Rekening Gendut PNS, Pentingkah RUU Perampasan Aset? (3)

Jakarta, law-justice.co - Yenti menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.

RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Baca juga : Diduga Peras Pengusaha, Pejabat Bea Cukai Dilaporkan ke KPK

Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”.

Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti.

Baca juga : Eks Bupati Kuansing Dipenjara Terkait Korupsi Bangun Hotel Rp 22 M

“Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Baca juga : Kasus Korupsi Hotel, Kejaksaan Kuansing Tahan Eks Bupati

Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban.

Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.


Yenti mengatakan kondisi penuntasan kasus korupsi saat ini “tidak menjerakan” para koruptor, bahkan setelah mereka dihukum penjara.

Apalagi kondisi Lapas Sukamiskin yang secara psikologis membuat seseorang “semakin tidak takut memulai kejahatan korupsi atau mengulang korupsinya”.

“Dan semakin tidak takut lagi karena toh pasang badan, harta kekayaannya tidak ditelusuri. Kalau ada perampasan aset, no way, tidak ada lagi yang masih bisa dipertahankan,” kata Yenti.

“Jadi sebetulnya, [hukuman] pidananya tidak terlalu berat juga tidak apa-apa, yang paling penting itu rampas semuanya, ditambah denda, termasuk dirampas dari bunga-bunga yang ada,” dia menambahkan.

Senada, Lalola Easter juga mengatakan bahwa “koruptor itu memang takutnya dimiskinkan”.

Itu terbukti dalam kasus korupsi jenderal polisi Djoko Susilo, yang melakukan peninjauan kembali terhadap perampasan aset setelah dia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi simulator SIM.

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Djoko Susilo terhadap perampasan asetnya, tapi dia tetap mendapatkan hukuman pidana 18 tahun penjara. Hasilnya, kekayaan yang didaparkan Djoko Susilo sebelum kasus korupsi dikembalikan.

“Karena mereka akan upayakan berbagai hal untuk mempertahankan kekayaan mereka. Jadi, kalau memang mau mencari apa kira-kira jenis hukuman yang paling menjerakan, saya menduga kuat itu pemiskinan, bukan pidana badan. Harus berubah perspektif penegak hukumnya juga,” ujar Lalola Easter.

Sumber: BBC Indonesia