjara

"Apa yang dilanggar? Ada banyak ya. Pertama proses penangkapan yang tidak sesuai dengan standar yaitu tidak menunjukkan tanda pengenal dan tidak menunjukkan surat penangkapan," kata Nelson kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (16/12/2020).

Dalam sebuah surat, Nelson menuliskan poin-poin pelanggaran HAM yang didapatkan kliennya, mulai dari tidak adanya surat penangkapan hingga polisi yang memaksa masuk tanpa seizin pemilik rumah. Dalam surat tercantum pihak terlapor atas nama Kabareskrim, Komjen Listyo Sigit.

Baca juga : Bacakan Pledoi, Syahganda Sentil Kemunduran Demokrasi & Kambing Hitam

"Bahwa pada 13 Oktober 2020 pukul 07.00 WIB, sebanyak 30 orang polisi pada Bareskrim Mabes Polri mendatangi Rumah Jumhur Hidayat. Tanpa adanya pendekatan komunikasi dengan penjaga gerbang rumah dan keluarga. Polisi langsung memaksa masuk rumah dan menggedor-gedor pintu kamar tidur Jumhur Hidayat dan istri (Alia Jumhur)," jelasnya.

"Bahwa saat melakukan penangkapan, polisi tidak membawa, tidak menunjukkan dan tidak memberikan surat tugas jalan dan surat perintah penangkapan kepada Jumhur Hidayat dan keluarga, sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) KUHAP," Neslon.

Baca juga : Karena Hal Ini, Jokowi Disebut Layak Diperiksa Polisi seperti Anies

Selain itu, Nelson mengadukan perubahan pasal sangkaan terhadap Jumhur Hidayat. Dia menyebut sewaktu penangkapan kliennya dituding menunggangi aksi unjuk rasa. Namun kini kliennya disangkakan Pasal 45 A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu.

"Kemudian pasalnya juga pasal karet karena awalnya pas Jumhur dituduh kabarnya menunggangi aksi unjuk rasa omnibus law tapi ternyata setelah beberapa hari ditangkap, pasal yang didakwakan bukan menunggangi unjuk rasa atau misalnya melakukan kekerasan terhadap orang," ucapnya.

Selain itu, Nelson menyebut bahwa Jumhur tak mendapatkan haknya sebagai seorang tahanan negara. Sebab, kepada tim kuasa hukum, Jumhur mengaku tak diperkenankan memilih pengacara selama menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri. Bahkan, lanjut Nelson, petugas pun melarang siapapun menjenguk Jumhur tanpa alasan yang jelas.

"Terus kemudian ada pemaksaan kuasa hukum dari polisi. Pak Jumhur tidak diperbolehkan memilih sendiri pengacaranya. Jadi pada saat diperiksa dia bukan diwakili dengan pengacara yang dari yang dipilih sendiri tapi kemudian yang dari polisi," tutupnya.