Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Melanggar Hukum Tapi Ngotot Dipaksakan!

Kamis, 02/07/2020 05:50 WIB
Ilustrasi Ironi BPJS Kesehatan Defisit, di Saat Uang Melimpah di BPJS Tenagakerja

Ilustrasi Ironi BPJS Kesehatan Defisit, di Saat Uang Melimpah di BPJS Tenagakerja

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang termasuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Kenaikan iuran itu mulai berlaku hari ini tanggal 1 Juli 2020, 

Payung hukum yang mendasari kenaikan iuran BPJS itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Pengelola BPJS Kesehatan sendiri menyebarkan pesan singkat (broadcast) untuk mengingatkan para peserta terkait kenaikan iuran tersebut.

"Peserta Yth., ingat bayar iuran JKN! Mulai 1 Juli 2020 sesuai Perpres 64/2020 iuran Kelas 3 Rp25.500 dengan bantuan Rp16.500 dari pemerintah, Kelas 2 Rp100.000, Kelas 1 Rp150.000," tertulis dalam pesan singkat, sebagimana dikutip law-justice.co.30/6/2020.

Dengan adanya kenaikan itu efeknya akan semakin “menyempurnakan” derita yang  dirasakan oleh masyarakat ditengah mewabahnya pandemic virus corona. Semangat dan kegembiraan masyarakat yang baru tumbuh seiring dengan keluarnya putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS mendadak pupus dan berubah menjadi keprihatinan mendalam di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat kebijakan PSBB yang diberlakukan di berbagai daerah di Indonesia.

Seperti apa tanggapan publik menyikapi naiknya iuran BPJS di tengah pandemic virus corona?, Mengapa kenaikan iuran BPJS itu dinilai melanggar aturan yang sudah ada ?, Kalkulasi politik macam apa yang membuat presiden begitu percaya diri menaikkan kebijakan yang tidak popular di mata rakyatnya ?. Apakah kenaikan BPJS yang menganulir putusan MA itu sengaja dilakukan untuk memamerkan kekuasaannya ?

Ragam Tanggapan

Sebagaimana diketahui bersama, melalui Perpres  Presiden jokowi telah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan untuk masyarakat Indonesia. Kenaikan itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres tersebut, disebutkan jika Iuran BPJS Kesehatan Kelas I naik menjadi Rp150.000 dan Kelas II naik menjadi Rp100.000. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2020. Adapun untuk kelas III yang menjadi Rp35.000 baru akan naik pada tahun 2021. 

Padahal sebelumnya, MA telah membatalkan Perpres Nomor 75/2019. MA mengembalikan iuran menjadi sebesar Rp25.500 untuk kelas III, sebesar Rp51.000 untuk kelas II, dan sebesar Rp80.000 untuk kelas I. Putusan MA ini membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang ditantangani Jokowi tentang Jaminan Kesehatan.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto  sebagaimana dikutip cnn. Indonesia, menyatakan pemerintah sengaja menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan demi menjaga keberlanjutan (sustainibility) lembaga tersebut. Dengan kata lain, keuangan BPJS Kesehatan diharapkan lebih stabil dengan kenaikan iuran peserta.

"Terkait dengan BPJS Kesehatan sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," tutur Airlangga dalam video conference, Rabu (13/5).

Ia berharap kenaikan iuran peserta dapat membuat operasional BPJS Kesehatan lebih lancar ke depannya. Dengan demikian, masalah utang BPJS Kesehatan ke berbagai instansi seperti rumah sakit dan apotek bisa ditekan."Kenaikan iuran diharapkan bisa membuat keberlanjutan daripada operasional BPJS Kesehatan itu sendiri," tutur dia.

Sementara itu menurut  Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma`ruf, menyatakan bahwa kenaikan iuran tersebut untuk membantu peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III.

"Perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI, khususnya dari para Anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III," kata Anas lewat keterangan tertulis, Rabu (13/5/2020).

