Industri Tekstil Dihantam Gelombang PHK Jelang Lebaran, Ini Sebabnya

Jakarta, law-justice.co - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional dilaporkan masih berlanjut.

Bahkan, gelombang PHK dikabarkan terus meningkat jelang momen pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) Idul Fitri 2024.

Baca juga : Imbas Penjualan Anjlok, Nike PHK Sebanyak Ratusan Karyawan

Kasus maraknya PHK itu kemudian ditengarai sebagai cara yang dilakukan perusahaan untuk menghindari pembayaran THR.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Serikat Pekerja. Namun, mereka menilai tren PHK untuk tidak membayar THR pada tahun ini tak lagi signifikan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Baca juga : Beras Melonjak Jadi Rp18 Ribu-Telur Rp32 Ribu Bikin Buruh Menjerit

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, tren PHK jelang Lebaran banyak terjadi pada kisaran tahun 2018-2019.

PHK tersebut dikemas sedemikian rupa karena manajemen memang mengatur agar masa kontrak pekerja habis mendekat masa bayar THR atau seminggu sebelum Lebaran.

Baca juga : Penjelasan FIFA soal Kontroversi Kartu Biru di Dunia Sepak Bola

"Tapi kemudian, setelah kami lakukan negosiasi dan ngobrol dengan perusahaan, mereka mengaku kesulitan cash flow. Sehingga, tidak ada cara lain, pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan. Cost disiasati seperti itu," katanya dalam Profit CNBC Indonesia, Rabu 27 Maret 2024.

"Tapi memang cash flow perusahaan yang bersangkutan sedang berdarah-darah. Mereka mengaku melakukan apa saja daripada PHK. Jadi kalau saat ini ada PHK itu karena situasi perusahaan sulit. Modus itu (PHK menghindari THR) hampir nggak ada," tambahnya mengutip CNBC Indonesia.

Hanya saja, lanjut Ristadi, ada saja perusahaan yang memang nakal, sehingga mencari-cari cara agar bisa PHK dan terhindari dari kewajiban membayar THR.

Karena itulah, imbuh dia, penting agar pemerintah terus melakukan penataan. Apalagi, ujarnya, pengawas ketenagakerjaan pemerintah terbatas.

Belum lagi, katanya, tak semua perusahaan memiliki serikat pekerja, sehingga menyulitkan untuk melakukan advokasi.

"Jumlah pekerja nasional itu keseluruhan ada sekitar 139 juta orang, yang permanen sekitar 57 juta orang. Tapi, pegawai pengawas itu kurang lebih hanya 1.700-an. Dan, pekerja atau buruh yang masuk serikat pekerja itu hanya kurang lebih 4-5%, tak sampai 5 juta orang," paparnya.

"Artinya, ada gap yang lebar antara perusahaan dan pengawasan. Sehingga menyulitkan untuk kontrol dan pengawasan," sebutnya.

 

Gelombang PHK

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menegaskan hal senada.

"Sama dengan yang disampaikan Pak Ristadi. Ada fenomena yang bergeser, nggak semua perusahaan nakal. Sekarang sudah beda.PHK bukan lagi karena momentum Lebaran, tapi memang karena sejak kuartal III tahun 2022 itu cash flow industri tekstil terus tergerus," kata Redma.

"Hal itu terjadi pasca-Covid dan serbuan produk impor yang masuk pasar domestik. Di sisi lain, karena tensi geopolitik, ekspor terganggu," katanya.

Akibatnya, ujar Redma, perusahaan TPT nasional semakin kesulitan.

"Mau nggak mau jadi harus mengurangi produksi hingga akhirnya PHK. Jadi bukan karena momen THR Lebaran. 2 tahun ini memang sudah terjadi, sampai kuartal I tahun 2024 ini, PHK juga masih terus terjadi," ungkap Redma.