Berani Sebut Jokowi Bodoh, Inilah Sosok David Engel: Orang Berpengaruh

Jakarta, law-justice.co - Lantaran berani menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) bodoh, sosok Dr David Engel menjadi sorotan.

David Engel menyebut sang presiden bodoh lantaran ikut mengomentari konflik antara Rusia dan Ukraina.

Baca juga : DPR RI Tolak Normalisasi Indonesia-Israel

Padahal bukan hanya Jokowi yang menyampaikan responnya soal konflik dua negara tetangga tersebut.

Beberapa negara lain yang turut memberikan responnya terhadap perang yang terjadi di antara dua negara.

Baca juga : Berkas Lidik Korupsi SYL Bocor, KPK Bakal Lacak Pelakunya

Sosok David Engel ternyata bukan orang sembarang.

David Engel sering keluar negeri untuk belajar soal pertahanan dan strategi.

Baca juga : Kasus Firli Mandek, Kejaksaan Sebut Polda Belum Lengkapi Berkas

Lantas siapakah sebenarnya David Engel? beraninya sebut Jokowi bodoh.

Seperti melansir tribunnuews.com, Dr David Engel adalah analis senior di Indonesia dalam Program Pertahanan dan Strategi ASPI (Australian Strategic Policy Institute).

Sebelum bergabung dengan ASPI, David menghabiskan 30 tahun di Australian Public Service, terutama di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan.

Selain menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah dan Karibia yang berbahasa Spanyol, David juga dua kali bertugas di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, terakhir sebagai Menteri-Wakil Kepala Misi.

David juga pernah menjabat sebagai Penasihat di Kedutaan Australia di Washington dan sebagai Sekretaris Kedua di kedutaan di Phnom Penh.

Saat di Canberra, ia menjabat sebagai Asisten Direktur Jenderal, Asia Tenggara, di bekas Kantor Penilaian Nasional, serta Asisten Sekretaris Perencanaan Kebijakan, Asisten Sekretaris Global Issues, dan Direktur desk DFAT Indonesia.

Diketahui David Engel menyebut Jokowi bodoh karena komentarnya soal konflik Rusia vs Ukraina.

Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukaraina, memantik perhatian dunia.

Banyak negara yang memberikan responnya terhadap perang yang terjadi di antara dua negara.

Dari sekian banyak negara, salah satunya Indonesia, yang menunjukkan respon terhadap invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.

Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sudah menyatakan sikap Indonesia terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Namun sikap dan strategi Indonesia tentang konflik Rusia dan Ukraina ini dilihat Australia dengan cara yang berbeda.

Ada beberapa poin dalam pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia yang dikomentari Australia.

Dua yang pertama dari lima poinnya dengan tepat menegaskan beberapa konsep dasar yang dapat dengan mudah disetujui oleh Australia dan negara-negara lain yang berpikiran sama.

Dua poin itu mengacu pada prinsip-prinsip piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Termasuk menghormati integritas dan kedaulatan teritorial, yang menurut Indonesia `harus terus dijunjung tinggi`.

Pernyataan itu menggambarkan serangan militer di Ukraina sebagai `tidak dapat diterima`.

Mengingat hampir 200.000 tentara menyerang penuh dengan tank, pesawat perang, dan senjata militer lainnya.

Tentu poin ini tak terbantahkan bahwa nyawa orang-orang di sana berada dalam bahaya besar.

Dengan begitu, poin itu menegaskan bahwa serangan itu mengancam perdamaian dan stabilitas regional serta global.

Tapi masalahnya ada pada poin tiga dan empat dari pernyataan itu.

Dalam pernyataan itu, Indonesia menyerukan agar ‘situasi ini’ diakhiri dan ‘selanjutnya menyerukan kepada semua pihak untuk menghentikan permusuhan dan mengedepankan resolusi damai melalui diplomasi’.

Ini `mendesak` Dewan Keamanan PBB untuk `mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah situasi semakin memburuk`.

Rupanya ungkapan yang satu ini membuat orang-orang Australia percaya bahwa Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan jutaan orang Indonesia tidak begitu terkejut dengan apa yang terjadi di Ukraina.

Berbeda jauh dengan terkejutnya orang-orang Australia.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menulis di akun resmi Twitternya, "‘Hentikan perang. Perang membawa penderitaan bagi umat manusia dan membahayakan dunia". Tidak diragukan lagi bahwa dia mencerminkan kengeriannya.

Dan Retno Marsudi setidaknya berusaha membujuk mitra Rusia-nya untuk menyelesaikan perselisihan Rusia dengan Ukraina melalui diplomasi. Tetapi Australia menganggap pernyataan itu memiliki tujuannya.

Apalagi terkait krisis Ukraina, Indonesia disebutkan tidak menyebutkan kata `Rusia` di dalamnya. Oleh karenanya, pakar Pertahanan Australia sekaligus kepala program ASPI Indonesia, David Engel menyatakan pernyataan itu bodoh dan sangat berisiko. Lebih tepatnya, itu tidak jujur.

