Dr. Reda Manthovani SH LLM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Kejaksaan dan Keadilan Restoratif dalam Proses Diversi Demi Keadilan

Jakarta, law-justice.co - Jaksa Agung melalui pelaksaanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, telah menerbitkan Peraturan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dalam pertimbanganya peraturan tersebut disebutkan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan, merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.

Baca juga : 17 Perkara Dihentikan, Usai Jampidum Setujui Restorative Justice

Berdasarkan hal tersebut beberapa satuan kerja Kejaksaan telah melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu antara lain:

1) Atas nama Tersangka KS/ (Perkara pada Kejaksaan Negeri Gunung Kidul) KS diduga/disangka melanggar Pasal 351 ayat (2) KUHP Subsidair Pasal 351 ayat (1) KUHP Kasus Posisi Bahwa tersangka pada hari Jumat 5 Juni 2020 diduga telah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat terhadap saksi korban Masiyem Binti Kasemo Semito (adik kandung tersangka).

Baca juga : Kejagung Hentikan Kasus Ibu Curi Ponsel untuk Sekolah Daring Anaknya

Tahapan penanganan perkara - Korban dan tersangka telah sepakat untuk berdamai disertai dengan pemenuhan kewajiban perdamaian tanggal 13 Agustus 2020. - Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: 002/M.4.13/Eoh.2/08/2020 tanggal tanggal 14 Agustus 2020.

2) Atas nama Terdakwa IR (Perkara pada Kejaksaan Negeri Lampung Selatan) Terdakwa IR disangka melanggar Pasal 374 KUHP Kasus Posisi Bahwa tersangka pada hari hari Selasa tangal 16 Juni 2020, sebagai pengemudi truk telah mengangkut latek cair/getah karet milik PTPN VII, setelah selesai bongkar muat, tersangka membersihkan mobil truk dengan cara menyemprotkan air ke tangki yang berisi cairan getah karet namun tidak sampai bersih, masih ada getah karet yang disisahkan oleh tersangka sebanyak 15 liter yang rencananya akan dijual untuk membayar biaya daftar ulang sekolah anak tersangka.

Baca juga : Kejaksaan Agung Hentikan Kasus Ibu Curi Ponsel Untuk Bayar Kontrakan

Namun belum sempat dijual, tersangka tertangkap tangan oleh pihak keamanan PTPN VII, akibat perbuatan tersangka, PTPN VIII mengalami kerugian sebesar Rp. 525.000.- Tahapan penanganan perkara - Pada pada saat dilakukan ekspos perkara pada tanggal 4 Agustus 2020, petunjuk dari Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Selatan agar dipedomani Peraturan Kejaksaan RI Nomor: 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Resoratif. - Adanya kesepakatan mediasi antara PTPN VII dengan terdakwa untuk upaya perdamaian. - Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: 01/L.8.11/Eoh.2/08/2020 tanggal 19 Agustus 2020.

3) Atas nama Tersangka AR (Perkara pada Kejaksaan Negeri Bantul) AR/ Anang Restu Aji Suharto diduga/disangka melanggar Pasal 80 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor: 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 76 C UU Nomor: 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 200t tentang Perlindungan Anak.

Kasus Posisi Bahwa pada tanggal 1 Januari 2020, ketika anak DP mengendarai sepeda motor dengan suara keras melewati tersangka yang sedang nongkrong diperempatan. Kemudian tersangka mengejar anak Deskemal Pasha hingga berhenti di depan rumah. Kemudian tersangka mengatakan kepada anak DP “Ojo banter banter (jangan kencang-kencang).

Kemudian anak DP  meminta maaf akan tetapi tersangka memukul anak DP dengan menggunakan tangan kanan mengenai rahang sebelah kiri, kemudian tersangka meninggalkan anak DP, akibat kejadian tersebut anak DP mengalami luka memar di rahang sebelah kiri. Tahapan penanganan perkara - Pada tangal 24 Agustus 2020, adanya kesepakatan perdamaian antara tersangka, orang tua tersangka, orang tua korban, dan tokoh masyarakat. - Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: 01/M.4.12/Eku.2/08/2020 tanggal 26 Agustus 2020.