Menurut Mantan Ketum Muhammadiyah M. Din Syamsudin, kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bijak. Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan hanya lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat. Di tengah kesusahan akibat Wabah Corona, Pemerintah menambah kesusahan itu.”Kita menuntut Pemerintah untuk menarik kembali keputusannya, karena kalau dipaksakan maka rakyat dapat melakukan pengabaian sosial (social disobedience)”, katanya.

Patut dipertanyakan mengapa BPJS sering berhutang kepada Rumah Sakit; ke mana uang rakyat selama ini? Jika benar uang itu dipakai untuk proyek infrastruktur, maka itu dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abdi menilai Perpres No.64/2020, secara sosial ekonomi tidak mempunyai empati. Mengingat kondisi masyarakat secara ekonomi terpuruk oleh wabah covid-19. Sekalipun untuk kelas 3 kategori peserta mandiri telah diberikan subsidi, tetapi membayar Rp 25.000 per orang akan terasa sangat berat.Sehingga Perpres ini berpotensi mengerek tunggakan iuran masyarakat dan akhirnya target untuk meningkatkan revenue BPJS Kes sulit tercapai. 

Ia menyarankan, idealnya pemerintah menggunakan cara lain untuk menginjeksi biaya operasional BPJS Kesehatan, tanpa harus membebani masyarakat dengan kenaikan tarif. Misalnya pemerintah bisa menaikkan cukai rokok untuk kemudian pendapatan cukai rokok langsung didedikasikan untuk keperluan BPJS Kesehatan. 

Kenaikan cukai rokok juga mampu mengusung gaya hidup masyarakat yang lebih sehat, sehingga mampu menekan penyakit tidak menular yang selama ini menjadi benalu finansial BPJS Kesehatan. Apalagi di saat pandemi perilaku merokok sangat rawan menjadi triger terinfeksi Covid-19.

Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra kepada Ayojakarta, Rabu (13/5/2020), menyatakan, Perpres yang menaikkan kembali iuran BPSj dinilai janggal. "Terasa agak aneh keberadaan Peraturan Presiden ini seolah abai dengan rasa keadilan sosial dan tidak mempertimbangkan situasi yang diraskan masyarakat pada umumnya," katanya.

Sementara itu Dosen Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Pasundan, Firman Turmantara Endipradja menilai, menaikkan kembali iuran BPJS dirasakan tidak logis  lantaran dapat sepenuhnya membebankan kepada masyarakat yang saat ini sedang kesusahan terkena  imbas pandemi global Covid-19 alias virus corona.

"Ini tidak logis defisit BPJS dibebankan kepada masyarakat yang sedang terkena imbas pandemi. Jangan memaksakan diri berargumentasi yang tanpa alasan karena realisasinya seperti ini, masyarakat lagi susah," kata Firman sebagaimana dikutip ayobandung.com, 13/05/2020.

Senada dengan Firman, Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi menilai pemerintah salah besar mengerek iuran BPJS Kesehatan saat ekonomi masyarakat sedang sulit-sulitnya seperti sekarang. Menurut Fithra, kebijakan ini bisa berimbas pada daya beli masyarakat ke depannya.

"Momentumnya sangat tidak tepat, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau gaji turun minimal 30 persen karena wabah virus corona yang semakin masif. Ini tentu membebani masyarakat," ungkap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar dilansir dari Kontan.co.id pada Selasa (12/5/2020), menyatakan bahwa kebijakan menaikkan iuran BPJS saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak punya kepekaan sosial. "Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini putusan MA hanya berlaku 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni 2020," katanya.

Tanggapan lebih keras disampaikan oleh mantan  Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.Pigai menilai, apa yang dilakukan Jokowi sengaja untuk menyengsarakan rakyat. Terlebih saat ini kondisi dalam pandemi COVID-19."Seorang Presiden tidak boleh secara sengaja dan sadar membuat rakyat sengsara. Sudah kategori Mens Rea “ secara sadar berniat amputasi hak rakyat miskin, fakir miskin, orang2 terlantar dan tidak mampu," tulis Pigai di Twitternya.

