Apa Sebab Obat ARV Lambat Masuk ke Indonesia?

law-justice.co - Kementerian Kesehatan telah memutuskan pembelian obat Aniretroviral atau ARV. Namun pembelian obat ini masih harus terhambat karena sulitnya penerbangan dari India. Kemenkes melalui dana bantuan Global Fund sudah melakukan order dari tender internasional. Obatnya pun saat ini sudah disiapkan dan tersedia di India.

Namun sayangnya, perusahaan penerbangan yang bisa digunakan untuk mengangkut obat ARV ini, membatalkan penerbangannya untuk masa dua minggu kedepan. Dan lebih parahnya, tidak ada jaminan bahwa setelah dua minggu maka layanan pengiriman ini bisa berjalan.

Baca juga : Bekas KSP Jaleswari : Gelar Baru Jenderal Prabowo Akan Jadi Beban

Dibutuhkan penyesuaian dalam dokumen impor jika Indonesia memutuskan untuk menggunakan airlines yang berbeda. Sedangkan dokumen tersebut sudah dikeluarkan guna memastikan obat ini tidak akan tertahan di bea cukai Jakarta.

Bagi pembelian yang menggunakan dana APBN, prosesnya pun baru saja dimulai. LKPP masih belum mengumumkan siapa pemenang tender penyuplai obat ARV ini. Setelah proses pengumuman pemenang ini yang bisa diakses di website e-katalog, kemkes baru bisa melakukan order.

Baca juga : Jaleswari : Negara Tengah Hadapi Ujian Peradaban Demokrasi

Setelah pemenang ini ditetapkan, masih akan ada hambatan yang sama dikarenakan meski pemenangnya perusahaan lokal, tetap saja obat ini harus didatangkan secara import dari India.

“Kemkes harus memikirkan ekses dari COVID-19 terhadap ketersediaan obat esensial misalnya semacam obat ARV ini,” Kata Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif, LSM Indonesia AIDS Coalition dalam keterangan Persnya, Sabtu (21/3/2020).

Baca juga : Ini Alasan Jaleswari Pramodhawardani Mundur dari Deputi V KSP

Aditya menambahkan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan.

Yang pertama, Kemenkes harus mengidentifikasi kebutuhan obat baik untuk program penanggulangan AIDS nasional maupun suplai obat bagi masyarakat umum serta menghitung kecukupan stoknya yang ada saat ini.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah mengumpulkan segenap stakeholder yang terkait dengan tata niaga obat ini, baik dari sisi pemerintah maupun sektor privat, guna mendapatkan informasi mendalam serta memetakan potensi dampak dari COVID-19 terhadap kecukupan stok obat-obatan di Indonesia. Ini juga untuk memetakan mana obat-obatan yang bisa diproduksi secara mandiri di dalam negeri dan mana yang masih bergantung pada import dari negara lain.

"Bagi obat-obatan yang stoknya minim dan ini juga masih harus didatangkan dari negara lain, kemkes harus memikirkan dan mengambil solusi cepat guna mendatangkan obat-obatan ini guna menjaga tingkat pasokan di dalam negeri," ujarnya

Menurut Aditya, langkah berikutnya yang perlu dilakukan yaitu kementerian kesehatan harus secara serius bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional (Rationale Use of Medicines) guna menghemat stok obat yang masih tersedia saat ini di dalam negeri.
Pemerintah juga harus mengambil momentum ini guna secara lebih serius lagi mengevaluasi dan memperbaiki peta jalan (roadmap) bagi penguatan industri obat dalam negeri sehingga mampu memutus ketergantungan import bahan baku obat serta import obat jadi dari negara lain.

"Pertanyaan besar sekarang, apakah pemerintah kita akan bertindak dengan sigap sehingga stok obat ARV bagi 140 ribu pasien ODHA dalam pengobatan ARV bisa mendapatkan obat?," pungkasnya.