Fraud Indofarma: Bikin Hampir Pailit dan Sengsarakan Pekerja

Jakarta, law-justice.co - Suara Meida Wati terdengar haru saat menceritakan kondisi keuangannya. Sejak Januari lalu, dia dan ribuan pekerja lain tak kunjung mendapat gaji dari tempat kerjanya. Meida adalah pekerja di BUMN PT Indofarma (Persero) yang kini diterpa masalah keuangan. Badan usaha pelat merah di bidang farmasi tersebut terlilit banyak utang sehingga berdampak pada penunggakan gaji karyawannya dalam empat bulan terakhir.

Meida yang juga Ketua Serikat Pekerja Indofarma tidak berdiam diri saja meratap nasib. Sudah berulang kali pekerja melakukan audiensi dengan jajaran direksi. Pun telah demonstrasi, bahkan ke Kementerian BUMN pada Januari 2024. Meida bilang pihak Kementerian BUMN saat menerima massa demo mengatakan bakal mengutamakan hak pekerja Indofarma, juga berkata sedang menyiapkan strategi penyelematan Indofarma dari sengkarut keuangannya.

Baca juga : Mahasiswa STIP Jakarta Tewas Diduga Dianiaya Senior, Polisi Selidiki

Di sisi manajemen Indofarma, kata Meida, hanya keluar kalimat diplomatis bahwa perusahaan mengusahakan pembayaran gaji di tengah kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Bagi Meida dan juga pekerja lain Indofarma, respons kementerian dan perusahaan tak membawa harapan berarti.

“Kemana lagi kami akan ngomong. Bahwa kami yang berbaju BUMN, faktanya beras satu liter pun tidak bisa kami berikan kepada anak-anak kami. Sampai hari ini, faktanya kami lapar,” kata Meida kepada law-justice, Rabu (17/4/2024).

Baca juga : Luhut ke Prabowo : Jangan Bawa Orang `Toxic` ke dalam Pemerintahan

Selain gaji, Indofarma juga dikatakan Meida telah menunggak tunjangan, asuransi hingga pembayaran BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan, BPJS Ketenagakerjaan tidak lagi dibayarkan dalam 3 tahun belakangan. Adapun bicara soal gaji pokok, Indofarma disebut mencicil gaji karyawannya. Pada Januari, perusahaan mencicil hanya 50 persen dari total gaji. Februari, gaji dibayarkan berdasar tingkat golongan pekerja dengan kisaran 50-90 persen. Lain itu, perusahaan juga mangkir bayar dana serikat pekerja dalam 10 bulan terakhir.  

Sedangkan pada Maret, para pekerja harus menelan pil pahit. Sebab, perusahaan tidak sama sekali membayarkan gaji. “April juga belum tentu bisa gajian. Lalu karyawan harus kemana (mendapat penghasilan) kalau belum bisa gajian dua bulan ini,” kata Meida.  

Baca juga : Kadin Minta Transisi Pemerintahan Jokowi ke Prabowo Berjalan Smooth

Bulan April ini bakal terasa lebih pahit bagi pekerja Indofarma apabila perusahaan tak membayar THR lebaran. Belakangan, Indofarma mengonfirmasi telah membayarkan THR pekerjanya, namun di balik itu ada aksi para pekerja menjelang hari raya. Meida menceritakan unjuk rasa menuntut pembayaran THR terjadi pada 4 dan 5 April di pabrik Indofarma yang berlokasi di Cibitung Bekasi dan kantor komersial di kawasan Manggarai, Jakarta Timur.

Aksi didasari karena perusahaan hingga 3 April 2024 tak kunjung membayar THR. Padahal, menurut aturan Kemnaker, THR paling lambat diberikan H-7 lebaran. “Karena kami terus orasi, sebelum jam 12 siang (5 April), baru ada keputusan THR dibayarkan,” ujar Meida.

