Gurita Tangan Penguasa dalam Kasus Bansos

Siapa Hilangkan Nama Perusahaan Penyuap Mafia Bansos?

Jakarta, law-justice.co - Kasus korupsi pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara masih terus berlanjut di pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Baru dua dari lima terdakwa yang sudah divonis bersalah yakni pengusaha pemberi suap, Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry van Sidabukke. Beberapa nama lainnya sempat muncul di persidangan, namun urung masuk dalam dakwaan. Keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus ini mulai dipertanyakan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan penyidikan Kasus suap Bansos yang melibatkan Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Tidak hanya itu, terdapat pula beberapa perusahaan penyedia Bansos yang turut terlibat.

Baca juga : Pemilik Sriwijaya Air Kini Terseret Korupsi Timah

Dalam rincian perusahaan tersebut, terdapat 5 klaster, salah satu klaster menunjukan ada 12 perusahaan yang diperiksa oleh penyidik dan mengakui memberi uang.

Dari 12 perusahaan tersebut, terdapat 2 penanggungjawab yang sudah dieksekusi oleh KPK, yakni Harry Van Sidabuke dari Perusahaan Mandala Hamonangan Sude dan Ardian Iskandar Maddanatja dari Perusahaan Tiga Pilar.

Baca juga : PDIP Sebut Jokowi dan Anak Mantunya Bagian dari Masa Lalu Partai

Jumlah yang diterima dalam dakwaan tersebut masing masing Rp 1.280.000.000,00 untuk Harry Van Sidabuke dan Rp 1.950.000.000,00 untuk Ardian Iskandar Maddanatja dengan perusahaan terkait. Jumlah tersebut sesuai dengan fakta persidangan.

Terkait hal tersebut, Plt Juru Bicara KPK M. Ali Fikri mengatakan kalau KPK telah mengeksekusi kedua terpidana kasus suap bantuan sosial Covid-19 tersebut.

Baca juga : Akhiri Konflik Dua Negara, Hamas Siap Letakkan Senjata, Ini Syaratnya

Keduanya dieksekusi ke lapas yang berbeda, Harry dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Sukamiskin sedangkan Ardian dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cibinong.

"Bulan lalu, Jaksa Eksekusi KPK Rusdi Amin telah selesai melaksanakan eksekusi putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Ali kepada Law-Justice.

Ali menuturkan kalau keduanya akan menjalani masa pidana penjara selama 4 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor.

"Masing-masing terpidana dibebankan kewajiban bagi terpidana untuk membayar denda sejumlah Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan," tuturnya.

Sementara itu, belajar dari kasus korupsi Bansos yang berpotensi merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar, Plt. Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pencegahan Ipi Maryati Kuding memberi peringatan kepada pemerintah.

Pemerintah telah memutuskan untuk kembali menyalurkan bantuan dalam bentuk Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi masyarakat yang paling terdampak pandemi Covid-19.

Ipi mengatakan kalau pemerintah perlu mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabel dalam penyaluran BST, sehingga dapat lebih tepat sasaran.

Terkait data untuk penyaluran data Bansos, Ipi menyatakan Kemensos sejauh ini telah melakukan sejumlah langkah perbaikan. Hal itu sesuai dengan rekomendasi kajian dari KPK.

Namun, penyaluran BST memiliki risiko penyimpangan yang lebih rendah dibanding Bansos dalam bentuk Natura atau bantuan sosial non tunai.

"Indikasi penyimpangan BST juga rawan terjadi berkaitan dengan data penerima bantuan, dimana KPK menemukan persoalan utama dalam penyelenggaraan Bansos," kata Ipi melalui keterangan tertulis yang diterima Law-Justice.

Ipi menyatakan permasalahan tersebut adalah akurasi data penerima bantuan yang meliputi kualitas data penerima bantuan, transparansi data, maupun pemutakhiran data.

"KPK akan terus memantau proses penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) Covid-19, dan berharap ke depannya tidak ada lagi penyimpangan atau celah tindak pidana korupsi terkait Bansos Covid-19," ujarnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum eks Menteri Sosial Juliari Batubara, Maqdir Ismail turut buka suara soal adanya keganjilan dari kasus ini dan akan mendalami dugaan aliran suap pengadaan bantuan sosial (Bansos) Covid-19 ke kliennya.

