Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menyongsong Lahirnya Hukum Acara Perdata Ala Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi Komisi III DPR RI akan segera membahas Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Hukum Acara Perdata. Pembahasan itu rencananya akan dilakukan pada pada masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022. Masa persidangan IV diperkirakan akan dimulai tanggal 15 maret mendatang setelah selesai masa reses DPR yang akan berakhir pada 14 Maret 2022.

Sebelumnya pada masa sidang III yang baru lalu, Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membentuk panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata. Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat kerja (raker) antara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dan anggota komisi III.

Baca juga : Sahroni Minta Jaksa Agung Serius Tangani Korupsi di PSN

Mengapa hukum acara perdata perlu dirubah setelah sekian lama berlaku di Indonesia ?, Mengapa pula RUU hukum acara perdata terkatung katung pembahasannya ?, Point krusial apa yang akan dibahas dalam RUU acara perdata ?. Bisakah RUU hukum acara perdata menghadirkan hukum acara perdata yang benar benar sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia ?

Sudah Saatnya Dirubah

Baca juga : Soal Temuan Transaksi Janggal Pemilu, Komisi III Bakal Panggil PPATK

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan atau menggugat ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang) dan cara melaksanakan vonis hakim setelah jatuh putusannya.

Dengan demikian, hukum acara perdata adalah hukum formal yang berfungsi untuk mempertahankan dan melaksanakan isi hukum materiil, baik hukum dagang materiil, maupun hukum perdata materiilnya.

Baca juga : Disepakati Komisi III DPR RI, Ini Tujuh Nama Calon Hakim Agung 2023

Hukum acara merupakan salah satu unsur dari peradilan, demikian pula hukum materiilnya. Peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formil akan liar, sebab tidak ada bata sbatas yang jelas dalam melakukan wewenangnya (Sjachran Basah, 1989: 1).

Saat ini meskipun Indonesia sudah lebih dari 76 tahun merdeka, tetapi masih banyak peninggalan hukum kolonial yang tetap digunakan termasuk Burgerlijk Wetboek (BW) yang lebih dikenal orang sebagai KUH Perdata, dan hukum acara perdata yang tersebar pada HIR (Herziene Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten)dan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering).

Selain HIR dan RBg, terdapat juga Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv) yang pada masanya merupakan hukum acara perdata dan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa. HIR, RBg dan Rv hingga kini masih tetap berlaku sebagai hukum acara perdata berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian dipertegas kembali dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

Hukum acara perdata nasional kemudian diatur pula di berbagai peraturan hukum lain yang membuatnya tersebar dan tidak menjadi satu kesatuan. Berikutini beberapa sumber hukum acara perdata nasional yang berlaku saat ini:

  1. HIR untuk Jawa dan Madura. Dipertegas dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura;
  2. RBg untuk luar Jawa dan Madura. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pemeriksaan dan Memutus Perkara, mempertegas keberlakuan HIR dan RBg ;
  3. Rv yang sebelumnya berlaku untuk golongan Eropa, masih digunakan untuk praktek-praktek tertentu, yaitu pada hal arbitrase;
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
  5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
  6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum;
  7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

Pengaturan hukum acara perdata yang tersebar di banyak regulasi tersebut tentu saja menimbulkan kesulitan dalam praktiknya, yakni persoalan inkonsistensi dalam praktik acara perdata. Selain itu masih dirasakan berbagai kekosongan hukum, antara lain soal sulitnya proses eksekusi putusan, panjangnya proses penyelesaian perkara dengan nilai gugatan tertentu, dan tahapan penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang tinggi biayanya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa “peradilan dilakukan dengan  cepat, biaya ringan dan sederhana”.

Berdasarkan kondisi sebagaimana dikemukakan diatas maka eksistensi Hukum Acara Perdata yang ada sekarang ini memang sudah mendesak untuk di revisi karena dinilai tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat belakangan Indonesia. Sehingga tidak dapat menampung berbagai perkembangan  persoalan hukum yang ada. Perubahan masyarakat yang begitu pesat dan pengaruh globalisasi, menuntut adanya Hukum Acara Perdata yang dapat mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif dan efisien sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan ringan biayanya.

