Pesangon Bagi Korban PHK Terdampak COVID-19, Begini Hitungannya

law-justice.co - Virus corona yang sudah masuk ke tanah air sejak diumumkan awal Maret, mulai memicu krisis ekonomi. Satu-persatu perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan merugi, karena dampak dari perintah physical distancing yang dilanjutkan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus rantai penyebaran virus. 

Sebenarnya, untuk menghindari PHK, Kementerian Ketenagakerjaan sudah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker M/3/HK.04/III/2020”).

Baca juga : Imbas Penjualan Anjlok, Nike PHK Sebanyak Ratusan Karyawan

Perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

Melaksanakan Perlindungan Pengupahan bagi Pekerja/Buruh terkait Pandemi COVID-19.

Baca juga : Penjualan Menurun, Ratusan Ribu Pekerja Tesla Terancam di PHK

  1. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
  2. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
  3. Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
  4. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Maka, untuk menghindari PHK, pengusaha dapat melakukan perubahan besaran maupun cara pembayaran upah terhadap upah pekerja/buruh yang dirumahkan sementara akibat wabah COVID-19, berdasarkan kesepakatan para pihak. Selain itu, pekerja/buruh yang diduga atau positif terjangkit COVID-19 juga berhak atas upah berdasarkan surat edaran tersebut.

Pengajuan PHK

Baca juga : Tesla PHK 15.000 Pekerja Akibat Penjualan Turun, Mobil Listrik Lesu?

Namun, jika PHK tetap tidak dapat dihindari, maka sebagaimana diterangkan Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003, pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).

Jika perundingan yang ditegaskan di atas gagal mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setelah pencatatan tersebut, perselisihan tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi maupun konsiliasi. Jika penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

PHK tanpa penetapan melalui mediasi, konsiliasi, atau putusan Pengadilan Hubungan Industrial nantinya akan batal demi hukum.

Namun, penetapan demikian tidak diperlukan dalam hal:

  1. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
  2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
  3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau pekerja/buruh meninggal dunia.

 Berdasarkan uraian tersebut, jika pekerja/buruh tetap tidak sepakat untuk melakukan PHK, maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK pekerja/buruh melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun jika pekerja/buruh sepakat untuk melakukan PHK berdasarkan perundingan, tidak perlu ada penetapan yang demikian.

Ketentuan Pesangon Akibat PHK

Jika terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Sebagai contoh, jika kontrak kerja satu tahun untuk periode pertama dan satu tahun lagi untuk periode kedua, jadi telah bekerja selama kurang dari dua tahun dengan sisa tiga bulan pada perjanjian kerja periode kedua ini; maka uang pesangon berdasarkan asumsi tersebut adalah sebesar dua bulan upah.

Selain pesangon, pekerja juga berhak atas uang pengganti hak, yang meliputi:

  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarga ke tempat di mana pekerja diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Jika gaji pekerja dibayarkan secara bulanan, sehingga komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:

  1. Upah pokok;
  2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja dan keluarga, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja. 

Sumber: Hukum Online