Kebijakan Melanggar Hukum

Hampir semua pakar hukum menilai bahwa kebijakan presiden Jokowi yang menaikkan kembali iuran BPJS setelah dibatalkan oleh MA adalah suatu pelanggaran hukum oleh seorang kepala negara. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai Presiden Joko Widodo bisa dianggap melanggar konstitusi bila terbukti sengaja menentang keputusan MA.

"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan. Jika itu disengaja presiden bisa berbahaya karena itu dapat menjadi alasan sebagai pelanggaran konstitusi," kata Feri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).

Terpisah, pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar mengatakan Jokowi sudah mempermainkan hukum dengan kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, pemerintah seharusnya merespons putusan MA dengan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Secara yuridis Presiden dengan kekuasaannya sudah mempermainkan hukum. Sesuatu yang sudah jelas seharusnya direspons dengan penghormatan terhadap keputusan MA yang membatalkan perpres kenaikan BPJS," katanya.

Fickar berpendapat, sikap ini jelas mengindikasikan bahwa Jokowi sudah tidak menghormati hukum di negara yang menganut hukum demokrasi. Menurutnya, bila dilihat dari aspek ketatanegaraan maka seharusnya langkah Jokowi ini ada konsekuensinya.

"Alasan apapun untuk menaikan BPJS Kesehatan dan melecehkan putusan MA adalah alasan yang bertentangan dengan akal sehat. Jangankan etika sebagai dasar sikap etis, hukum saja dilecehkan, akan dibawa ke mana republik ini?" ujarnya.

Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum dan bermain-main dengan putusan Mahkamah Agung (MA).

"Langkah Presiden adalah bentuk pembangkangan hukum. Dalam Putusan MA 7P/2020, terdapat kaidah hukum yang dinyatakan hakim agung bahwa kebijakan menaikan iuran BPJS melanggar hukum sebab tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai dari segi yuridis, sosiologis, dan filosofis," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam keterangan tertulis, Kamis (14/5).

Bahwa kebijakan Jokowi yang menaikkan kembali iuran BPJS melanggar hukum juga disampaikan oleh Mantan Menteri Kehutanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, M.S Kaban. Ia mengaku prihatin atas cara pengelolaan bernegara oleh Presiden Joko Widodo yang tidak patuhi putusan Mahkamah Agung soal BPJS Kesehatan.Hal itu disampaikan M.S Kaban saat menghadiri konferensi pers Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia (PN MPBI) di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (13/5).

"Nah dalam hal ini menyangkut masalah pengutipan dana BPJS yang sudah di tetapkan MA sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 45 dan UU tapi tetap dilakukan, saya katakan prihatin," Tambahnya.M.S Kaban menyebutkan, bahwa pengelolaan negera yang dilakukan Presiden Jokowi telah menampikkan hukum yang sudah jelas ditegaskan oleh MA.

Secara hukum dengan adanya putusan atas peninjauan kembali atau judicial review (JR) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan maka keputusan itu langsung berlaku sejak tanggal putusan, yaitu 27 Februari 2020.

Sehingga keputusan MA itu harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagaimana mestinya. Tetapi yang terjadi alih alih mengamankan keputusan MA dan melaksanakannya, presiden justru mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menaikkan kembali iuran BPJS.

Awalnya dengan adanya keputusan MA , pemerintah sendiri dianggap telah  menerima putusan hakim MA tersebut karena tidak melakukan  banding. Bahkan saa itu Menko Polhukam Mahfud MD  sendiri memastikan pemerintah akan mengikuti putusan Mahkamah Agung soal pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurut Mahfud, judicial review tersebut sekali diputus final dan mengikat."Oleh sebab itu, kita ikuti saja, pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/3).

Saat itu Mahfud MD juga menerangkan bahwa judicial review berbeda dengan gugatan perkara maupun perdata yang masih memiliki celah untuk ditinjau kembali."Putusan MA, kalau judicial review itu adalah putusan yang final, tidak ada banding terhadap judicial review. Berbeda dengan gugatan perkara, perdata atau pidana itu masih ada PK ya, kalau sudah diputus oleh MA di kasasi," jelas dia.

