Leonika Sari Njoto Boedioetomo

Srikandi Sejuta Kantong Darah untuk Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Nama Leonika Sari mungkin masih asing di telinga kita. Sosoknya yang hampir tak pernah muncul di layar kaca, membuat publik makin asing dengan dirinya.

Namun siapa sangka, Leonika Sari adalah salah satu pendiri startup yang bergerak di ranah kemanusiaan, yang membantu jutaan orang mendapatkan informasi mengenai donor darah.

Baca juga : Wagub DKI : Pendonor Darah Turun Drastis Selama Pandemi Covid-19

Aplikasi itu ia beri nama Reblood. Melalui aplikasi ini, masyarakat bisa dengan udah menemukan informasi mengenai donor darah dan bagaimana mereka mendapatkan darah. Dengan begitu, angka kematian karena gagal transfusi darah bisa dikurangi.

"Di masa depan, kita ga ingin melihat lagi ada orang yang meninggal karena terlambatnya transfusi darah," ujar Leonika mantap.

Baca juga : Krisis Darah Di PMI, Rekan Indonesia Serang Gelar Donor Darah

Ide membangun startup di bidang donor darah ini berawal ketika ia masih berkuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya, pada 2013 silam.

Kala itu salah satu teman kuliahnya mengalami kecelakaan dan membutuhkan donor darah. Ia dan kawan-kawannya mencoba mencari persediaan darah di sejumlah lokasi, namun selalu kekurangan.

Peristiwa itu begitu membekas pada ingatan Leonika. Ia kemudian mencari tahu mengapa sulit sekali mencari darah untuk didonorkan ketika dibutuhkan.

Hingga akhirnya Leonika mendapatkan informasi, bahwa dalam setahun Palang Merah Indonesia bisa mengalami kekurangan hingga 1 juta kantong darah.

Angka tersebut menjadi lebih tinggi, jika kita melihat pada cakupan wilayah yang lebih luas lagi.

"Ternyata kekurangan darah ini tidak hanya dialami di Surabaya, namun dialami oleh berbagai daerah," ujar perempuan yang akrab disapa Leo ini.

Berhadapan dengan kenyataan tersebut semakin membuat Leo penasaran. Ia mulai mencari tahu latar belakang dari kekurangan tersebut.

Dan ia melihat kurangnya aksesibilitas bagi para calon pendonor darah dan juga penetrasi informasi mengenai cara dan syarat untuk mendonorkan darah.

Realita itulah memunculkan pemikiran dalam dirinya untuk membangun sebuah aplikasi yang memudahkan orang mendapatkan informasi mengenai donor darah.

Hal tersebut pernah ia lakukan bersama sejumlah seniornya di ITS. Leo bercerita, ia bersama lima orang seniornya membangun sistem informasi bank darah dan terlibat penuh dalam pengembangan awalnya.

"Dari minat awal tersebut, saya berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan kekurangan donor darah ini dengan solusi yang berkelanjutan," papar Leonika.

Inilah cikal bakal aplikasi startup Reblood. Semangat Leonika begitu menggebu-gebu ingin mengembangkan sistem informasi bank darah tersebut.

Dan akhirnya pada 2015, aplikasi Reblood resmi dirilis, Ia berharap, dengan adanya aplikasi ini, masyarakat bisa terbantu jika ingin mendonorkan darahnya, termasuk juga masyarakat yang membutuhkan transfusi darah.

"Reblood membangun aplikasi untuk membantu masyarakat donor darah secara proaktif, sehingga donor darah bisa jadi gaya hidup sehat," sambung Leonika.

Berkenalan dengan dunia IT

Leonika Sari memiliki nama lengkap Leonika Sari Njoto Boediortomo. ia lahir pada 18 Agustus 1993.

Sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi dokter. Karena itulah Biologi adalah mata pelajaran favoritnya ketika mengenyam pendidikan di bangku SMA dan ia selalu mendapatkan nilai terbaik disana.

Namun ketika hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, ia tidak mengambil jurusan kedokteran dengan sejumlah pertimbangan.

Leo lantas memilih jurusan lainnya yakni Sistem Informasi, di Instutut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Ia mengaku, Sistem Informasi adalah salah satu jurusan yang juga menarik perhatiannya. Namun tetap saja ia belum terbiasa dengan dunia Sistem Informasi.

Pada semester satu, Leonika bertemu dengan mata kuliah Algoritma dan Pemrograman I. Ini adalah mata kuliah dasar untuk masuk ke dunia coding.

Meski tertarik dengan mata kuliah itu, alih-alih mendapatkan nilai bagus, ia malah malah diganjar dengan nilai C.

"Saya pikir coding akan seperti matematika, sehingga saya agak menganggap enteng saat menjalani mata kuliah itu. Ternyata logika dalam coding tidak sama seperti logika dalam matematika, alhasil saya tidak dapat menguasai dalam semester awal dan mendapat nilai C," kenang Leo.