Dalam dakwaan, disebutkan bila Juliari telah menerima suap dari dua mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos, yakni Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW).

Mendengar pernyataan dari MJS dan AW, Maqdir menduga ada upaya dari pihak-pihak yang sengaja menyudutkan dan menyalahkan kliennya.

Sebab, sejauh ini Maqdir mengatakan belum ada kesaksian yang menyebutkan uang suap sebesar Rp 32,48 miliar itu mengalir ke Juliari.

Maqdir membela soal adanya keterangan kedua mantan pejabat Kemensos yang mengada-ada dan pernyataan keduanya bisa jadi hanya untuk menyeret Juliari dan mendapat keringanan hukuman.

"Keterangan yang mereka sampaikan adalah keterangan saksi jahat, karena apa yang mereka sampaikan adalah bentuk upaya mereka untuk melibatkan orang lain, sebab dengan begitu mereka berharap mendapat keringanan hukuman," kata Maqdir saat dihubungi Law-Justice.

Selain itu, Maqdir menyebut kalau MJS sengaja membuat keterangan seolah-olah uang suap yang dia terima diperuntukkan bagi kepentingan Juliari.

"Ini adalah fakta ketidakbenaran isi Surat Dakwaan," ungkapnya


Grafik kepatuhan pengunaan anggaran penanggulanan pandemi Bansos (Sumber : BPK)

Selain itu diketahui akibat kasus korupsi Bansos tersebut, Juliari digugat oleh beberapa orang karena paket Bansos yang tidak layak. Maqdir menegaskan kalau ia tidak masalah bila kliennya digugat.

Namun, ia curiga para penggugat tersebut bukan merupakan orang yang dirugikan akibat perkara dugaan korupsi yang menjerat Juliari. Dengan tegas Maqdir meminta agar jangan sampai nantinya mereka menggugat padahal keseluruhanya bukan penerima manfaat dari Bansos tersebut dan hanya berbalut kepentingan.

"Kalau mau ajukan gugatan silahkan saja tapi jangan hanya mengaku-ngaku saja inikan ada mekanismenya," tuturnya 

Siapa Intervensi Kasus Bansos di KPK?
Sementara itu soal kelanjutan kasus korupsi Bansos juga mendapatkan respon keras dari Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo. Yudi mengatakan ada upaya untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara.

Bahkan Yudi membeberkan hal tersebut terlihat dengan adanya laporan dugaan pelanggaran etik terhadap dua penyidik yang menangani kasus tersebut.

Kecurigaan tersebut disampaikan dua penyidik atas nama M. Praswad Nugraha dan Muhammad Nur Prayoga dalam nota pembelaan yang mereka serahkan ke Dewan Pengawas yang menangani kasus tersebut.

"Dalam pledoi tersebut, para penyidik menyebutkan proses pelaporan dugaan pelanggaran etik ini tak terlepas dari upaya pihak tertentu untuk menghentikan proses penyidikan perkara," ujar Ketua WP KPK, Yudi Purnomo kepada Law-Justice.

Kecurigaan terlapor, menurut Yudi, merujuk pada fakta bahwa pihak yang melaporkan dua penyidik adalah Agustri Yogaswara yang diduga terlibat dalam perkara yang tengah mereka tangani.

Menurutnya, selama sidang berlangsung sejumlah saksi telah mengungkap bahwa tak ada dugaan pelanggaran etik yang dilakukan dua penyidik. Praswad dan Yoga, kata Yudi, telah melakukan proses geledah dan pemeriksaan sesuai prosedur.

Yudi menilai upaya penyidik dalam penanganan Bansos tak lebih dari upaya untuk mengungkap skandal korupsi dana bantuan sosial Covid-19.

Menurut dia, fakta persidangan telah membuktikan bahwa proses penyidikan, sepenuhnya didasarkan pada kaedah hukum tanpa dan sama sekali tidak diiringi tindakan kekerasan serta penggunaan pendekatan fisik.

