Busyro: Istana Terindikasi Politisasi Isu `Taliban di KPK`

Jakarta, law-justice.co - Mantan Ketua Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas membantah keras soal isu radikalisme, khususnya `isu Taliban` di lingkup internal KPK. Dia menduga isu Taliban tersebut sengaja dipolitisasi oleh Istana.

Dia menjelaskan seperti melansir Detik.com, bahwa Taliban yang selama ini ada dalam tubuh KPK memiliki konteks yang berbeda. Dia mengatakan Taliban yang dimaksud dalam KPK adalah untuk menggambarkan penyidik-penyidik KPK yang militan.

Baca juga : Pekerja Tak Digaji, Direksi & Komisaris Indofarma Berlebih Tunjangan

"Waktu saya masuk itu sudah ada Taliban-Taliban. `Lha, kok Taliban to`. `Pak ini tidak ada konotasi agama`. `Lho kenapa?` Ini ikon Taliban itu menggambarkan militansi orang Afganistan, dan penyidik-penyidik KPK itu militan-militan. Ini ada Kristian Kristen, ini ada Kadek Hindu, ada Novel cs Islam. Jadi mereka biasa-biasa saja," kata Busyro.

"Jadi Taliban itu tidak ada konteksnya radikal. Hanya itu dipolitisasi. Dan politisasi itu ada indikasi dari istana," imbuh dia.

Baca juga : Anggota Polresta Manado Bunuh Diri Diduga Karena Masalah Pribadi

Dia pun menyayangkan isu radikalisme kemudian digoreng sedemikian rupa untuk melemahkan KPK. Busyro menilai isu radikalisme yang bahkan masuk dalam materi psikotes pimpinan KPK kekanak-kanakan.

"Kemudian dikembangkan oleh pansel kan. Mengapa baru kali ini pansel itu nggak punya kerjaan seolah-olah nggak punya konsep. Ada tiga guru besar, (tapi) materi psikotesnya pakai isu-isu radikalisme, tapi pertanyaan-pertanyaannya itu childish banget, misalnya kalau ada bendera Merah-Putih menghormati itu bagaimana. SMP itu," tutur Busyro.

Baca juga : Penyair Joko Pinurbo Meninggal Dunia di Usia 61 Tahun

Di sisi lain, Busyro juga dengan tegas menolak revisi UU KPK. Busyro menilai revisi tersebut sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah itu.

"Lebih dari pada pelemahan. Supaya bangsa Indonesia itu akrab dengan yang lugas-lugas tidak samar-samar seakan-akan santun. Saya mengatakan pembunuhan. Pembunuhan. Lugas kan. Situasinya cocok saya untuk menggunakan kata itu daripada pelemahan. Sebab, kalau isinya pelemahan presiden itu menolak pelemahan dengan menolak pasal-pasal yang diajukan oleh DPR itu tapi tiga poin itu setelah kita baca, diteliti KPK sendiri, diteliti teman-teman itu sama saja masih mengandung unsur yang akibatnya pembunuhan KPK," papar Busyro.

Salah satu yang ditolak Busyro adalah terkait rencana pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Menurut dia, hal itu berisiko menghilangkan independensi KPK yang selama ini terjaga.

"Kan ada tiga poin. Tiga poin sama saja. Harus ASN. Nah KPK itu dibentuk dengan mempunyai hak menurut UU KPK, merekrut sendiri dan berbasis pada masyarakat ada UU nya itu. Sehingga kita merekrut pegawai KPK itu ada ratusan, tapi kita juga mendesain pegawai KPK itu untuk riset, analis, penyelidik dan yang memenuhi syarat menjadi penyidik. Itu kemudian kita training dan training-nya nggak main-main. Dididik sama Kopassus. Hasilnya independen itu karena tidak ada budaya-budaya ASN yang masuk di KPK," pungkasnya.