Bagi pekerja, kata Meida, orasi menjadi cara terakhir untuk mendapat kejelasan soal upah. Sebab, setelah ada orasi, perusahaan baru mengeluarkan memo yang berisi ketidakcukupan dana untuk membayar gaji pekerja.  

Meida berpandangan pangkal masalah ini karena tata kelola perusahaan yang tidak beres sejak bertahun-tahun. Unjuk rasa ke Kementerian BUMN juga didasari adanya isu fraud dalam tata kelola di Indofarma. Isu fraud di Indofarma mulai muncul ke publik saat Laksono Trisnantoro mengundurkan diri sebagai Komisaris Utama Indofarma pada awal Januari. Laksono dalam pernyataan undur dirinya mengungkap laku fraud di Indofarma terjadi sejak 2021 berdasar audit BPK baru-baru ini.

Laksono juga bilang dugaan penyimpangan telah diendus sejak lama. Pihak dewan komisaris disebut sudah mengajukan audit dari pihak luar untuk menelusuri masalah keuangan perusahaan, tetapi permintaan audit itu tak kunjung diakomodir direksi, sebelum akhirnya ada audit lembaga negara. ba

Meida sempat mendengar informasi soal adanya bantuan utang dari Bio Farma ke Indofarma senilai miliaran rupiah. Namun, BUMN yang menjadi holding Indofarma ini disebut menyetop bantuan utang ketika melihat kinerja Indofarma yang tak mengahasilkan profit. Bantuan dari Bio Farma yang dimaksudnya adalah sebesar Rp157 miliar pada 29 Maret 2023.

“Belum ada capaian dari Indofarma sehingga kalau ingin dibantu lagi oleh holding, harus berdasar project finance,” katanya.

Tak tercapainya profit, dinilai Meida karena keliruan kebijakan bisnis yang diambil pimpinan perusahaan. Dia masih ingat betul saat Indofarma melakukan pengadaan maupun produksi besar-besaran semasa Covid-19. Mulai dari alat kesehatan seperti masker medis bermerk INAmask, obat-obat penunjang terapi semisal Oseltamivir hingga alat rapid test.

Akan tetapi, penjualan atas produk-produk tersebut tak berbanding dengan jumlah produksi. Ujung-ujungnya produk menjadi terbengkalai. “Kami melihat adanya penumpukan dari obat-obat covid dan alkes di gudang pabrik,” ujar Meida.

“Sehingga modal kerja jadi sia-sia. Kami sudah bilang ke direksi, bahwa ini ada tata kelola yang salah. Kami memprediksi kalau ini tidak dibenahi, Indofarma tidak bisa bertahan dan terbukti sekarang ini,” imbuhnya.  

Berdasar audit internal Indofarma, pengadaan masker INAmask menjadi salah satu obyek pemeriksaan. Keganjilan mulanya muncul dari laporan piutang Indofarma kepada PT Promosindo Medika (Promedik). Promedik adalah cucu usaha Indofarma. Adapun anak usaha Indofarma, PT Indofarma Global Medika, mendirikan Promedik pada 2007 dengan kepemilikan saham sebanyak 19 persen.

Per 13 Agustus 2021, piutang Indofarma di Promedik mencapai Rp118,7 miliar atau 32,7 persen dari total piutang perusahaan. Sumber terbesar piutang adalah penjualan 2 jutaan kotak masker bedah tiga lapis merk INAmask isi 50 lembar dengan total 100 juta lembar masker pada periode 18-28 Desember 2020. Indofarma melaporkan nilai penjualan masker kepada Promedik sebesar Rp99 miliar atau Rp45 ribu per kotak.

Indofarma memesan 2 juta masker itu dari tiga vendor dengan nilai pengadaan Rp65,2 miliar. Pesanan terbesar dipenuhi PT Elegant Indonesia sebanyak 1,3 juta kotak dengan harga Rp41,3 miliar atau Rp31.819 per kotak. Pemasok lain adalah PT Tjahaya Inti Gemilang sebanyak 500 ribu kotak dengan harga Rp17 miliar. Juga dipasok dari PT Industri Sandang Nusantara (ISN) sebanyak 200 ribu kotak senilai Rp6,9 miliar.