Leo mengaku terpukul dengan nilai C itu, namun ia tidak menyerah. Ia terus tekuni mata kuliah itu, belajar siang dan malam, hingga akhirnya, pada semester berikutnya, ia berhasil mendapatkan nilai A pada mata kuliah Algoritma dan Pemrograman II.

Ia lantas makin menikmati dunia coding. Berbekal nilai A yang ia dapat pada semester 2 dan berbekal pengalaman coding android, Leo mendaftarkan diri sebagai asisten praktikum untuk mata kulia Integrasi Aplikasi Korporasi.

Tak disangka ia diterima, meski sebenarnya mata kuliah tersebut untuk mahasiswa semester 5 dan semester 7.

Meski ia lebih muda, Leonika lebih mahir dibanding mahasiswa lainnya di kelas itu. Alhasil, sejumlah senior malah menimba ilmu darinya.

"Walaupun saya masih semester 3, namun dosen menerima saya sebagai asisten praktikum karena pengalaman coding Android yang saat itu belum banyak mahasiswa yang mempraktikkan," ungkap Leonika.

Minatnya pada bidang teknologi dan pemrograman kemudian berlanjut pada 2014, ketika Leo terpilih untuk mengikuti Global Entrepreneurship Bootcamp yang diselenggarakan oleh Massachusetts Institute of Technology.

Ia termasuk dalam 47 orang yang terpilih setelah mengalahkan lebih dari 50 ribu calon peserta lain dari seluruh dunia.

Di sana, ia memperoleh sejumlah pengetahuan mengenai bisnis startup seperti segmentasi pasar dan bagaimana mendesain sebuah produk yang dapat diwujudkan secara nyata.

Pengalaman ini pula yang membuatnya mantap membangun dan mengembangkan startup Reblood. Ini merupakan titik balik Leonika, dimana setelahnya ia ingin fokus merintis Reblood dan tak ingin bekerja di perusahaan manapun.

"Karena bikin startup itu ga pernah gampang, tapi bukan berarti mustahil. Butuh yang namanya persistence dan pengalaman gagal. Aku jadi tahu bahwa kegagalan-kegagalan sebelumnya itu terjadi karena plan yang kurang tepat," ujarnya mantap.

Usai mengikuti program tersebut, Leo pulang ke Indonesia dengan membawa ide untuk membuat aplikasi yang bisa mengatasi kekurangan darah di Indonesia setiap tahunnya.

Setelah mempelajari masalahnya, ia menemukan bahwa masalah utamanya bukan terletak pada rantai pasokan, tetapi pada ketersediaan donor.

"Banyak pendonor yang masih enggan datang ke PMI karena sehari-hari disibukkan dengan pekerjaan," ujarnya.

Masalah lainnya adalah tidak sedikit pendonor yang sudah datang namun ditolak untuk mendonorkan darahnya karena alasan medis.

Menurut dia, ini disebabkan ketika ada waktu dan hendak mencoba mendonor lagi, tak sedikit orang yang tidak tahu kapan dan dimana bisa mendonorkan darahnya.

Masalah inilah yang coba dipecahkan oleh Leonika. Ia lantas mengajak sejumlah rekannya untuk mengembangkan aplikasi Reblood.

Melalui aplikasi ini, Leonika dan timnya menyasar masyarakat gen Z atau yang berada dalam rentang usia 17-35 tahun.

Menurut dia, orang-orang yang berada dalam rentang usia tersebut merupakan kalangan yang produktif, namun belum begitu familiar dengan kegiatan donor darah.

"Mayoritas pendonor aktif saat ini berusia 40 tahun ke atas, sehingga perlu regenerasi dari kalangan anak muda," urainya.

Karena itu dia gencar berkampanye mengenai manfaat donor darah pada kalangan milenial tau gen Z. Dengan harapan mereka akan menjadikan kegiatan donor darah sebagai bagian dari gaya hidup yang sehat.

Dan di samping itu, ia juga menanampam pemahaman bahwa donor darah adalah kegiatan sehat dan juga tentunya bermanfaat bagi orang lain.

Sesuai mimpinya, Leonika berharap, suatu hari nanti tidak ada lagi orang yang harus menderita, atau bahkan sampai kehilangan nyawa, karena sulit mendapat pendonor darah.

Jalan terjal membangun Reblood

Leonika Sari merintis aplikasi Reblood bersama 5 orang rekannya, di Institute Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pada 2014.

Saat itu ia dan timnya mengikuti program inkubasi startup Start di Surabaya. Program ini didukung oleh Pemerintah Kota Surabaya saat itu.