"Para penyidik tak pernah menyentuh, menganiaya, maupun melakukan perbuatan sewenang-wenang terhadap saksi," ujar Yudi.

Respon tentang korupsi Bansos datang juga dari Penyidik nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Andre Nainggolan yang membeberkan fakta soal korupsi bantuan sosial pada masa COVID-19 dan kerugian akibat korupsi Bansos disebut mencapai Rp 2 triliun.

Andre mengatakan ia tidak bisa leluasa lagi untuk mengungkap korupsi Bansos karena sudah nonaktif lewat Tes Wawasan Kebangsaan.

Padahal ia menemukan potensi kerugian negara yang sangat besar dan berawal dari tagihan paket Bansos dari salah satu perusahaan pemenang tender.

Dokumen penagihan menunjukkan biaya riil untuk satu paket Bansos adalah Rp180 ribu padahal untuk satu paket dianggarkan Rp270 ribu.

Angka itu pun kemungkinan masih lebih besar daripada harga barang riilnya mengingat banyaknya perusahaan subkontraktor yang terlibat.

"Setidaknya ada Rp90 ribu per paket sudah hilang nilainya. Kalau kita kalikan dengan jumlah seluruhnya itu bisa mencapai Rp2 triliun," kata Andre.

Andre mengungkapkan aktivitas kesehariannya pun berubah total usai dinonaktifkan. Dia tidak boleh melakukan kegiatan dalam tugasnya sebagai penyidik.

Andre mengatakan kalau sebelum dinonaktifkan ia tengah menangani kasus korupsi Bansos yang melibatkan politikus PDIP sekaligus mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

"Ke kantor, tidak ada (melakukan apa-apa). Hanya membaca email dan lain-lain. Tidak melakukan kegiatan sebagai tugas fungsi sebagai penyidik," pungkasnya.

Data yang diterima redaksi Law-Justice dari pengacara Juliari, Maqdir Ismail, menunjukkan bahwa pengusutan kasus korupsi Bansos ini dibagi setidaknya menjadi lima klaster: 32 perusahaan yang tida di-BAP dan tidak ada dalam dakwaan, 16 perusahaan yang mengaku tidak memberi suap dan tidak ada dalam dakwaan, 15 perusahaan yang tidak di-BAP tapi ada dalam dakwaan, 32 perusahaan yang di-BAP dan ada dalam dakwaan namun tidak mengaku memberi suap, serta 11 perusahaan yang mengaku memberi suap dan ada dalam dakwaan.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan pengkategorian BAP dalam lima klasterisasi itu menunjukkan ketidakseriusan KPK dalam mengusut kasus korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara itu. Perusahaan yang terlibat program Bansos mayoritas dipilih dengan penunjukan langsung.

Logikanya, kata Boyamin, jika sebuah perusahaan sudah ikut mengelola program Bansos, maka diduga kuat perusahaan itu ikut pula memberikan suap kepada Juliari. Hal ini berdasarkan temuan KPK bahwa setiap paket sembako yang disalurkan oleh sejumlah perusahaan telah dipungut fee Rp10 ribu oleh Juliari.

"Semakin mejadi terang kenapa itu tidak serius dan izin itu ditelantarkan menjadi nyata ketika ada klaster perusahaan penyalur Bansos yang di-BAP, yang tidak di-BAP, yang mengaku setor, mengaku tidak setor. Tapi yang utama adalah tidak di-BAP itu hampir banyak," kata Boyamin kepada Law-Justice, Senin (19/7/2021).

Boyamin semakin pesimis terhadap keseriusan KPK kala mengetahui bahwa sejumlah politisi partai di Senayan yang tersangkut dalam kasus tersebut tak masuk dalam dakwaan KPK. Padahal, beberapa perusahaan yang jelas-jelas terafiliasi dengan mereka secara sengaja dipilih oleh Juliari atas dasar kedekatan politik.

"Perusahaan-perusahaan yang ada klaster lain, yaitu klaster politisi juga tidak didalami (KPK)," ujar Boyamin.