Auditor internal Indofarma mengendus sejumlah keganjilan dalam pengadaan dan transaksi penjualan ini. Pertama, Promedik berstatus perusahaan pemasaran, bukan distributor alat kesehatan. Tapi, ternyata, Promedik bertindak sebagai distributor masker INAmask. Promedik lantas bertanggung jawab atas pengiriman dan penjualan produk serta pembayarannya.

Namun, sebagian masker itu disimpan di gudang Indofarma Global Medika yang berlokasi di Pasar Kemis, Tangerang, Banten. Gudang tersebut dikelola oleh Indofarma. Auditor menyebut Indofarma pula yang mengirim dan menjual produk masker itu ke konsumen. Sehingga dengan kata lain ada pengkondisian oleh Indofarma yang seolah menjual masker ke Promedik demi kelihatan transaksi bisnis.

Selain terlilit utang dari pengadaan masker, Indofarma juga tercatat memiliki nilai liabilitas cukup tinggi terhadap dua perusahaan, yakni PT Trimitra Wisesa Abadi dan PT Solarindo Energi Internasional. Kedua perusahaan ini menjadi pemasok alat kesehatan bagi Indofarma semasa pagebluk. Per Maret 2023, Indofarma punya utang Rp22,7 miliar kepada Trimitra Wisesa dan Rp8,8 miliar kepada Solarindo Energi. Belakangan, dua perusahaan ini mengajukan PKPU terhadap terkait utang Indofarma.

Adapun merujuk laporan keuangan perusahaan pada kuartal pertama 2023, total utang usaha Indofarma kepada pihak ketiga mencapai Rp525 milar. Utang terbesar bersumber dari pengadaan oleh Myland Laboratories Limited sebesar Rp73,6 miliar.

Pada periode yang sama, rugi tahun berjalan Indofarma mencapai Rp61,7 miliar. Selama tiga tahun pandemi, Indofarma juga terus merugi. Rincinya, merugi Rp3,6 miliar pada 2020, Rp37,5 miliar (2021) dan Rp 428,4 miliar (2022). Di sisi lain, rasio lancar yang menunjukkan kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek atau yang jatuh tempo hanya 0,87 dalam satu tahun pada Desember 2022. Secara tidak langsung, realitas keuangan maupun aset Indofarma tak mampu membayar segala utang jangka pendeknya.

Dalam keterangan undur dirinya, eks Komut Indofarma, Laksono, juga menyatakan bahwa Indofarma masuk penanganan BUMN PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Saat dimintai keterangan, Kepala Divisi Manajemen Risiko PPA, Pongky Afriandita, mengonfirmasi BUMN farmasi itu sebagai ‘pasien’ PPA yang kini sedang diproses restrukturisasi.

Pengamat ekonomi dari Narasi Institute yang juga dosen di UPN ‘Veteran’ Jakarta, Achmad Nur Hidayat bilang masalah dalam keuangan Indofarma menjadi tanggung jawab dari komisaris dan direksi. Menurutnya, agak janggal jika perusahaan farmasi sekelas Indofarma boncos saat pandemi dan setelahnya. Sebab, di saat yang sama BUMN farmasi semisal Kalbe Farma justru meraup untung Rp2-3 triliun pada periode 2020-2022.

“Ini bukan masalah karena demand karena pandemi sudah selesai, (tapi) ini murni karena kesalahan manajemen,” katanya kepada law-justice, Kamis (18/4).

Ihwal manajemen Indofarma yang diduga tak beres, berulang kali memang ada perombakan jajaran direksi. Teranyar pada awal 2024, sejumlah direktur diberhentikan termasuk direktur utama yang semulanya dijabat Agus Heru Darjono, kini diemban oleh Yeliandriani.