Dikutip dari Intisari, David Engel menyebut pemerintahan Jokowi pasti tahu bahwa kedua belah pihak tidak dapat disalahkan atas perang yang dimulai oleh Rusia dan yang berusaha dihindari oleh Ukraina. Jika bersikeras bahwa Ukraina bisa menghentikan permusuhan ketika hanya membela diri dari agresi seorang tiran, maka David Engel menyebut itu hal yang disengaja.

Resolusi PBB

Sebagaimana diketahui, sidang Majelis Umum PBB pun mengadopsi resolusi pada Rabu (2/3/2022) menuntut agar Rusia segera mengakhiri operasi militernya di Ukraina. Majelis adalah tempat semua 193 Negara Anggota PBB bersuara.

Pada Kamis (3/3/2022), sebanyak 141 negara memberikan suara mendukung resolusi tersebut, yang menegaskan kembali kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah Ukraina.

Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid membacakan hasil pemungutan suara di hadapan para duta besar.

Resolusi PBB tersebut menuntut agar Rusia "segera, sepenuhnya dan tanpa syarat menarik semua pasukan militernya dari wilayah Ukraina di dalam perbatasannya yang diakui secara internasional."

Pemungutan suara mengakhiri sesi darurat khusus yang jarang terjadi di Majelis Umum PBB yang dimulai sejak Senin (28/2/2022), di mana perwakilan negara anggota naik ke podium untuk menyatakan posisi mereka dalam krisis Ukraina yang kini memasuki minggu kedua.

Presiden Majelis Abdulla Shahid mengatakan resolusi tersebut mencerminkan keprihatinan besar masyarakat internasional tentang situasi di Ukraina.

"Saya bergabung dengan negara-negara anggota dalam mengungkapkan keprihatinan tentang `laporan serangan terhadap fasilitas sipil seperti tempat tinggal, sekolah dan rumah sakit, dan korban sipil, termasuk wanita, orang tua, penyandang cacat, dan anak-anak`," katanya Shahid.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB António Guterres menyatakan bahwa dia berkewajiban untuk mendukung resolusi tersebut dan dipandu oleh seruannya.

"Pesan Majelis Umum sangat keras dan jelas: Akhiri permusuhan di Ukraina sekarang. Diamkan senjatanya sekarang. Buka pintu dialog dan diplomasi sekarang."

Sekjen PBB menekankan perlunya bertindak cepat karena situasi di Ukraina mengancam untuk menjadi jauh lebih buruk, menambahkan "jam yang terus berdetak adalah bom waktu."

Seruan kemanusiaan yang diluncurkan pada hari Selasa telah disambut dengan "catatan kemurahan hati", katanya, yang akan memungkinkan peningkatan pengiriman bantuan vital, termasuk pasokan medis dan kesehatan, serta makanan, air, dan perlindungan.

"Ke depan, saya akan terus melakukan segala daya saya untuk berkontribusi pada penghentian segera permusuhan dan negosiasi mendesak untuk perdamaian," kata Guterres. "Orang-orang di Ukraina sangat membutuhkan perdamaian. Dan orang-orang di seluruh dunia menuntutnya."

Sikap Indonesia

Di sisi lain, Anggota Komisi I DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, tak sepakat bila Indonesia disebut memihak kepada Ukraina meski mendukung Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyesalkan agresi Rusia.

Resolusi ini juga menuntut "penyelesaian dalam istilah yang paling keras atas agresi oleh Federasi Rusia terhadap Ukraina". Sekalipun tak mengikat secara hukum, Resolusi PBB yang dikeluarkan pada Rabu (2/3/2022) meminta agar Rusia segera menghentikan penggunaan kekuatan militernya terhadap Ukraina tanpa syarat apa pun.

Menurut Irine, keputusan Indonesia mendukung Resolusi PBB merupakan wujud dukungan terhadap prinsip hukum internasional dan Piagam PBB, terutama penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah.

Ia mengatakan, pilihan tersebut bukan berarti Indonesia membela Ukraina dan mengabaikan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif.

“Sikap Indonesia tersebut sudah sesuai dengan prinsip hukum internasional dan kepentingan kemanusiaan, bukan soal memihak atau ‘mengekor’ negara lain,” kata Irine, Jumat (4/3/2022).

Dalam voting Resolusi PBB soal agresi Rusia ke Ukraina, hanya Belarus, Suriah, Korea Utara, Eritrea, dan Rusia yang menolaknya. Semetara sebanyak 34 negara memilih abstain.

Resolusi Majelis Umum PBB itu disetujui oleh 141 dari 181 negara yang hadir melalui voting (pemungutan suara).

Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Timor Leste termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang menyetujui resolusi yang menyayangkan agresi Rusia terhadap Ukraina. (ASEAN Pecah Suara dalam Voting PBB Terkait Konflik di Ukraina)

Menyesalkan Invasi Rusia ke Ukraina

Irine mengatakan, invasi militer Rusia di Ukraina telah mengorbankan dan terus mengancam nyawa warga sipil.

Selain itu, agresi Rusia terhadap Ukraina disebut telah mempertaruhkan perdamaian regional dan global.

“Sikap Indonesia dan 140 negara lainnya dilatari oleh kepentingan yang lebih besar," tutur Irine.

Politikus PDI-Perjuangan tersebut mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia.

Irine menilai, ada pertimbangan lain yang perlu dilihat dari keputusan Indonesia.

"Bukan sekadar sikap politik luar negeri terhadap konflik negara lain. Ada pertimbangan kedaulatan wilayah dan kemanusiaan di sana,” tegasnya.

Resolusi Majelis Umum PBB hanya sebagai refleksi atas opini internasional terhadap agresi Rusia ke Ukraina.

Resolusi yang mengikat secara hukum adalah yang diterbitkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Namun, pada 25 Februari 2022, Rusia menggunakan hak veto membatalkan resolusi Dewan Keamanan PBB itu.

Indonesia dinilai hanya mengekor

Keputusan Indonesia yang menyayangkan agresi Rusia terhadap Ukraina dinilai hanya mengekor sikap Amerika dan sekutunya. Indonesia disebut seharusnya tetap pada posisi "netral" dengan tidak menunjukkan keberpihakan.

Demikian dikatakan pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana.

"Dengan posisi mendukung berarti Indonesia hanya mengekor AS dan kawan-kawan. Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif, seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia," kata Hikmahanto Juwana yang dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/3/2022).

Guru Besar Universitas Indonesia itu menilai, Indonesia seharusnya tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian antara Ukraina dan Rusia, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya. AS cenderung berpihak pada Ukraina.

Dengan sikap menyetujui Resolusi PBB, Indonesia dinilai tidak lagi bisa secara maksimal dalam posisi sebagai `bagian dari solusi` dalam pertikaian Rusia dengan Ukraina.

Indonesia, menurut Hikmahanto, kini telah berposisi sebagai `bagian dari masalah`. Kementerian Luar Negeri pun diminta untuk cermat dan hati-hati dalam membuat kebijakan dan menyikapi pertikaian antarnegara.

"Kemlu tidak seharusnya sekedar mengekor perspektif kebanyakan negara, apalagi negara-negara besar yang memiliki pengaruh," sebut Rektor Universitas Jenderal A Yani itu.

Sebelumnya Dukung Indonesia Bawa ke Majelis Umum PBB

Dalam pemberitaan sebelumnya, serangan militer Rusia ke Ukraina bisa memicu terjadinya Perang Dunia III. Oleh sebab itu, Presiden RI Joko Widodo diminta untuk bertindak agar hal itu bisa dihindari. Hal itu diungkapkan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, Kamis (24/2/2022).

Hikmahanto mengimbau Presiden Jokowi untuk melakukan tindakan demi menyelesaikan permasalahan ini. Apalagi Presiden Jokowi merupakan Presidensi G-20 saat ini.

“Tindakannya sampaikan ke PBB, bahwa permasalahan ini harus dibawa ke Majelis Umum PBB, tidak ke Dewan Keamanan PBB,” ujar Hikmahanto dikutip dari Kompas.TV.

“Sehingga dengan begitu, tak akan ada veto di situ, dan pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas karena apa yang terjadi di Ukraina bisa menyebabkan Perang Dunia III,” ujarnya.

Menurut Hikmahanto, meski Dewan Keamanan PBB sudah membicarakan terkait penyerangan Rusia ke Ukraina, namun hal itu diyakini tak akan bisa menghentikan Rusia menginvasi negara pecahan Uni Sovyet itu. Pasalnya, menurut Hikmahanto, Rusia merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan bisa memveto segala keputusan yang keluar. Oleh sebab itu, ia menegaskan Majelis Umum PBB adalah cara yang paling memungkinkan untuk menghentikan invasi Rusia.

Hikmahanto pun meminta agar Presiden Jokowi bisa mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk melakukan shuffle diplomacy, memastikan agar ada pembahasan di Majelis Umum PBB.

Sebelumnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin telah mengumumkan melakukan operasi militer di Ukraina sebelah timur. Operasi militer itu disebutnya sebagai upaya untuk membantu kelompok pemberontak di perbatasan Ukraina yang didukung oleh Rusia di Donbas.

Putin sendiri menegaskan bahwa operasi militer ini bukan dimaksudkan untuk menyerang Ukraina. Tetapi banyak pihak memandang usaha Putin ini sebagai jalan untuk memuluskan serangan ke Ukraina. Apalagi, sebelumnya Putin telah menegaskan Donbas dan Luhansk yang terletak di Ukraina Timur sebagai wilayah yang merdeka.