Boyamin mengatakan pembiaran yang dilakukan KPK itu adalah buntut dari minimnya penggeledahan yang dilakukan KPK. Ia menerangkan, Dewas KPK sudah mengeluarkan izin penggeledahan untuk menyelidiki lebih jauh jaringan korupsi Bansos. Akan tetapi, kata dia, dari 27 izin yang diterbitkan Dewas, KPK hanya mengeksekusi lima.

"Yang lima dan yang kemudian 27 itu pun pura-puranya dilakukan penggeledahan setelah 2 bulan. Rugi semua enggak ada apa-apanya," ujarnya.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai isi surat dakwaan KPK perihal klasterisasi Bansos bermasalah. Seyogyanya, kata dia, jika materi dakwaan mengangkut subjek penyuap dan yang disuap dibeberkan secara rinci, bukan malah hanya mencantumkan frasa abstrak yang multitafsir. Hal ini berpotensi menimbulkan keraguan para pihak yang berperkara.

Suparji pun menganggap wajar jika kuasa hukum Juliari Batubara kemudian mempermasalahkan dakwaan yang menyebutkan adanya suap terhadap Juliari sebesar Rp 29,2 miliar. Sebab, jaksa penuntut umum sendiri tak menjelaskan siapa saja perusahaan yang menyuap politikus PDI Perjuangan itu.

"Kalau melihat dakwaan seperti tadi, maka itu menunjukkan dakwaan yang tidak cermat. Dan itu menjadi dasar bagi terdakwa atau penasehat hukum untuk melakukan pembelaan," kata Suparji kepada Law-Justice, Senin (19/7/2021) lalu.

Dalam dokumen dakwaan yang diterima Law-Justice, jaksa penuntut memang tidak merinci siapa pihak-pihak perusahaan yang memberikan duit puluhan miliar itu. Dalam materi dakwaan, setelah jaksa menguraikan adanya suap terhadap Juliari dari Adi Wahyono, Matheus Joko Santoso, Harry Van Sidabukke, dan Ardian Iskandar Maddanatja, jaksa menyebut Juliari juga menerima uang sebesar Rp 29 miliar lebih dari beberapa perusahaan. Namun demikian, tak disebutkan siapa saja perusahaan tersebut.

"Terdakwa melalui ADI WAHYONO dan MATHEUS JOKO SANTOSO menerima uang sebesar Rp1.280.000.000,00 (satu miliar dua ratus delapan puluh juta rupiah) dari HARRY VAN SIDABUKKE dan uang sebesar Rp1.950.000.000,00 (satu miliar sembilan ratus lima puluh juta rupiah) dari ARDIAN ISKANDAR MADDANATJA serta uang sebesar Rp29.252.000.000,00 (dua puluh sembilan miliar dua ratus lima puluh dua juta rupiah) atau setidak-tidaknya sekira jumlah tersebut dari beberapa penyedia barang lainnya dalam pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) Sembako Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kementerian Sosial Tahun 2020," demikian bunyi dakwaan tersebut.

Meski begitu, Suparji mengatakan pada akhirnya pembuktian yang sebenarnya akan tersingkap di pengadilan. Dakwaan yang dilayangkan jaksa bisa saja tak terbukti jika fakta-fakta di pengadilan menunjukkan sebaliknya.

"Semuanya sangat bergantung pada proses pemeriksaan dan pembuktian di persidangan. Jadi dakwaan tadi akan ditindaklanjuti dan dibuktikan pada proses persidangan berikutnya," kata dia.


Grafis audit permasalahan penyaluran bansos oleh BPK (Sumber : BPK RI)

KPK telah menetapkan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan jatah pengadaan Bansos Covid-19 dari Juliari Batubara. Sejumlah perusahaan diduga mendapatkan kuota pengadaan Bansos dengan cara penunjukkan langsung. Proyek penunjukan langsung ini bernilai Rp 6,46 triliun, dengan jumlah 23,7 juta paket bahan pokok. Proyek mulai berjalan pada April hingga Desember 2020 dalam 12 tahap dengan lebih dari 109 nama perusahaan yang ditunjuk.

