Korupsi Satelit Kemhan, Kejagung Akui Belum Periksa Ryamizard Ryacudu

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut belum ada rencana meminta keterangan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dalam kasus dugaan korupsi satelit Kementerian Pertahanan.

Diketahui, kasus dugaan korupsi pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur itu terjadi pada 2015 saat Ryamizard menjabat Menhan. "Belum (diperiksa)," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah di Kompleks Kejagung, Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Jumat (14/1/2022).

Baca juga : Sita 2 Ferrari & 1 Mercy Milik Harvey Moeis, Ini Penjelasan Kejagung

Febrie menegaskan pihaknya akan bersikap profesional dalam proses penyidikan terhadap kasus ini. Pihaknya akan meminta keterangan berdasarkan bukti yang sudah didapatkan.

"Kita tidak melihat posisinya, tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasinya untuk pembuktian, maka akan kita lakukan pemeriksaan," ungkap Febrie.

Baca juga : Kejagung Resmi Tetapkan Lima Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum di balik proyek yang ada di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Buntut urusan itu membuat negara rugi.

"Tentang adanya dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara atau berpotensi menyebabkan kerugian negara karena oleh pengadilan ini kemudian diwajibkan membayar uang yang sangat besar, padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum, yaitu Kementerian Pertahanan pada 2015, sudah lama, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu, padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (13/1/2022).

Baca juga : Soal Korupsi Timah, Dua Mobil Ferrari & Mercedes Harvey Moeis Disita

Kontrak itu berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan Satelit untuk Slot Orbit 123 derajat bujur timur yang terjadi sejak 2015 sampai saat ini. Singkatnya, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran.

Akhirnya Avanti dan Navayo pun menggugat pemerintah Indonesia. Mahfud menyebut sejauh ini negara diwajibkan membayar kepada dua perusahaan itu dengan nilai ratusan miliar rupiah.

"Kemudian Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani sehingga pada 9 Juni 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar untuk sewa satelit Artemis ditambah dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp 515 miliar. Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," kata Mahfud.

"Nah, selain dengan Avanti, pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi nilainya sampai sekarang itu 20.901.209 dolar (USD) kepada Navayo, harus bayar menurut arbitrase. Ini yang 20 juta ini nilainya Rp 304 (miliar)," imbuhnya.