Apalagi kerap kita dapat saksikan sehari-hari bahwa masyarakat yang berperkara secara perdata sering mengeluhkan berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan (khususnya proses beracara perdata) yang cenderung lama dan berbelit-belit, sehingga sangat merugikan para pencari keadilan, baik ditinjau dari sisi waktu dan biaya.

Belum lagi persoalan terkait sifat dualisme hukum perdata kita. Peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat dualistis atau mengandung dualisme hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan di Jawa dan Madura dan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di luar Jawa dan Madura.

Menurut Dr. Ghansham Anand SH, MKN, akademisi Hukum Acara Perdata dari Universitas Airlangga Pemicu perlunya perubahan aturan tentang hukum acara perdata ini, kata Ghansam, berkaitan erat dengan proses penegakan hukum dan kemudahan investasi. Dia mengatakan, Indonesia masih ada di peringkat 72 atau 73 tentang kemudahan investasi di Indonesia. Salah satu yang bermasalah, kata dia, adalah proses penegakan hukum, kepastian hukum, dan lamanya proses berperkara.

Sementara itu dalam Rapat Kerja (Raker) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Senin 23 November 2020, Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan bahwa RUU Hukum Acara Perdata sangat penting mengingat perkembangan masyarakat sangat cepat dan pengaruh globalisasi yang menuntut adanya peradilan yang dapat mengatasi penyelesaian sengketa di bidang perdata dengan carayang lebih efektif dan efisien.

RUU tersebut juga merupakan pembaruan terhadap substansi hukum peninggalan kolonial dan kodifikasi yang bersifat unifikasi terhadap pengaturan yang tersebar dalam berbagai peraturan, termasuk HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) (gesuri.id, 23 November 2020).

Menkumham juga menyatakan bahwa RUU tersebut menjadi lebih urgen lagi untuk dibentuk saat ini, sebab diharapkan akan mampu menjadi hukum formil yang komprehensif dalam menyelesaikan sengketa di bidang bisnis, perdagangan, dan investasi. Selain itu RUU Hukum Acara Perdata dapat memberikan kepastian hukum bagi para investor dan dunia bisnis dalam menjalankan usaha sebagaimana telah dibangun dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (gesuri.id, 23 November 2020).

Pembahasan mengenai pentingnya pembentukan RUU Hukum Acara Perdata perlu dilakukan untuk tujuan antara lain memberikan penjelasan kepada masyarakat umum, khususnya bagi pembentuk undang-undang yang akan melakukan pembahasan terhadap RUU tersebut. Pemahaman yang baik mengenai arti penting dari pembentukan RUU Hukum Acara Perdata akan sangat membantu dalam proses pembahasannya.

Terkatung Katung

Upaya mengubah peraturan hukum peninggalan Belanda termasuk Hukum Acara Perdata sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Bahwa gagasan untuk membuat RUU Hukum Acara Perdata sudah berlangsung lama paling tidak bis akita simak dari pengakuan seorang dosen dari Universitas Airlangga Surabaya. Adalah Dr. Ghansham Anand SH, MKN Akademisi Hukum Acara Perdata dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memberikan penegasan kalau penyusunan konsep Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk menggantikan hukum acara perdata peninggalan kolonial sudah berlangsung lama. Menurutnya, pembahasan tentang konsep dan naskah undang-undang perdata yang sedang dibahas di DPR RI itu sudah dilakukan di berbagai kampus di Indonesia, termasuk di Universitas Airlangga.

“Bisa dibilang, saya adalah saksi. Sejak saya menjadi dosen pada 2013 lalu, undang-undang ini terus menjadi pembahasnya. Jadi, pembahasan secara akademik tentang draft (RUU Hukum Acara Perdata) ini sudah dilakukan di beberapa kampus: UI, UGM, Unair, dan lain-lainnya. Sudah keliling-keliling naskahnya ini ke berbagai kampus, dan tentu saja ini disambut dengan baik, karena yang ada saat ini tidak bisa mengakomodir kemajuan teknologi informasi,” katanya seperti dikutip media.

Terkait dengan penyusunan RUU Hukum Acara Perdata ini,Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN )dan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan adalah  dua satuan kerja yang banyak bergelut dalam ide perubahan hukum acara perdata.