Penunjukan langsung perusahaan cukup beralasan. Pasalnya, jutaan paket Bansos diduga dikelola oleh sejumlah perusahaan milik pejabat. Perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan paket itu diduga berafiliasi atau mendapatkan rekomendasi dari pejabat penting di pemerintahan dan legislatif.

Sebagaimana diberitakan Tempo, sejumlah nama pejabat mulai dari Menteri Sosial hingga politikus diduga disebut dalam data itu. Berikut ini adalah di antara data pejabat yang diduga berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan yang ditunjuk.

  1. Menteri Sosial Juliari Batubara
  1. Staf Khusus Menteri Sosial, Kukuh Ari Wibowo
  1. Stafsus Mensos, Erwin Tobing
  1. Sekjend Kemensos, Hartono Laras
  1. Dirjen Linjamsos, Pepen Nazaruddin
  1. Inspektur Jenderal Kemensos, Dadang Iskandar
  1. Sesditjen Linjamsos M. Royani
  1. Ketua Komisi Hukum DPR, Herman Hery (PDI Perjuangan)
  1. Bekas Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, Ihsan Yunus (PDI Perjuangan)

Penelusuran Law-Justice menemukan bahwa dua perusahaan yang terafiliasi dengan Herman Herry, PT Anomali dan PT Famindo merupakan perusahaan yang paling banyak menerima jatah proyek Bansos. PT Famindo diduga memperoleh kuota pengadaan Bansos sebanyak 1,23 juta paket bahan pokok dengan nilai proyek sebesar Rp 332,1 miliar. Bahan pokok itu diproduksi dalam lima gelombang, dari tahap 8 hingga tahap 12. Jumlah masing-masing tahapan dari 230 ribu hingga 250 ribu paket dengan nilai Rp 270 ribu per paket. 

Adapun PT Anomali Lumbung Artha mendapat jatah dengan jumlah yang lebih jumbo, yakni sebanyak 1,5 juta paket sembako dengan nilai Rp 442,8 miliar. Proyek itu didapat dalam empat gelombang, dari tahap 3, tahap 5, hingga 7. 

Jutaan paket PT Anomali dan PT Famindo itu disuplai oleh PT Dwimukti Graha Elektrindo, produsen panel listrik milik Herman Hery. Herman mendapat jatah 7,6 juta paket bahan pokok dengan nilai Rp 2,1 triliun yang dikirim oleh Dwimukti melalui lima perusahaan, termasuk PT Anomali dan PT Famindo. Legislator asal Nusa Tenggara Timur itu memperoleh jatah proyek diduga karena hubungan kedekatan dengan Juliari yang merupakan rekan satu partai.

Maqdir Ismail sendiri membantah bahwa perusahaan-perusahaan di atas memiliki keterkaitan dengan kliennya.

“Tidak ada hubungannya dengan pak Juliari,” kata Maqdir.

Jangan sampai Berhenti di Juliari
Kasatgas penyidik perkara korupsi Bansos KPK, Andre Dedy Nainggolan, mengatakan bahwa apa yang disidik oleh lembaganya saat ini hanya sebagian kecil dari potensi korupsi yang ada. Dia menegaskan, korupsi Bansos terjadi hampir disemua tahapan.

“Yang kami sidik sejauh ini hanya tentang conflict of interest dan adanya fee dari perusahaan vendor. Kita belum bicara soal distribus Bansos dan proses penunjukan langsung yang ganjil,” kata Andre dalam sebuat seminar beberapa waktu lalu.  

Berdasarkan pemeriksaan, Andre mengatakan bahwa memang banyak pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Namun namun penyidik sulit bergerak lebih jauh karena ada konflik internal di tubuh KPK. Andre tidak menampik bahwa memang ada upaya pelemahan penegakan hukum terkait pengusutan kasus korupsi Bansos. Sebagaimana diketahui, Andre sendiri adalah satu dati 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus uji Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan akan segera mengakhiri masa baktinya di KPK per 1 November 2021.

