China Disebut Siap Berperang dengan Amerika Serikat

Jakarta, law-justice.co - Hubungan yang tak harmonis antara China dan Amerika Serikat kini mulai memanas lagi. Pasalnya, kali ini, Beijing mengeluarkan manuver-manuver untuk menghalau perusahaannya melantai di bursa AS.

Terbaru, pada Jumat (23/7/2021), regulator Beijing menargetkan saham pendidikan China TAL Education dan New Oriental Education and Technology yang membuat saham perusahaan tersebut anjlok. Tak hanya TAL dan New Oriental, sebelumnya aplikasi ride-hailing Didi juga mendapatkan perlakukan yang sama setelah memutuskan untuk IPO di pasar AS.

Baca juga : Ketika Perang Dingin Mega-Jokowi Terasa di Acara Bulan Bung Karno (3)

Menurut para analis, langkah ini merupakan titik terburuk dari hubungan antara AS dan China. Mantan Ketua Morgan Stanley Asia Stephen Roach memperingatkan bahwa manuver ini merupakan langkah awal menuju cold war alias perang dingin.

"Saya seorang optimis bawaan ketika datang ke China. Tapi saya merasa tindakan ini sangat mengganggu," katanya dalam acara "Trading Nation" CNBC International, dikutip Senin (26/7/2021).

Baca juga : Ketika Perang Dingin Mega-Jokowi Terasa di Acara Bulan Bung Karno (2)

Menurut Roach, ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia bisa mencapai tingkat yang tidak terlihat sejak awal 1970-an. "Bahkan jika perusahaan AS tidak berdagang langsung dengan China, hampir semua yang mereka sentuh melewati rantai pasokan global," tambahnya.

"Jadi, dinginnya hubungan AS-China memiliki implikasi signifikan bagi perusahaan AS dan bagi investor yang berinvestasi di perusahaan AS. Anda tidak bisa lepas dari koneksi China."

Baca juga : Ketika Perang Dingin Mega-Jokowi Terasa di Acara Bulan Bung Karno (1)

Langkah China ini sendiri dilakukan berdekatan dengan momen pejabat kedua negara berdiskusi kembali untuk meredam ketegangan, hari ini di Tianjin, China. Namun, pertemuan dimulai dengan pernyataan yang cukup suram.

Menurut siaran pers berbahasa Inggris dari Kementerian Luar Negeri China, Wakil Menteri Luar Negeri China Xie Feng mengatakan selama pembicaraan dengan Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman, hubungan kedua negara disebutnya "di jalan buntu dan menghadapi kesulitan serius".

"Pada dasarnya, itu karena beberapa orang Amerika menggambarkan China sebagai `musuh yang dibayangkan,`" kata rilis itu.

"Kami mendesak AS untuk mengubah pola pikirnya yang sangat salah arah dan kebijakan berbahayanya."

Analis China sendiri menilai bahwa pertemuan ini tidak akan berjalan dengan sebuah kesepakatan yang konkret. Pasalnya China terus menyatakan bahwa campur tangan AS dalam beberapa isu domestik seperti Hong Kong dan Xinjiang tidak dapat ditoleransi.

"Dengan menyebutkan isu-isu utama untuk dibicarakan pada pertemuan mendatang, China menunjukkan intinya terlebih dahulu untuk menghindari situasi intens yang sama yang terjadi dalam pertemuan Alaska pada bulan Maret," ujar Profesor Renmin University of China Beijing, Diao Daming, mengatakan kepada Global Times.

"Jika AS berharap untuk mengajukan lagi pertanyaan tentang Xinjiang dan Hong Kong, mereka harus tahu bahwa mereka membuang-buang waktu, seperti di Alaska," kata seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial China, Lü Xiang.

Setelah era Donald Trump, hubungan antara Washington dan Beijing tetap memanas di masa Presiden Joe Biden. Terbaru, Biden mengeluarkan perintah eksekutif untuk pembatasan investasi dari AS di beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan upaya pengembangan kemampuan militer China karena isu HAM di Xinjiang dan demokrasi Hong Kong.

Tercatat ada 59 perusahaan Negeri Tirai Bambu yang terjaring perintah itu dan masuk daftar hitam. Selain itu Gedung Putih juga sedang mendorong investigasi asal-usul Covid-19 di laboratorium virologi Wuhan.

China juga seakan tak mau kalah. Negeri itu memberi sanksi Presiden Xi Jinping mengumumkan `menghukum` tujuh warga negara dan entitas AS, Jumat lalu.

Semua orang dan entitas itu terkait pemberian sanksi ke China dengan tudingan `memperburuk kebebasan di Hong Kong`. Salah seorang yang dikenai sanksi adalah mantan Sekretaris Perdagangan AS, Wilbur Ross, lalu Ketua Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan AS-China Carolyn Bartolomew.