Ketika Cawe-cawe Jokowi Justru Merendahkan Jabatan Presiden (3)

Jakarta, law-justice.co - Jokowi Harus Contoh Megawati dan SBY, Soal Capres Urusan Parpol Bukan Presiden

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bisa mencontoh Presiden kelima dan keenam RI, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa soal capres-cawapres cukup menjadi urusan partai politik, bukan urusan presiden.

Baca juga : Hajar Inggris 5-0, Tim Thomas Indonesia Berada di Puncak Klasemen

Menurut dia, Jokowi salah memahami praktik politik kenegaraan saat ini karena menyatakan ikut cawe-cawe dalam Pemilu 2024.

"Padahal sudah dicontohkan Megawati dan SBY sebelumnya, bahwa urusan capres-cawapres dalam konteks pemilu itu adalah urusan partai politik. Jadi cukup partai politik saja yang sibuk urusan capres-cawapres, bukan presiden," ujar Ubedilah seperti melansir rmol.id.

Baca juga : Diberi Karpet Merah, Prabowo-Gibran Hadiri Acara Halal Bihalal PBNU

Karena, kata Ubedilah, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 6A, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

"Ini maknanya urusan capres-cawapres itu urusan partai politik, bukan urusan presiden," tegas Ubedilah.

Baca juga : Terkait Narkoba, Aktor Rio Reifan Kembali Ditangkap Polisi

Apalagi, lanjut Ubedilah, Jokowi di PDI Perjuangan hanya sekadar petugas partai, bukan ketua umum partai politik. Sehingga sangat tidak tepat jika ikut cawe-cawe dalam kontestasi pemilu.

"Ketua umum partai saja, jika menjabat sebagai presiden, sebelum pemilu ia harus tetap netral. Kesalahan Jokowi dalam konteks ini sibuk membuat koalisi (besar) dan sibuk urus Musra (Musyawarah Rakyat) untuk mencari calon presiden," pungkas Ubedilah.

Tak Mau Netral, Jokowi Akui Cawe-Cawe untuk Pemilu 2024

Banyak yang berpendapat, sebagai negarawan, sebaiknya presiden tidak ikut campur dalam masalah pemilihan presiden (pilpres). Namun, Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan hal sebaliknya.

Ketika bertemu dengan sekitar 25 pemimpin redaksi dan tokoh media sosial di Istana Negara, Senin (29/5), Jokowi menyatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak akan netral.

“Saya pilih cawe-cawe,” tandasnya.

“Wong yang bilangnya enggak cawe-cawe itu nyatanya juga cawe-cawe. Kalau saya sih apa adanya,” lanjut Jokowi.

Pernyataan ini disampaikan beberapa kali, sembari menekankan bahwa cawe-cawe dalam masalah kepemimpinan nasional ini dalam arti positif dan tidak menggunakan kekuasaan semata.

“Tegas saya nyatakan ikut cawe-cawe untuk negara ini. Saya cawe-cawe untuk kepentingan nasional,” ujarnya.

Kepentingan nasional yang Jokowi maksud adalah perjalanan negara Indonesia ke depan menuju Indonesia Emas di tahun 2045.

Menurut Jokowi, saat ini Indonesia masih tergolong sebagai negara berpendapatan menengah atau middle income country.

Untuk mencapai peringkat sebagai negara maju, Indonesia hanya punya kesempatan selama 13 tahun sampai 2038.

“Artinya, presiden yang terpilih tahun 2024, tahun 2029, dan tahun 2034 itu sangat menentukan tercapainya tujuan menjadi negara maju. Tapi siapa presidennya? Saya tidak bisa menjawab, karena itu urusan partai-partai,” ujar Jokowi yang sore itu menjamu tamunya dengan hidangan bakso, martabak, sate padang, pempek, dan siomay beserta es teler dan jus buah.

Menurut Jokowi, Indonesia berpeluang besar menjadi negara maju, karena adanya bonus demografi, kondisi geopolitik yang menguntungkan posisi Indonesia, dan disrupsi teknologi yang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk melompat perekonomiannya. Terutama dengan EV (electric vehicle) atau kendaraan listrik dan berjalannya hilirisasi di semua komoditas.

“Pada tahun 2027, semua hilirisasi itu rampung. Ekonomi kita bisa melompat bila presiden terpilih nanti bisa langsung bekerja untuk melakukan akselerasi, percepatan, tanpa masa penyesuaian yang butuh waktu lama sehingga kesempatan itu hilang,” kata Jokowi.