“Penyedia barang dalam paket Bansos ini ada 109 perusahaan besar dan kecil. Mensos membaginya dalam empat bagian, yang kami temukan juga melibatkan setidaknya dua pejabat legislatif,” kata dia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, kasus suap yang menjerat Juliari sekali lagi membuktikan bahwa anggaran Bansos memang rawan menjadi bancakan para pejabat. Fee yang mengalir tidak hanya dikumpulkan dari satu pengadaan, melainkan seluruh pengadaan di gelombang I (April-Juni 2020) dan gelombang II (Juli-Desember 2020).

“Kita semua tahu anggaran negara untuk menanggulangi pandemi ini terbatas. Ternyata masih dikorupsi dengan target fee Rp 35 miliar. Uang suap itu setara dengan bantuan untuk 108.000 warga,” kata Almas.

Kondisi itu diperparah dengan penyidikan yang terkesan jalan di tempat. ICW berkali-kali mengingatkan KPK agar segera menjerat dua nama yang disebut-sebut  oleh terdakwa Matheus Joko Santoso dalam persidangan, yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus.

 "Jangan sampai menggantung begitu saja. Publik tidak melihat dengan jelas apa peran keduanya dalam kasus korupsi Bansos. Jangan-jangan Juliari dan dua pejabat Kemensos hanya divonis ringan,” ujar Almas.

Almas mengatakan, dua nama itu juga sempat muncul saat jaksa membacakan BAP atas terdakwa Adi Wahyono, pejabat yang ditunjuk sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) oleh Juliari. Herman Herry dan Ihsan Yunus disebut termasuk penerima kuota melalui sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan nama keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Kita harus ingat, setidaknya ada 107 kasus korupsi Bansos di selurh wilayah Indonesia. Ini lampu merah.Skema Bansos itu memang rawan dikorupsi,” imbuh dia.

ICW mendorong agar kasus korupsi Juliari menjadi perhatian dan pembelajaran agar pemerintah juga memperhatikan peluang atau celah korupsi dalam program penanganan Covid-19. KPK juga dituntut untuk objektif menangani perkara tersebut. Dengan serangkaian kejanggalan dalam penanganan perkara Bansos, publik khawatir lembaga antirasuah itu hanya berhenti dengan menindak Juliari dan pihak lain yang terlibat di Kemensos.

“Kita berhutang banyak kepada masyarakat karena banyak fakta baru di persidangan, tapi penyidikannya terhalang.”

Terkait kasus ini, publik menunggu penuntasan kasus suap pengadaan Kemensos agar kasus tersebut menimbulkan efek jera dan berdaya cegah. Jangan sampai, nama-nama yang disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut menggantung dan tidak jelas tindak lanjutnya dan para terdakwa mendapat hukuman ringan.

Kementerian Sosial menolak memberikan komentar saat dimintai konfirmasi perihal daftar perusahaan pengelola Bansos. Kepala Bagian Publikasi dan Humas Kementerian Sosial, Yanie, mengaku pihaknya tak berwenang memberikan informasi apapun karena kasus korupsi tengah dalam penanganan penegak hukum.

Adapun pertanyaan yang ditujukan kepada Kementerian Sosial sama sekali tak menyinggung aspek hukum yang sedang berlangsung di pengadilan. Law-Justice hanya meminta konfirmasi Kementerian yang kini dipimpin Tri Rismaharini itu seputar nama-nama perusahaan yang terpilih sebagai penyalur Bansos.

Di samping itu, pertanyaan juga diajukan soal ada atau tidaknya tender terhadap perusahaan yang diduga terafiliasi dengan para politisi PDI Perjuangan. Namun, pihak Humas menegaskan tak mau berkomentar.

"Karena ini sudah masuk ranah hukum, Kemensos sepenuhnya menyerahkan kepada Aparat Penegak Hukum. Kami tidak berwenang menjawab, khawatir mengganggu proses hukum, terima kasih," kata Yanie.

Ketua Komisi Hukum DPR RI, Herman Herry, tak mau berkomentar ketika ditanyai keganjilan klasterisasi perusahaan dalam surat dakwaan. Ia enggan menanggapi hal tersebut lantaran menurut dia tak etis jika DPR ikut campur soal jalan penegakan hukum korupsi Bansos.