Pedoman Kebijakan Restoratif

Beberapa Kebijakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dalam rangka penanganan perkara tindak pidana umum yang professional dan akuntabel serta restoratif,
antara lain:

- Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP- 024/E/Ejp/12/2019 Tanggal 2 Desember 2019 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara      Tindak Pidana Umum
- Pedoman Nomor 3 tahun 2019 Tanggal 2 Desember 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana.

- Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-4022/E/EJP/09/2020 tanggal 2 September 2020 perihal Pengiriman Rencana Tuntutan Tindak Pidana         Narkotika Dan Zat Adiktif lainnya.
- Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

- Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-430/E/EJP/9/2020 tanggal 16 September 2020, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pada Pasal 1 Angka 6, pengertian Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Yang termasuk pihak lain adalah masyarakat, tokoh agama, guru, Ketua RW, Ketua RT, tokoh masyarakat dan lain-lain, Sedangkan pengertian Diversi, dalam Pasal 1 angka 7, pengertian Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Jadi keadilan restoratif berisi prinsip-prinsip partisipasi semua pihak yang terlibat dalam menangani perkara anak seperti pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku, atau masyarakat, kemudian duduk secara bersama-sama untuk menyelesaikan perkara anak melalui upaya diversi atau musyawarah diversi yang dipimpin oleh Penyidik selaku ketua fasilitator dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator yang dihadiri juga oleh Pekerja Sosial Professional.

Sebagai contoh, jika ada anak yang menjadi pelaku tindak pidana seperti anak melakukan pencurian, kemudian tertangkap dan diserahkan kepada pihak berwajib atau kepolisian, jika pencurian yang dilakukan anak tersebut merupakan pencurian biasa, seperti yang diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9.000 (sembilan ribu rupiah).

Maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Pasal 7 ayat (1) dikatakan Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

Kemudian pada ayat (2) nya dikatakan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan ; huruf a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan, huruf b, bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Jadi ketika anak sebagai pelaku tindak pidana, dan tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, maka penyelesaiannya wajib diupayakan diversi, dan pendekatannya menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Jadi perkara anak yang melakukan pencurian tersebut diselesaikan diluar proses peradilan atau yang disebut diversi atau musyawarah diversi.

Dalam pelaksanaan musyawarah diversi tersebut melibatkan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, pelaku atau anak yang melakukan pencurian, orang tua pelaku atau walinya, korban, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan jika diperlukan dapat melibatkan masyarakat. Kemudian semua pihak berkumpul di dalam satu meja atau dalam satu ruangan untuk melaksanakan musyawarah diversi yang dipimpin oleh penyidik sebagai fasilitator dan pembimbing kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator, dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, serta untuk mencapai kepentingan yang terbaik bagi anak.

Jadi hubungan antara keadilan restoratif dengan diversi adalah, keadilan restoratif merupakan cara penyelesaian perkara yang pendekatannya melibatkan para pihak seperti pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga korban, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional, dan masyarakat, atau pihak yang terkait, dengan tujuan untuk memulihkan atau mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Sedangkan diversi merupakan proses penyelesaian perkaranya yang dilakukan diluar peradilan pidana, yaitu melalui musyawarah diversi. Jadi keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan, sedangkan diversi lebih kepada pengalihan proses penyelesaian perkara pidana anak ke luar proses peradilan.

Mudah-mudahan aparat Kejaksaan bisa terus berkomitmen dalam menegakkan kebijakan hukum restoratif ini, sehingga memberi perlindungan hukum dan keadilan hukum yang sama kepada semua lapisan masyarakat, sehingga bisa merasakan rasa keadilan yang didambakan setiap rakyat Indonesia.