Karena itulah Leonika dan timnya sempat dimentori oleh Wali Kota Surabaya kala itu, Tri Rismaharini

"Bu Risma membantu Reblood untuk bisa berkolaborasi dengan PMI Kota Surabaya," kenang Leo.

Gemblengan Risma ternyata lekat pada tim Reblood, utamanya pada Leonika. Satu hal yang ia ingat perkataan Risma saat itu adalah untuk terus bekerja keras dalam merintis startup. Tidak boleh menyerah, bahkan tetap harus bekerja keras meski hari libur.

Namun suntikan semangat itu tak membuat timnya makin solid. Sejumlah rintangan dan hambatan ditemui Leo dan timnya, ketika baru saja melangkah.

Leonika bercerita, tim awal yang merintis Reblood hampir bubar akibat lima dari enam orang anggotanya mengundurkan diri.

Alhasil ia harus mencari penggantinya, dan hanya mendapatkan satu orang, yakni pemuda bernama Faisal Setia Putra. Hingga kini, masih aktif dalam tim Reblood.

Tantangan lain yang ia temui adalah tidak adanya revenue atau hasil dalam bentuk materi yang ia dapatkan bersama timnya dalam dua tahun pertama.

Ini disebabkan, dalam kurun waktu 2015 - 2017, jumlah pengguna aplikasi Reblood masih sedikit, sehingga trafficnya masih rendah.

"Sehingga anggota tim tidak ada yang gajian selama 2 tahun. Akhir tahun 2017, kita baru mulai mendapatkan revenue ketika traffic aplikasi mulai naik dan user lebih dari 10 ribu orang," kenang Leo.

Hambatan lain yang ia temui, datang dari keluarganya sendiri. Ia bercerita, keluarganya sempat menentang pilihan Leo untuk mengembangkan aplikasi Reblood.

Ini disebabkan, memilih jalan mengembangkan startup di bidang donor darah mungkin bukan pilihan populer.

Terlebih, ketika awal merintis startup ini, banyak pihak yang tidak percaya dan yakin dengan ide start up donor darah ini.

"Saya hampir diusir dari rumah jika tetap memilih untuk membangun Reblood," ujar Leo.

Namun lambat laun, keluarga dan orang-orang di sekitarnya, berbaik mendukungnya hingga kini.

Meraih sejumlah penghargaan

Kegigihan Leonika Sari dalam mengembangkan aplikasi Reblood, dilandasi sebuah cita-cita mulia. Yakni berusaha menyelamatkan nyawa banyak orang, melalui aplikasi yang memuat informasi seputar donor darah ini.

Meski berawal dari nilai pas-pasan, kini Leonika Sari telah menjelma menjadi seorang Sociopreneur yang bermanfaat bagi banyak orang.

Keberhasilan itulah yang membuat ia dilirik oleh Majalah Forbes Asia, untuk dinominasikan menjadi salah satu Forbes 30 Under 30 Asia, atau 30 besar inovator di bawah usia 30 yang menginspirasi di Asia.

Ia mengaku senang dengan nominasi tersebut. Namun terbesit sedikit keraguan dalam dirinya, kalau ia bisa lolos dan meraih penghargaan tersebut.

"Saya pikir tidak akan lolos karena jumlah pengguna Reblood yang masih sangat minim, sekitar 300 user saat itu," kata Leonika.

Namun tiba-tiba keberuntungan berpihak pada dirinya. Pada Februari 2016, Majalah Forbes Asia merilis nama-nama yang masuk dalam 30 Under 30 Asia.

Dan tak disangka, nama Leonika Sari Njoto Boediortomo ada bertengger di dalam daftar tersebut. Leo bangga dan senang bukan kepalang.

Setelah Forbes Asia, sejumlah penghargaan lainnya turut diraih oleh Leonika Sari dan tim Reblood.

Diantaranya adalah Top 3 Google Business Group Stories Search 2016 dan Top 5 Google Play Award 2019 for Social Impact.

Sejumlah penghargaan tersebut seakan jadi bukti keberhasilan jerih payah Leonika Sari dan tim Reblood dalam mewujudkan mimpinya.

"Penghargaan-penghargaan tersebut bikin bangga, tapi tim Reblood lebih bangga," kata Leonika.

Ia sadar betul, masih panjang perjalanan yang harus ia lewati bersama timnya, untuk mewujudkan Indonesia yang tak berkekurangan darah untuk kehidupan sesama.

Leonika bertekad ingin terus membesarkan Reblood hingga cita-citanya terwujud, yakni menuntaskan permasalahan kekurangan darah di Indonesia, hingga tidak ada lagi keluarga pasien yang mengalami kesulitan dalam mencari pendonor darah.

"Saat ini ada lebih dari 62 ribu pengguna Reblood, dan hampir 50 persennya aktif mendonorkan darah bahkan saat pandemi Covid 19," pungkasnya.