"Tanyakan ke yang paham. Tidak etis DPR ikut-ikutan. Ke praktisi hukum saja. Maaf yaaa," ujar politisi PDI Perjuangan ini.

Sementara Anggota Komisi Hukum dari fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan hal yang senada dengan Suparji Ahmad. Jaksa penuntut umum tidak hanya bertugas menuntut para terdakwa, tapi mereka juga dituntut membuat dakwaan yang detail dan terukur.

"Idealnya jaksa sudah menyusun dakwaannya dengan matang dan terukur, serta didasarkan kepada setiap alat bukti yang ada. Tentu, terdakwa dapat membela diri dan mematahkan dakwaan jaksa. Itu hal yang lumrah," katanya kepada Law-Justice, Rabu (21/7/2021).

Didik menyatakan komisinya bakal memastikan jalannya penegakan hukum kasus korupsi Bansos di KPK. Tersebab perkara masih dalam tahap proses di pengadilan, ia mengatakan terlalu dini untuk memberikan penilaian, baik dari segi dakwaan maupun jalannya persidangan.

"Terlalu sumir untuk menyimpulkan proses yang sedang berlangsung. Pada saatnya, pembuktianlah yang akan dapat membuat semakin terang. Idealnya korupsi kemanusiaan seperti itu harus dihukum berat. Siapapun yang terlibat dan menikmati, harus diproses dan dihukum berat. Tanpa terkecuali,” ujar Didik.


Isi surat dakwaan Juliari Batubara. (Foto: Tangkapan layar dok. Maqdir Ismail)

Laporan BPK Soal Bansos
Anggota I Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)/ Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara I Hendra Susanto didapuk sebagai narasumber dalam kegiatan "Beranda Ilmu" yang diselenggarakan secara virtual oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Negara (Badiklat PKN) mengatakan, akan adanya risiko kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19, antara lain adanya risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko moral hazards dan kecurangan serta adanya risiko operasional. Risiko-risiko tersebut harus dapat dimitigasi dengan pengendalian internal yang baik, juga dengan pengawasan oleh pihak internal dan eksternal.

Risiko penyimpangan dalam pengadaan/ barang dan jasa dalam penanganan Covid 19 antara lain bukti pertanggungjawaban tidak sesuai dengan ketentuan dan/atau tidak sah,  harga pengadaan baranga/jasa tidak wajar dan pengawasan eksternal kurang memadai. 

Selain itu juga terdapat risiko kebijakan pemerintah dalam refocusing dan realokasi anggaran seperti alokasi anggaran yang masuk dalam refocusing dan realokasi oleh kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah tidak terkait penanganan Covid-19. Adanya potensi penggelembungan alokasi anggaran darurat Covid-19 karena perlakuan khusus terhadap pertanggungjawaban dana bencana dan tumpang tindih alokasi anggaran pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait penanganan Covid-19 apabila tidak diatur terkait tugas dan fungsi spesifik bagi masing-masing pihak serta pengajuan refocusing dan realokasi anggaran digunakan untuk pemberian bantuan perlindungan sosial/Bansos oleh pejabat daerah untuk ditunggangi kepentingan politik.

Hasil Audit BPK pada semester II tahun 2020 menjelaskan adanya pengelolaan pendapatan dan belanja pada Kementerian Sosial yang tidak memadai atau tidak sesuai dengan ketentuan, antara lain terkait:

  1. Pendapatan atas perizinan yang dikeluarkan kepada penyelenggara untuk melaksanakan undian atau promosi penyelenggaraan undian.
  2. Dana Bantuan Pangan Non Tunai pada rekening escrow yang masih berada pada Bank Penyalur, serta dana yang berasal dari time out transaction atas Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT yang masih mengendap di rekening Bank Penyalur.
  3. Dana Bansos Program Keluarga Harapan (PKH) yang berasal dari saldo KPM yang tidak bertransaksi.

