Pukat UGM Sebut Ada Motif Rahasia Firli Dibalik Novel Dinonaktifkan

Jakarta, law-justice.co - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) FH UGM, Zaenur Rohman menyebut ada motif tersendiri dari pimpinan KPK khususnya Ketua KPK Firli Bahuri dalam penonaktifan penyidik senior KPK Novel Baswedan dan 74 pegawai lainnya.


"Menurut saya ini menunjukkan bahwa memang ada sesuatu yang menjadi motif dari dari pimpinan KPK khususnya Ketua KPK Firli Bahuri untuk menyingkirkan para pegawai KPK dengan segala cara," kata Zaenur, Rabu (12/5/2021).

Baca juga : Diduga Halangi Proses Pelanggaran Etik, Novel Laporkan Nurul Ghufron

Hal itu terlihat dari sikap yang tergolong nekat dari pimpinan KPK untuk terus melaju untuk membuang 75 pegawai tersebut meskipun mendapat protes oleh banyak pihak. Termasuk dengan penggunaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang absurd, diskriminatif dan tidak berkorelasi dengan tugas pegawai KPK selama ini.

Disebutkan Zaenur, jika menengok ke belakang bahwa upaya untuk menyingkirkan para pegawai tersebut sudah dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dengan cara kekerasan, intimidasi hingga dipersangkakan yang tetapi semua cara tersebut bertahun-tahun gagal.

Baca juga : Dewas KPK: Nurul Ghufron Urus Pegawai Kementan Dimutasi ke Malang

"Nah sekarang cara tersebut sepertinya hampir berhasil yaitu melalui satu uji yang disebut Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang pada dasarnya itu tidak diperintahkan oleh UU No 19 tahun 2019 maupun PP turunannya. TWK baru muncul di dalam Perkom No 1 tahun 2021 yang Perkom tersebut mencantumkan TWK atas perintah Ketua KPK Firli Bahuri," terangnya.

Lebih lanjut, UU Nomor 19 tahun 2019 itu memang tidak bermaksud untuk melakukan seleksi ulang terhadap para pegawai KPK. Melainkan bermaksud untuk mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Baca juga : Rutan Pom AL dan Guntur Akhirnya Dinonaktifkan KPK Buntut Kasus Pungli

"Sehingga seharusnya yang terjadi bukan seleksi ulang, bukan pengadaan pegawai, bukan tes ulang. Kenapa? karena para pegawai KPK tersebut ketika dulu masuk ke KPK sudah melalui tahapan seleksi, sudah melalui pendidikan dan juga sudah mengabdi sekian lama di KPK," tegasnya.

Menurutnya, TWK itu memang dirancang untuk menyaring nama-nama yang selama ini telah diincar oleh pihak-pihak tertentu. Sebab telah banyak melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang mengancam kepentingan banyak pihak khususnya pada para koruptor dan juga institusi-instusi lain.

Zaenur menuturkan bahwa TWK yang digunakan untuk menjegal para pegawai ini bertentangan dengan undang-undang KPK itu sendiri. Selain juga bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi (MK).


Sehingga tindakan itu menjadi kewenangan-wenangan yang dilakukan oleh pimpinan KPK khususnya oleh Ketua KPK.

"Sedangkan kita tahu nama-nama yang tidak lolos tersebut memiliki banyak catatan masa lalu bergesekan dengan ketua KPK saat ini ketika dulu masih di KPK," ujarnya.

Dikatakan Zaenur, dalam kondisi memprihatinkan KPK sejauh ini nyatanya juga belum mendapatkan respon dari pemerintah khususnya Presiden. Padahal hal ini menyangkut dengan pengalih statusan pegawai dari pegawai KPK menjadi ASN.

Kondisi semacam ini menunjukkan adanya pembiaran dari pemerintah termasuk presiden. Sebab belum lagi mengingat bahwa memang selama ini KPK sudah menjadi musuh bersama bagi banyak pihak.

"Pihak-pihak yang terganggu dengan sepak terjang KPK, dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi apalagi banyak sekali pejabat-pejabat negara yang telah ditersangkakan oleh KPK. Kemudian KPK menjadi common enemy dari pejabat di legislatif, eksekutif maupun yudikatif," tuturnya.

Pihaknya menyayangkan sikap presiden yang sejauh ini mendiamkan permasalahan semacan ini. Sudah seharusnya presiden secara jelas menyampaikan maksud pemerintah yang sejak dulu ketika melakukan revisi undang-undang KPK dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Apakah benar maksudnya adalah seleksi ulang pegawai KPK menjadi ASN atau itu alih status sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi," sebutnya.

Zaenur menambahkan bahwa dampak dari pembuangan 75 nama pegawai ini tentu dapat mengurangi kemampuan KPK dalam efektivitas penindakan yang selama ini dilakukan.

Selain pembiaran yang terkesan dilakukan oleh pemerintah khususnya presiden, kata Zaenur, Dewan Pengawas (Dewas) KPK pun sejauh ini juga belum terlihat banyak berperan aktif. Terlebih dengan kisruh kepegawaian yang terjadi di KPK saat ini.

"Dewas ya melaksanakan tugas pengawasan dan yang harus diawasi oleh Dewas adalah pimpinan dalam hal ini. Karena pimpinan melakukan tindakan sewenang-wenang seharusnya juga menjadi objek pengawasan dari dewas. Sejauh ini dewas kita lihat belum banyak berperan terkait dengan kisruh kepegawaian ini," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan bahwa Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, dan 74 pegawai lembaga antirasuah lainnya yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan, resmi dinonaktifkan.

Penonaktifan Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK itu termaktub dalam Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021, yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri tertanggal 7 Mei 2021.