Menurut Achmad, dugaan penyimpangan atau fraud bisa saja terjadi karena relasi Indofarma dengan pihak ketiga maupun vendor. Sehingga akibatnya laku penyimpangan membikin beban perusahaan terlampau besar dibandingkan pendapatan. “Sangat mungkin adanya moral hazard dari jajaran direksi dan komisaris. Bisa jadi karena adanya pembayaran vendor yang di-markup. Juga bisa karena utang dari vendor yang jangan-jangan bunga atau cost of fund-nya lebih besar. Ya bisa jadi ada kick back sehingga beban perusahaan jadi besar dalam mencicil utang,” kata Achmad.

Selain faktor internal, Achmad menduga ada peranan Bio Farma sebagai holding yang juga menuntun subholidng-nya ini ke ambang pailit. Menurutnya, Indofarma diberikan porsi tidak banyak dalam aktivitas bisnisnya semasa pandemi. Ceruk pasar diarahkan ke BUMN farmasi lainnya, semisal dalam pembuatan vaksin.

“Apakah ini terjadi kanibalisme di antara BUMN farmasi. Kanibalisme artinya bukan BUMN farmasi berkembang (secara keseluruhan), tapi Bio Farma yang diberikan hak monopoli soal vaksin dan obat-obatan terkait Covid, sehingga membunuh Indofarma,” kata dia.

Katanya, Bio Farma juga sebagai pihak yang mesti bertanggung jawab atas masalah bisnis Indofarma. Terlebih selepas pandemi, semestinya Bio Farma ada penugasan khusus kepada Indofarma demi menggenjot aktivistas bisnis. Namun, inisiatif dari Bio Farma disebut tak jelas dalam menyelematkan bisnis subholding-nya tersebut. “Dengan permintaan pasca-Covid yang menurun yang akibatkan pangsa pasar dibagi (ke BUMN farmasi). Tapi Indofarma tidak dibagi ceruk pasar sehingga dikorbankan,” katanya.

Bicara soal PKPU yang dihadapi Bio Farma, menurutnya, tinggal menunggu waktu saja BUMN ini menuju pailit. Dengan masuknya Indofarma dalam penanganan PPA, juga menjadi sinyal bahwa perusahaan tidak memiliki nilai aset yang bisa menutupi nilai utangnya. Dia menduga, skema penanganan melalui PPA ini bukan cara untuk menyelamatkan Indofarma.  

“Saya kira kalau dibiarkan begini saja oleh Kementerian BUMN, memang Indofarma sengaja dibubarkan. Melepas aset (melalaui skema di PPA) itu kan sama saja bubar,” ujarnya.

Namun, bagi Meida dan pekerja Indofarma yang lain, masalah keuangan tempat kerjanya menjadi momok yang mesti dicarikan solusinya. Sebab, di saat neraca keuangan perusahaan bermasalah, maka pekerja pun jadi ketar-ketir.

“Bagaimana rasanya tidak terima gaji, sedangkan kami butuh uang untuk kehidupan sehari-hari. Ada biaya sekolah anak-anak, ada listrik yang perlu dibayar. Sementara kami harus tetap bekerja, ada bensin yang perlu diisi,” katanya.

“Jangan sampai karyawan Indofarma tidak dibayarkan gajinya, dia membunuh keluarganya. Ini yang kami takutkan. Saya berdoa semua karyawan masih ingat Tuhan,” imbuh Meida.

Kata Achmad, instrumen likuiditas menjadi opsi terakhir untuk masalah keuangan Indofarma. Sebab, masih ada cara yang lebih bijak demi menyelematkan nasib pekerja. “Indofarma ini diakuisisi saja. Artinya tidak ada PHK, tapi karyawan bisa masuk dalam perusahaan BUMN farmasi lainnya” ujarnya.

Selain itu, katanya, “Saran saya di-mergerkan saja dengan Bio Farma sehingga Indofarma terselematkan dan pegawai tidak kehilangan pekerjaan,” ia menambahkan.

 

Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Ada Fraud (Audit BPK) Tragedi Indofarma Masuk Jurang Kepailitan". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu.