TGPF Novel Masuk Angin, Siapa Bermain?

Jakarta, law-justice.co - Seperti kita maklumi bersama, Novel Baswedan disiram dengan air keras oleh oknum tak dikenal setelah menunaikan salat subuh di Masjid Al-Ihsan. Lokasi masjid itu sekitar 4 rumah dari kediaman Novel di Jalan Deposito T Nomor 8, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakut.Saat itu juga, Novel langsung menelepon Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

"Tadi pagi saya habis salat subuh, yasinan, di tengah-tengah itu saya melihat ada telepon dari Novel. Baru saya jawab setelah yasinan. Novel menyampaikan dia diserang dengan air keras," ujar Tito kepada wartawan setelah menjenguk Novel di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (11/4/2017).Novel akhirnya harus mengalami gangguan penglihatan dan dirawat hingga Singapura.

Baca juga : Sesat,Bandingkan Depresiasi Rupiah dengan Uang Thailand, Korea & Turki

Masalah pengungkapan kasus ini ditarik ulur hingga 800 hari penyiramannya, 20 Juni 2019. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Kapolri khusus buntuk menangani kasus teror penyiraman air keras diwajah Bang Novel mulai bekerja.TGPF dibentuk pada 8 Januari 2019 oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berdasarkan Surat Keputusan nomor: Sgas/3/I/HUK.6.6/2019.TGPF beranggotakan 65 orang dari berbagai unsur di antaranya praktisi yang menjadi tim pakar, internal KPK, serta unsur kepolisian yang mendominasi anggota tim. Tenggat waktu kerja yaitu jatuh pada 7 Juli 2019 atau enam bulan sejak dibentuk.

TGFP memulai penyelidikan kasus ini berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan kepolisian sebelumnya, rekomendasi Komnas HAM, Ombudsman, masukan Kompolnas, serta sejumlah dokumen.Namun demikian, menurut Hendardi, pihaknya tidak menelan mentah-mentah hasil penyelidikan dan penyidikan kepolisian.

Baca juga : Tekanan pada Ekonomi Indonesia Semakin Kuat, Tugas Berat Presiden Baru

Setelah enam bulan bekerja, TGPF akhirnya menyampaikan hasil investigasinya.Hasil investigasi tersebut dimuat dalam laporan yang terdiri dari 170 halaman disertai dengan 1.500 halaman lampiran. Dalam laporan tersebut, memuat fakta-fakta baru dan rekomendasi kepada kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. Namun Tim Gabungan ini dinilai gagal mengungkap pelaku maupun dalangnya. Karena sepanjang pemaparan hasil laporan di Mabes Polri,  tim sama sekali tidak menyebut nama pelaku atau dalang penyerangan.

Gagalnya TGPF mengungkap siapa pelaku dan penyerang Novel Baswedan menimbulkan serangkaian tanda tanya, ada apa ?.  Siapa sebenarnya Novel Baswedan ? Mengapa ia dijadikan target serangan untuk “dilumpuhkan” ?, Siapa sebenarnya dalang dibalik orang yang menyerang dirinya ?

Baca juga : APBN Surplus, Pemerintah Tetap Tarik Utang

 

Siapa Novel Baswedan ?

Novel Baswedan lahir di Semarang pada 22 Juni 1977.Setelah menamatkan SMA di kota  kelahirannya ia mengikuti pendidikan pada Akpol (Akademi Kepolisian) dan lulus pada tahun 1998.Kemudian ia menapaki karir di kepolisian dan sesudah malang melintang di berbagai penugasan selanjutnya ia ditugaskan oleh kepolisian menjadi penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) sejak Januari 2007.

Setelah 7 tahun ditugaskan Polri sebagai penyidik di komisi anti rasuah itu pada tahun 2014 ,Novel pindah karir menjadi penyidik tetap KPK. Bila anda menebak-nebak bahwa Novel Baswedan memiliki hubungan darah dengan Anies Baswedan, maka anda tidak salah. Novel dan Anies adalah cucu dari salah satu pendiri Republik Indonesia, A. R. Baswedan.

Berbagai capaian cemerlang di KPK dipersembahkan cucu pejuang kemerdekaan AR Baswedan ini antara lain:Membawa pulang M. Nazarudin ,Bendahara Partai Demokrat dari pelariannya di Kolumbia,mengungkap kasus wisma atlit,membongkar permainan suap pada pemilihan deputi senior bank indonesia tahun 2004 yang melibatkan banyak anggota DPR RI karena menerima traveller cheque atau cek pelawat dan yang paling banyak menyita perhatian publik keberaniannya berhadapan dengan seniornya di kepolisian ketika ia menggeledah kantor Korlantas Polri  dalam dugaan kasus korupsi simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan kemudian memeriksa Kakorlantas Irjend Pol Djoko Susilo.

 

Kenapa Jadi Target Serangan ?

Bila kita melihat track record daripada Novel, sangat mungkin bila penyerangan pada dirinya terkait dengan sepak terjangnya di dalam KPK sejak tahun 2006 silam. Novel memiliki catatan panjang terkait dengan penyelidikan beberapa kasus korupsi high profile di Indonesia. Dan apabila kita melihat bagaimana anggota KPK kerap mendapat tekanan berupa penyerangan maupun kriminalisasi karena jabatan dan kapasitasnya dalam memberantas korupsi di Indonesia, sepertinya kita bisa 90% yakin bahwa hal yang samalah yang terjadi pada Novel.

Dijadikannya Novel Baswedan sebagai target serangan karena yang bersangkutan sangat getol mengusut kasus kasus besar yang melibatkan orang orang berpengaruh di negeri ini. Sebagai contoh pada tahun 2009 silam, Novel Baswedan termasuk di dalam tim yang menguak kasus suap perizinan kebun sawit oleh Bupati Buol. Novel yang saat itu memimpin operasi penangkapan kemudian ditabrak oleh mobil pendukung Amran sehingga motor yang dikendarai Novel ringsek.

Berselang 2 tahun kemudian, Novel kembali terlibat dalam sebuah kasus besar. Tidak tanggung-tanggung, Novel kali ini berhadapan dengan petinggi partai Demokrat yang sedang berkuasa pada saat itu. Novel terlibat dalam penyelidikan penyelewengan dana Wisma Atlet Hambalang yang melibatkan Muhammad Nazaruddin yang saat itu menjabat sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat.

Hakim tindak pidana Korupsi menyatakan bahwa Nazaruddin terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Dari Nazaruddin pula, kasus Korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang disisir Novel. Beberapa pihak yang tercokok kasus tersebut ialah Nazaruddin sendiri, Angelina Sondakh, Direktur utama PT DGI Dudung Purwadi, dan Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet Rizal Abdullah. Dalam kasus itu KPK menduga ada penggelembungan harga yang mengakibatkan kerugian negara Rp25 miliar. Dari Manajer Pemasaran PT DGI Idris, Nazaruddin diduga menerima Rp 23.119.278.000. Idris divonis dua tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Hal tersebut lantaran Rizal menerima uang ucapan terima kasih, karena PT DGI memenangi pengerjaan proyek wisma atlet SEA Games. Sedangkan Nazaruddin yang kala itu menjadi anggota DPR, membantu meloloskan kemenangan PT DGI. Terkait Angelina Sondakh, MA mengabulkan Peninjaun Kembali, sehingga vonis yang diboyongnya selama 12 tahun penjara, dipangkas menjadi kurungan 10 tahun penjara, ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sudah puas mengobok-obok Partai Demokrat, kali ini internal Bank Indonesia yang menarik perhatian dari Novel. Di tahun 2011, Novel terlibat dalam penanganan kasus penyuapan dalam pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia yang menyeret mantan Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom .Kasus ini juga menjerat istri mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Nunun divonis 2 tahun dan 6 bulan kurungan penjara. Dia terbukti melakukan suap kepada anggota DPR 1999-2004 sebesar Rp24 miliar dalam pemilihan Miranda sebagai Gubernur Senior Bank Indonesia. Nunun juga diharuskan membayar denda Rp150 juta yang dapat diganti kurungan tiga bulan. Sedangkan Miranda, divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 3 tahun dan denda senilai Rp100 juta. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan bersama-sama menyuap anggota DPR. Miranda memberikan cek pelawat kepada anggota DPR 1999-2004 melalui Nunun Nurbaeti.

Selain itu, mangsa Novel berikutnya adalah Ketua MK Akil Mochtar yang terlibat sengketa pilkada di berbagai daerah dari tahun 2011 hingga 2012. Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada. Beberapa di antaranya yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp3 miliar). Maka dari itu MA menolak permohonan kasasi Akil. Dia tetap divonis hukuman kurungan seumur hidup.

Novel yang pada saat itu masih menjabat sebagai anggota Polri juga dipercayai untuk menjabat sebagai ketua satuan tugas penyelidik dalam dugaan kasus korupsi simulator SIM. Dengan mental baja Novel mengusut kasus di dalam Korps Lalu Lintas Mabes Polri ini walaupun banyak tersebar cemoohan yang mengatakan bahwa dia telah mengkhianati organisasinya sendiri.

Ketika menangani kasus simulator SIM ini Novel pun sempat dijegal upaya kriminalisasi. Lawannya kala itu ialah ikan besar, yakni Irjen Djoko Susilo dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Soekotjo S Bambang. Kasus tersebut kian melipatgandakan perseteruan antara KPK dengan Polri saat Lemdikpol Komjen Budi Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut oleh KPK. Budi Gunawan saat itu nyaris menjadi Kapolri dan sudah lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR-RI. Dampaknya tahun lalu, Novel digelandang penyidik Bareskrim Polri pada Jumat (1/5/2015) dini hari dari kediamannya. Novel memang sejak tahun 1999 hingga 2005 bekerja di Polresta Bengkulu. Pada 2004 dia didapuk menjadi Kasat Reskrim Polresta Bengkulu.

Saat menangani kasus Simulator SIM, Novel dituding melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seseorang pelaku pencurian sarang burung walet, di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, 18 Februari 2004. Pelapornya ialah Yogi Hariyanto. Kasus tersebut sempat ditunda pada 2012 lalu atas permintaan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan soal laporan yang menimpa Novel, Ombudsman RI menyatakan bahwa: (1) Pelapor tidak memenuhi kualifikasi; (2) Adanya penundaan penanganan yang berlarut; (3) Rekayasa dan manipulasi Surat Keputusan Penghukuman Disiplin; (4) Rekayasa dan manipulasi Berita Acara proyektil/Anak Peluru; (5) Rekayasa dan manipulasi Berita Acara Laboratoris Kriminalistik tentang uji balistik terhadap senjata api; (6) Penggeledahan rumah, penggeledahan badan dan penyitaan yang tidak sesuai prosedur; (7) Ketidaksesuaian urutan tanggal dalam administrasi penyidikan; (8) Penggunaan alat bukti yang tidak relevan.

Kasus Novel terus berjalan. Melalui pengacaranya, dia sempat mengajukan gugatan praperadilan terkait tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 lalu. Akan tetapi hakim tunggal Zuhairi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (9/6/2015) menolak seluruh gugatan praperadilan tersebut. Akan tetapi, akhirnya Novel Baswedan bernapas lega setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 22 Februari 2016 memutuskan menghentikan penuntutan kasus dugaan penganiayaan yang menjerat Novel itu. Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu meneken surat keterangan penghentian penuntutan (SKP2) Nomor B-03/N.7.10/EP.1/02/2016.

Di sisi lain, kasus yang dia tangani juga tetap berjalan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Roki Panjaitan, menolak banding yang diajukan Irjen Djoko Susilo. Vonis Djoko dikembangkan dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara. Selain itu Djoko dikenakan denda Rp1 miliar dan membayar uang pengganti Rp32 miliar. Sedangkan Brigjen Didik Purnomo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta. Kemudian Sukotjo S Bambang dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan. Tapi Budi Gunawan lolos.

Setelah melalui serangkaian kehebohan yang dahsyat, termasuk peredaran foto-foto mesra yang dikampanyekan sebagai sosok Abraham Samad dan penangkapan Bambang Widjajanto selaku Komisioner KPK oleh Polri, kasus Budi Gunawan pun terhenti. Budi Gunawan memenangkan gugatan pra-peradilan. Budi kemudian bahkan menjadi Wakapolri.

Novel juga berhasil menguliti kasus suap proyek penyesuaian infrastruktur daerah. Atas kasus tersebut, Politikus PAN Wa Ode Nurhayati divonis 6 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia terbukti menerima suap Rp6,25 miliar dari pengusaha untuk mengusahakan agar Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah dan Kabupaten Minahasa sebagai daerah penerima alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011. Wa Ode juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua primair Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Wa Ode dinilai terbukti menempatkan, mentransfer, menitipkan, mengubah bentuk dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaanya, secara berulang kali selama kurun waktu tahun 2010-2012 hingga berjumlah Rp50,5 miliar. Sebelum Wa Ode, Politikus Partai Golkar Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq, dijatuhi hukuman 2 tahun dan 6 bulan kurungan penjara. Dia juga didenda Rp50 juta yang bisa diganti dengan mendekam dalam bui selama 2 bulan. Fahd terbukti secara bersama-sama menyuap Wa Ode. Kasus itu juga menyeret Mantan Bupati Buol Amran Batalipu.

Dia divonis hukuman penjara selama 7 tahun dan 6 bulan. Selain itu Amran juga diharuskan membayar denda Rp300 juta subsider 6 bulan penjara. Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap.

Novel memang kerap diserahi tugas menyidik kasus besar yang ujung-ujungnya membuat kiprah KPK semakin dikenal. Orang-orang besar tanpa pandang bulu diseret Novel dengan masa hukuman mulai 2 tahun hingga seumur hidup. Kasus terbesar yang pernah dipegang oleh KPK ini melibatkan banyak nama besar, termasuk juga para anggota Komisi II DPR RI, beberapa menteri, dan juga Setya Novanto yang merupakan ketua dari DPR RI.

Meski berhasil menangkan berbagai kasus besar, namun proses pengungkapannya tak mudah. Novel dihajar teror dan kriminalisasi yang berlarut-larut. Ancaman yang diterimanya merupakan bagian dari rapuhnya hukum di Indonesia.

 

Siapa Dalangnya ?

Menurut laporan Komnas HAM yang diperoleh dari salah satu anggota TGPF bahwa aktor dibalik penyiraman air keras diwajah Bang Novel adalah orang-orang intelektual. Di tengah teka teki yang menyelimuti publik tentang siapa pelaku penyiraman tiba tiba Novel dalam wawancaranya dengan Time sebuah majalah bergengsi di dunia internasional pernah mengemukakan pernyataan yang mengejutkan." Saya sebenarnya telah menerima informasi bahwa seorang jenderal kepolisian-level tinggi dari jajaran kepolisian -terlibat (dalam kasus penyiraman air keras).Awalnya saya bilang itu informasi yang bisa jadi salah .Namun kini ,beberapa bulan lamanya dan kasus saya tidak juga menemukan titik terang.Saya katakan ,perasaan saya bahwa informasi itu bisa saja benar". Pernyataan Novel kepada Majalah Time tanggal 10/6/2017 ini dikutip dari REPUBLIKA.CO.ID.

Kecurigaan Novel Baswedan semakin mendapatkan legitimasinya ketika hasil kerja TGPF ternyata juga tidak mampu mengungkap siapa pelaku dan dalang penyerangan terhadap dirinya.Menjadi menarik untuk mencermati kenapa pernyataan ini dikemukakan Novel ke majalah Time dan mengapa hal ini tidak diungkapkannya kepada pihak kepolisian. Sebagai aparat penegak hukum tentu Novel sadar keterangannya ke majalah Time tidak ada nilai hukumnya lalu apa alasannya mengemukakan kepada majalah yang berskala internasional tersebut.

Kemungkinan Novel mengemukakan ini agar peristiwa yang menimpa dirinya ini menjadi perhatian masyarakat Internasional sehingga kepolisian akan semakin serius menanganinya.Kalau misalnya kepolisian belum juga dapat mengungkap siapa pelakunya bisa saja publik domestik maupun internasional menjadi percaya terhadap tuduhan Novel.

Selanjutnya siapakah yang menyampaikan informasi tentang keterlibatan jenderal polisi tersebut. Dari pernyataan Novel diketahui bahwa informasi keterlibatan jenderal polisi ini sudah agak lama diperolehnya tapi ia belum memercayainya.Kepercayaannya terhadap informasi itu menguat oleh karena sudah beberapa bulan berlalu tetapi kasus penyiraman air keras itu belum juga menemukan titik terang.

Selain menimbulkan tanda tanya siapa yang menyampaikan informasi ke Novel muncul lagi pertanyaan berikutnya,siapa jenderal yang dimaksudkan cucu AR Baswedan tersebut.Patut diduga pemberi informasi ke Novel itu juga menyebut nama jenderal polisi dimaksud. Sebagai sosok yang sangat mengenal dunia kepolisian tentu Novel pasti menanyakan kepada si pemberi informasi tentang nama jenderal polisi yang disebutnya.Karena mengetahui namanya lah kepercayaannya kepada informasi yang diterimanya menjadi menguat.

Hingga kini memang Novel tidak pernah menyebutkan identitas sang Jenderal sehingga sampai saat ini sosok Jenderal ini masih misteri, meski ada satu Jenderal yang diperiksa TGPF yakni Komjen (Pol) Mochammad Iriawan, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas RI, ia bukanlah Jenderal yang dimaksud Novel dalam penyerangan. Karena, pertama, ia adalah Jenderal yang saat penyerangan berada di Polda Metro Jaya sebagai Kapolda.

Dan, kedua, dari pernyataan TGPF Hendardi, ia diperiksa karena pernyataan yang beredar pada sepekan sebelum penyiraman terjadi, bahwa ia sempat berbicara dengan Novel dan menawarkan penjagaan yang kemudian ditolak Novel, kala itu. Temuan menarik TGPF Sosok jenderal memang misterius. Kini yang terpenting apakah semua temuan tersebut nantinya akan bisa ditindaklanjuti secara hukum untuk dituntaskan?

Lalu setelah hasil temuan TPGF tidak berhasil menemukan pelaku dan dalang  penyiram air keras, apa langkah yang akan dilakukan pihak kepolisian selanjutnya untuk mengungkap kasus ini ?. Sulitnya pengungkapan pelaku dan dalang penyiraman air keras ke Novel sangat mungkin terjadi karena memang melibatkan pejabat berpengaruh sehingga tarik ulurnya terasa sangat keras. Sama kerasnya dengan pengusutan kasus buku merah yang sampai sekarang masih belum kelar kelar juga.