Jauh sebelumnya di tahun 2001, Direktorat Jenderal Perundang-undangan telah melansir informasi bahwa pembahasan RUU Hukum Acara Perdata sudah selesai, tinggal dibawa ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saja. Tiga tahun kemudian, RUU Hukum Acara Perdata memang termasuk satu dari 75 daftar RUU prioritas yang akan dibahas agar bisa di undangkan dengan segera. Tetapi kemudian, tahun demi tahun terlewat, alih-alih dibahas RUU Hukum Acara Perdata itu lenyap dari daftar Prolegnas tanpa diketahui apa penyebabnya.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), HR Benny Riyanto ketika berbicara dalam webinar mengenai RUU Hukum Acara Perdata yang dilaksanakan Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung seperti dikutip media menjelaskan RUU Hukum Acara Perdata sebenarnya sudah pernah masuk RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2019 lalu. Bahkan saat itu sudah dalam proses menunggu turunnya Surat Presiden. Namun hingga masa Prolegnas Prioritas 2019 usai, surat presiden tak kunjung turun . Akibatnya, pada Prolegnas Prioritas 2020, status RUU Hukum Acara Perdata terdegradasi dari daftar yang sudah ada. Turun dari status masuk daftar Prolegnas Prioritas menuju Prolegnas jangka menengah 2020-2024. Ini sejalan dengan Keputusan DPR RI No. 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024.

Perlu diketahui, Prolegnas Prioritas Tahun 2020 banyak diisi oleh RUU hasil pembahasan tahun-tahun sebelumnya (carry over), ditambah fokus Pemerintah dan DPR pada RUU yang menggunakan metode omnibus law seperti RUU Cipta Kerja. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada peluang dan urgensi mendorong RUU Hukum Acara Perdata.

Pada akhirnya Pemerintah mengusulkan RUU Hukum Acara Perdata menjadi salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai upaya untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum serta dapat mengakomodasi dinamika perkembangan hukum masyarakat. Menurut pemerintah, Pembentukan RUU Hukum Acara Perdata penting agar dapat memberikan kepastian hukum serta dapat mengakomodasi berbagaiperkembangan dalam penyelesaian sengketa perkara perdata (Media Indonesia, 24 November 2020).

Gagasan merevisi hukum acara perdata nasional terus tertunda karena ada pandangan yang menyebut hukum materilnya (yakni Burgerlijk Wetboek /BW) harus diubah lebih dahulu, baru ke hukum formilnya. Munculnya pandangan seperti ini sebenarnya sah sah saja, tapi apakah dengan alasan itu lalu pembahasan RUU Hukum Acara Perdata harus ditunda ?

Dengan melihat proses dan dinamika pemabahasan RUU Hukum Acara Perdata tersebut yang terksesan lambat maka hal itu sangat ditentukan oleh kepentingan dibaliknya.Dugaan adanya kepentingan dan tekanan dalam pembahasan suatu RUU sehingga mempengaruhi kecepatan dan keterlambatan penyelesaiannya kiranya bisa dirasakan namun sulit untuk pembuktiannya.

Yang jelas lambat atau cepatnya pembahasan suatu RUU karena memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor faktor itu diantaranya terakait dengan siapa sponsornya, apa kepentingannnya, sejauhmana supportnya untuk penyelesaiannya, seberapa besar RUU itu mengandung nilai finansial tertentu yang menguntungkan bagi para pembuatnya dan sebagainya.

Itulah sebabnya ada RUU yang begitu cepat penyelesaiannya seperti RUU Mineral dan Batubara (MInerba), RUU Revisi UU KPK, RUU Cipta Kerja dan sebagainya karena ada “sesuatu” dibaliknya. Sebaliknya ada RUU yang lambat begitu lambat pembahasannya karena “tidak ada apa apanya”.

Berdasarkan faktor faktor tersebut maka ketika pembahasan suatu RUU, hitung hitungan siapa mendapatkan apa dan berapa nilainya bukan suatu hal yang tabu terdengar di telinga. Lagi lagi hal ini sulit dibuktikan tetapi sering tercium baunya. Mungkin karena faktor ini pula yang menyebabkan RUU yang bersinggungan dengan kepentingan publik seperti RUU Hukum Acara Perdata ini menjadi terkatung katung penyelesaiannya.

Sungguhpun demikian, masuknya RUU Hukum Acara Perdata dalam Prolegnas kali ini patut disambut dengan gembira karena hal itu menunjukkan adanya keseriusan dan dan keinginan untuk memperbaiki hukum acara perdata kita yang sudah lama ketinggalan jaman sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Poin Poin Krusial

Didalam RUU Hukum Acara Perdata yang akan dibahas  DPR kali ini menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terdapat beberapa aspek krusial yang akan menjadi topik pembahasan antara lain menyangkut :

Pertama, pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan penyitaan, jangka waktu permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi, hingga kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke Pengadilan Negeri (PN). Kedua, kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para pihak.

Ketiga, syarat kondisi ketika Mahkamah Agung (MA) ingin mendengar sendiri dari para pihak atau saksi dalam pemeriksaan kasasi. Termasuk penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Keempat, reformulasi pemeriksaan perkara dengan acara singkat, pemeriksaan perkara dengan acara cepat, dan reformulasi jenis putusan.

“Penambahan norma yang muncul adanya kebutuhan hukum sesuai kesadaran hukum masyarakat, antara lain pemanfaatan teknologi dan informasi dan pemeriksaan perkara dengan acara cepat,” ujar Yasonna saat menyampaikan penjelasan Presiden atas RUU tentang Hukum Acara Perdata dalam Rapat Kerja bersama Komisi III di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (16/2/2022).

Kelima, pemanfaatan teknologi informasi saat pemanggilan para pihak berperkara dapat dilakukan secara elektronik termasuk pengumuman penetapan. Dia menjelaskan pemanfaatan teknologi dan informasi dapat mempersingkat waktu; mempermudah akses dan data pemanggilan para pihak yang berperkara secara otomatis dapat tersimpan dalam sistem data informasi. “Agar proses pemanggilan menjadi lebih efektif dan efisien.”

Yasonna menilai perkembangan teknologi dan informasi berdampak terhadap perluasan alat bukti yang mengacu pada UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE mengatur keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah.

Keenam, pemeriksaan perkara dengan cepat. Bagi Yasonna, masyarakat pencari keadilan banyak mengeluhkan soal proses persidangan perkara perdata yang membutuhkan waktu panjang. Melalui perubahan dalam RUU HAP, penting pemeriksaan perkara secara cepat dan berbiaya murah. Sebab, kemudahan berusaha (ease of doing business) tak hanya dipengaruhi regulasi dan perizinan, tapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam menyelesaikan perkara di pengadilan.

“Karena itu dalam RUU Hukum Acara Perdata diatur mengenai pemeriksaan perkara dengan acara cepat. Hal ini sesuai dengan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ujarnya.

Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu melanjutkan perkara dapat diperiksa, diadili dan diputus dengan hukum acara yang cepat, bila nilai gugatan paling banyak Rp500 juta. Lantas perkara apa saja yang dapat menerapkan pemeriksaan cepat?

Yasonna menerangkan perkara tersebut antara lain, utang piutang yang timbul berdasarkan perjanjian; kerusakan barang yang timbul berdasarkan perjanjian; cedera badan pribadi yang timbul berdasarkan perjanjian; dan pembatalan perjanjian. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat, pembuktiannya dilakukan dengan cara pembuktian sederhana.

Dalam pembuktian sederhana, terhadap dalil gugatan yang diakui dan/atau tidak dibantah oleh tergugat, maka tidak perlu dilakukan pembuktian. Terhadap dalil gugatan yang dibantah, hakim melakukan pemeriksaan pembuktian. “Pengadilan memutus perkara dengan acara cepat dalam waktu paling lama 30 hari dan putusan pengadilan dengan acara cepat tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,” ujarnya.

Dalam rangka pemeriksaan perkara secara cepat ini maka pemanfaatan teknologi informasi pada saat pemanggilan pihak yang berperkara dapat dilakukan secara elektronik juga pengumuman penetapan. Pemanfaatan teknologi dan infomasi ini dapat mempersingkat waktu, mempermudah akses, dan data pemanggilan pihak yang berperkara secara otomatis dapat tersimpan dalam sistem informasi.

Dengan memanfaatkan teknologi maka proses pemanggilan diharapkan lebih efektif dan efisien. Karena perkembangan teknologi dan informasi berdampak pada perluasan alat bukti yang mengacu pada UU ITE yang telah mengatur keberadaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah..

Hukum Acara Perdata ini nantinya akan menjangkau hakim, ketua pengadilan, juru sita, panitera, para pihak yang beracara di persidangan perdata, ahli waris, dan kuasa hukum para pihak. Termasuk aparat penegak hukum, maupun masyarakat maupun pelaku usaha.

Dengan sendirinya RUU Hukum Acara Perdata ini diarahkan untuk mampu memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak, terutama dalam hal menyelesaikan sengketa keperdataan para subyek hukum. Selain itu untuk melindungi hak asasi manusia, mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak asasi dan kewajibannya.

Ala Indonesia

Selain karena peninggalan kolonial Belanda dan aturannya yang tersebar, salah satu alasan pokok perlunya pembaharuan hukum acara perdata kita adalah karena dalam prakteknya sering muncul permasalahan sehari-hari dimana masyarakat yang berperkara secara perdata sering mengeluhkan berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan (khususnya proses beracara perdata) yang cenderung lama dan berbelit-belit, sehingga sangat merugikan para pencari keadilan, baik ditinjau dari sisi waktu, biaya, pelayanan pihak pengadilan, maupun dari sisi putusan pengadilan itu sendiri.

Oleh karena itulah dengan adanya RUU Hukum Acara Perdata hasil pembaharuan ini diharapkan bisa mengatasi persoalan tersebut sehingga ketika beracara bisa lebih  murah, efesien sederhana. Selain itu muatan materi yang terkait dengan hukum acara perdata diharapkan mengandung nilai nilai yang tumbuh dan berkembang di Nusantara.

Namun ada yang menilai bahwa RUU hukum acara perdata yang ada saat ini tak lebih kurang hanya merupakan “copy-paste” dari ketentuan-ketentuan dalam HIR dan RBg dengan beberapa perubahan tertentu yang tidak terlalu signifikan sifatnya. Menanggapi hal ini Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional dan Tim Penyusun RUU Hukum Acara Perdata, Prof. Basuki Rekso Wibowo menuturkan bahwa tidak mungkin membuat suatu aturan yang sama sekali baru dan berbeda secara kontras dengan ketentuan yang telah ada.

“Tidak mungkin mengganti semua peraturan yang lama dengan yang baru, apalagi ini merupakan hukum formil yang mengatur prosedur dan proses peradilan yang telah dipraktekkan puluhan tahun lamanya. Sejauh yang bisa dilakukan adalah dengan melengkapi yang kurang dan memperbaiki yang sudah tidak cocok lagi,” ungkapnya.

Yang jelas meskipun substansi yang terkandung dalam RUU Hukum Acara Perdata yang ada sekarang mungkin belum sepenuhnya memenuhi harapan sebagai sebuah hukum acara Ala Indonesia namun draft RUU hukum acara perdata yang ada saat ini merupakan hasil kerja panjang selama puluhan tahun dan hasil sumbangan pemikiran dari banyak pemangku kepentingan di Indonesia.

Materi yang terkandung didalamnya sudah pernah dibicarakan di lingkungan kaum intelektual baik di perguruan tinggi maupun elemen elemen bangsa lainnya.Fenomena sangat berbeda dengan RUU lain yang prosesnya berjalan begitu cepat seolah olah mengejar target dengan mengabaikan prosedur formil yang mestinya dilaluinyaseperti RUU Cipta Kerja misalnya.

Tetapi jangan sampai dengan alasan “ belum sepenuhnya ala Indonesia” lalu pembahasan RUU Hukum Acara Perdata menjadi kembali tertunda.  Harus diakui perubahan dalam lingkup hukum pidana bisa disebut lebih maju dibandingkan lapangan hukum perdata, termasuk hukum formilnya.

 Saat ini Komisi III DPR dan Pemerintah sudah berhasil merampungkan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Kemudian dibidang hukum formil, dan sudah pula dihasilkan ‘karya agung’ bernama KUHAP, yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebaliknya, BW dan hukum acara perdata nyaris tak tersentuh meskipun gagasan-gagasan perubahan sudah dicanangkan begitu lama.

Semoga saja pembahasan RUU Hukum Acara Perdata yang sudah masuk Prolegnas kali  ini cepat dapat diselesaikan sehingga bisa mengejar ketertinggalan sektor pidananya. Sebab kalau masih menunggu “kesempurnaan” rasanya tidak akan tergapai juga. Bagaimana menurut Anda ?