Rencana Pelemahan & Penyingkiran Pegawai KPK Kritis Muncul Sejak 2019

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengungkap fakta baru soal gerakan pelemahan KPK. Menurut dia, rencana tersebut mulai muncul sejak tahun 2019, termasuk untuk menyingkirkan pegawai KPK yang kritis.

"Rencana pelemahan KPK telah didengar secara informal oleh para pegiat HAM dan demokrasi sejak 2019. Disinyalir akan ada langkah penyingkiran terhadap
pada pegawai kritis KPK dengan pelaksanaan test tertentu disertai stigma Taliban, dan lain-lain. Itu artinya, sejak 2019 rencana pelemahan KPK sudah mulai disusun," katanya dalam sebuah webinar, Selasa (1/6/2021).

Baca juga : Mahfud Klaim Bakal Kembalikan UU KPK, Guna Memperbaiki Marwah

Menurut dia, proses pelemahan KPK sebagai ujung tombak perang terhadap korupsi saat ini, sesungguhnya adalah bagian tak terpisahkan dari agenda pelemahan KPK sejak
era cicak vs buaya (cicak vs buaya ke 4). Proses yang berurutan terjadi sejak peristiwa Hak Angket terhadap KPK oleh DPR, Pansel KPK yang dimasalahkan publik dan pegawai KPK sendiri karena bermasalah ihwal rekam jejak Firli Bahuri, dan adanya 56 anggota komisi 3 DPR RI yang setuju dengan Firli Bahuri.

"Revisi UU KPK pada 2019 adalah langkah pelemahan yang lebih jauh, yang kini bermuara pada pelaksaan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang nyata-nyata tidak
tercantum dalam revisi UU KPK dan Perppu No 41/2020," lanjutnya.

Baca juga : Pagai: Awas! Dawai Tua Para Bandit Alunkan Suara untuk Lemahkan KPK

Menurut dia, pidato Presiden Jokowi yang meminta 75 orang pegawai KPK tidak diberhentikan memunculkan framing dari mantan anggota pansel KPK bahwa Jokowi inkonsisten dengan revisi UU KPK. Framing tersebut sebenarnya ditujukan untuk menyetir kepala negara dan nalar publik bahwa TWK telah sesuai dengan revisi UU KPK.

"Juga, untuk menyetujui langkah penyingkiran terhadap 75 orang pegawai kritis KPK. Disinyalir kemudian jejaring aktor mantan pansel tersebut adalah dari kelompok yang sama dengan sebagai pendukung Firli Bahuri dan merupakan
bagian dari “sesi drama” cicak vs buaya 1 sd 4," kata dia.

Baca juga : Kritik Festival HAM, YLBHI: Tak Patut Merayakan dengan Pelanggarnya!

Dia pun menilai pelaksanaan test TWK KPK adalah pola yang amat berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil serta perang terhadap korupsi, karena
memunculkan stigmatisasi yang mirip dengan LITSUS di masa orde baru. Litsus adalah skenario mengerikan karena berjalan tanpa adanya proses pembelaan dari
yang terkena Litsus.

"Hal itu harus ditolak sekerasnya, karena kalau proses
penyingkiran 75 pegawai KPK dilakukan, jelas menjadikan demokrasi di Indonesia berjalan semakin mundur.
Jika pemerintah atau Presiden Jokowi tidak melakukan apa-apa bahkan mendiamkan saja dengan apa yang terjadi di KPK saat ini, maka presiden bisa dianggap merestui terjadinya pengabaian dan pelanggaran HAM. Presiden bisa
dianggap kalah pengaruh dengan para pimpinan KPK," kata Asfinawati.

"Padahal, presiden sebagai pemegang wewenang tertinggi KPK sesuai UU KPK yang baru, dapat mengambil alih delegasi wewenang telah diberian kepada pimpinan KPK," tutupnya.