Sedangkan hasil audit BPK terkait realisasi dan penyaluran Anggaran pada Kementerian Sosial soal penanganan Covid-19 dan pemberian program sembako  melalui Kementerian Sosial sebagai berikut

 1.Saldo realisasi bantuan Program Sembako yang tidak dimanfaatkan oleh 1.614.831 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp821,09 miliar.

  1. Realisasi bantuan sosial (Bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) atas 96.483 Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak dapat didistribusikan kepada KPM sebesar Rp91,34 miliar dan belum disetorkan ke kas negara.
  2. Sebanyak 959.003 KKS tidak dapat didistribusikan kepada KPM bantuan Program Sembako dan saldo yang ada di dalam KKS tersebut belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp519,32 miliar.
  3. Sisa dana Bansos tunai (BST) sebesar Rp51,71 miliar belum disetor ke kas negara.

Selain itu ada juga permasalahan dalam penyaluran Bansos di tingkat pusat yang menjadi temuan BPK seperti

  1. Data identitas penerima bantuan sosial PKH berupa NIK ganda pada setiap tahap/bulan penyaluran sebanyak 748.505 KPM dengan nilai penyaluran sebesar Rp240,98 miliar.
  2. Penyaluran Bansos atas KPM bermasalah yang masih ditetapkan sebagai KPM PKH pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp273,29 miliar.
  3. Sebanyak 499.290 KPM PKH belum memanfaatkan Bansos yang diterima sebesar Rp495,87 miliar.
  4. DTKS Penetapan Januari 2020 tidak valid, yaitu NIK tidak valid sebanyak 10.922.479 anggota rumah tangga (ART), nomor kartu keluarga (KK) tidak valid sebanyak 16.373.682 ART, nama kosong sebanyak 5.702 ART, serta NIK ganda sebanyak 86.465 ART.
  5. Pelaksanaan kegiatan pendataan, verifikasi, dan validasi oleh pemda belum memadai, di mana terdapat 47 kabupaten/kota yang belum pernah melakukan finalisasi data untuk penetapan DTKS serta kegiatan verifikasi dan validasi hanya dilakukan pada sebagian kecil data dalam DTKS.

Hasil Pemeriksaan Penanganan Pandemi COVID-19 & PEN IHPS II Tahun 2020 sebagai berikut :

 - KKS yang seharusnya tidak didistribusikan kembali kepada 4.167  KPM bermasalah dengan total penyaluran Bansos sebesar Rp849,74 juta, yaitu KPM ganda sebanyak 1.355 KPM sebesar  Rp199,16 juta. KPM non eligible sebanyak 58 KPM sebesar Rp86,56 juta, KPM yang meninggal tidak ada ahli waris, sakit jiwa tidak ada ahli waris, dan TKI tidak ada pengiris pengganti sebanyak 1.236 KPM sebesar Rp173,41 juta, serta KPM mampu dan KPM menolak Bansos sebanyak 1.518 KPM sebesar Rp390,59 juta.

 - Terdapat penyaluran Bansos sebesar Rp130,03 miliar kepada KPM yang rekeningnya tidak ada transaksi sebelum tahun 2020, namun ditetapkan sebagai KPM PKH tanpa dilakukan penelitian kembali.

- Terdapat KPM PKH yang sudah tidak berhak menerima Bansos karena status non eligible dan masih dibayarkan sampai dengan September 2020 sebesar Rp58,92 miliar.

- Sebanyak 499.290 KPM PKH belum memanfaatkan Bansos sebesar Rp495,87 miliar.

- Bansos Program Sembako disalurkan kepada 593.163 KPM yang memiliki NIK ganda dan 2.087.911 KPM yang memiliki NIK tidak valid.

- Bansos Program Sembako disalurkan kepada 1.035.331 KPM ganda identik dan 569.093 KPM ganda dalam keluarga serta belum seluruhnya dikembalikan ke kas negara.

- Penyaluran BST tidak sesuai dengan ketentuan sebanyak 289.838 KPM, karena terdapat KPM penerima BST lebih dari satu dalam satu keluarga, memiliki NIK ganda, dan telah menerima bantuan lain seperti Bansos PKH dan Program Sembako.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman