Perusahaan Urus Klaim JHT Kolektif, Wujud BPJS Lepas Tanggung Jawab

Jakarta, law-justice.co - Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS (Kornas MP BPJS) Hery Susanto tidak terima dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh direksi BPJS Ketenagakerjaan yang menerima pengurusan klaim jaminan hari tua (JHT) kolektif melalui perusahaan tempat korban PHK bekerja.

Menurutnya kebijakan tersebut mengindikasikan BPJS Kesehatan ingin lepas tangan atau tidak mau bertanggung jawab.

Baca juga : Imbas Penjualan Anjlok, Nike PHK Sebanyak Ratusan Karyawan

"Pengurusan klaim JHT BPJS secara kolektif untuk pekerja korban PHK massal di eks perusahaan tempat bekerjanya itu dinilai salah urus dan bentuk lepas tanggungjawab direksi BPJS Ketenagakerjaan terhadap amanah peraturan perundang-undangan BPJS," katanya melalui siaran persnya yang diterima law-justice.co, Senin (1/6/2020).

Selain ingin melepas tanggung jawab, langkah BPJS itu juga membuat proses pengklaiman JHT makin lama. Apalagi hal itu juga membuat perusahaan, tempat korban akan terbebani dengan tugas tersebut.

Baca juga : Penjualan Menurun, Ratusan Ribu Pekerja Tesla Terancam di PHK

"Nanti memperpanjang birokrasi pengklaiman JHT itu makin lama," jelas Hery.

Munculnya PHK massal tak lepas dari akibat pandemi covid-19 yang tengah melanda Indonesia dan dunia saat ini. Berdasarkan data dari Kemterian Tenaga Kerja, hingga April 2020, jumlah pekerja dari 116.370 perusahaan yang terimbas PHK sebesar 2.084.593 orang.

Karena itu mereka berbondong-bondong mangajukan klaim JHT ke BPJS Ketenagakerjaan. Bukannya disambut baik, BPJS Ketenagakerjaan malah membuat kebijakan menerima pengurusan klaim JHT kolektif melalui perusahaan tempat bekerja dari korban PHK tersebut.

Baca juga : Tesla PHK 15.000 Pekerja Akibat Penjualan Turun, Mobil Listrik Lesu?

Sebelumnya, pada Jumat (22/5/2020) Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan pengajuan Klaim JHT secara kolektif bisa dilakukan oleh perusahaan yang melakukan PHK massal.

Namun, perusahaan tersebut harus mengeluarkan surat kuasa resmi untuk penunjukan perwakilan yang akan berkoordinasi dengan petugas BPJS Ketenagakerjaan. Pengurusan klaim JHT kolektif ini dengan kriteria perusahaan kategori menengah dan besar yang melakukan PHK minimal 30 persen dari peserta yang terdaftar.

Sementara, dalam UU SJSN dan UU BPJS dijelaskan bahwa manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Hal tersebut sebagai tanggungjawab langsung antara BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta.

Kemudian, UU No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Pasal 10 poin f menjelaskan tugas BPJS adalah membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial.

Dan Pasal 13 poin f menyebutkan bahwa kewajiban BPJS adalah memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya.

Pasal 24 ayat 1 fungsi Direksi BPJS itu melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin peserta untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan haknya.

"Tidak ada kewenangan direksi BPJS ketenagakerjaan meminta pihak perusahaan untuk mengeluarkan surat kuasa resmi penunjukan perwakilannya berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam pengurusan klaim JHT kolektif. Pengajuan klaim JHT itu hak peserta bukan hak perusahaan. Jadi jika peserta berhalangan dalam pengurusan klaim JHT maka peserta yang berhak mengeluarkan surat kuasa bukan pihak perusahaan," jelasnya.

"Mestinya perusahaan yang melakukan PHK hanya berkewajiban menerbitkan surat parklaring untuk syarat pencairan JHT BPJS. Korban PHK pun sangat jarang mau berurusan lagi dengan bekas perusahaan tempat bekerjanya," lanjut Hery.

Hery menjelaskan Pasal 6 Ayat 1 Permenaker No 19 tahun 2015 tentang tata cara persyaratan dan pembayaran manfaat JHT menyebutkan bahwa dalam hal peserta terkena PHK manfaat JHT dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal PHK. Karena itu sejak perusahaan menerbitkan surat keterangan PHK/parklaring maka itu sudah memenuhi tanggungjawabnya.

"Aneh jika perusahaan dilibatkan dalam pengurusan klaim JHT secara kolektif. Patut diduga akan ada efek praktek percaloan urusan jasa klaim. Lagipula sangat jarang perusahaan yang berani deklarasi PHK massal karena pasti dipantau banyak pihak," katanya.

Hery Susanto meminta kepada seluruh pemangku kepentingan yakni Presiden RI dan jajarannya, Komisi IX DPR RI, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) agar menegur keras Direksi BPJS Ketenagakerjaan dalam pelayanan klaim JHT kolektif tersebut.

"Informasinya banyak klaim JHT kolektif tersebut yang sudah dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan hingga triliunan rupiah, ini harus diaudit," katanya.

Pengurusan klaim JHT kolektif dinilainya bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS. Jajaran direksi BPJS Ketenagakerjaan harus bertanggungjawab langsung atas pelayanan dan pembayaran dana manfaat JHT pekerja.

"Kami menolak pengurusan klaim JHT kolektif tersebut. Pembatasan kuota pelayanan klaim JHT juga harus dicabut karena tidak manusiawi dan berkeadilan sosial sebagaimana asas BPJS," tandasnya.