Hal ini juga dikuatkan oleh  pendapat pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul yang mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa mengajukan banding ataupun kasasi terkait putusan judicial review Perpres 75/2019."Enggak bisa, enggak ada upaya hukum. Ini putusan langsung mengikat," kata Chudry seperti di kutip cnn.indonesia.com 9/3/2020.

Dengan demikian menjadi pertanyaan kiranya kalau sekarang tiba tiba Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres yang membatalkan keputusan MA, atas dasar apakah kiranya keputusan itu diambil oleh seorang presiden Indonesia. Pada hal disana ada banyak banyak pakar hukum yang paham duduk soalnya. Termasuk Profesor Mahfud MD yang seharusnya memberikan masukan yang benar kepada atasannya. 

Kalkulasi Politik

Kebijakan menaikkan kembali iuran BPJS tak pelak  membuat rakyat makin sengsara ditengah pandemi virus corona.Karena untuk makan saja susah, harus ditambah beban dengan naiknya iuran BPJS yang semula sudah di turunkan iurannya.

Banyak orang yang bertanya tanya mengapa presiden kelihatan begitu nekad memutuskan suatu kebijakan yang tidak popular dan melanggar hukum ditengah pandemic corona.  Bisa jadi salah satu pertimbangannya adalah bahwa saat ini Presiden sudah masuk ke periode kedua. Karena sudah masuk ke periode kedua maka baginya tidak ada lagi ada beban untuk mempertahankan citranya. Tidak juga harus memikirkan elektabilitas dan kredibilitasnya. Karena toh tidak akan bisa mencalonkan diri untuk menjadi presiden pada periode berikutnya.

Yang penting dengan kebijakan manaikkan kembali iuran BPJS itu meski melanggar hukum dan banyak ditentang, bisa memperpanjang nafas institusi BPJS yang sekarang tengah dilanda defisit yang luar biasa. Sebab kalau BPJS dibiarkan kolaps karena defisit yang makin melebar maka yang terkena nanti adalah presidennya juga. 

Makanya salah satu satu caranya  barangkali adalah dengan mempertahankan eksistensi dari lembaga itu meskipun rakyat kemudian yang menjadi korbannya. Ini adalah cara paling gampang untuk “menolong” BPJS yang sudah sampai ke pinggir jurang kebangkrutannya. Soalnya mau ditambal dengan hutang, rasanya hutan pemerintah sudah luar biasa besarnya sampai sampai harus di lebarkan angka defisit APBN dari 3 % menjadi 5 % agar presiden jangan dianggap melanggar haluan negara.

Tetapi barangkali presiden lupa bahwa dengan adanya kebijakan blunder menaikkan iuran BPJS secara melawan hukum itu akan mempunyai dampak yang tidak sederhana. Karena kebijakan itu meskipun mungkin belum berdampak signifikan pada kekuasaannya tetapi kebijakan ini hampir pasti akan menjadi bahan/ amunisi pihak “oposisi” untuk menyerangnya.

Misalnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan menjadi senjata di pilkada Desember  nantinya. Gibran Rakabuming, putra Jokowi, yang  maju di Pilkada Solo bakal terkena imbasnya yang  akan diserang karena kebijakan ayahnya. Begitu juga Bobby Nasution, menantu Jokowi yang maju di Pilkada Medan, juga bisa saja diserang karena kebijakan mertuanya. 

Sementara itu partai partai “oposisi” seperti demokrat,PKS dan PAN tentu tidak akan tinggal diam untuk tidak memanfaatkannya. Kebijakan blunder Jokowi tentang BPJS bisa dijadikan amunisi untuk menyerang pemerintah yang sedang berkuasa. Sangat mungkin serangan serangan tidak akan sampai membuat Jokowi kehilangan kursinya karena kalau kita lihat formasi kekuatan di DPR/ MPR sekarang didominasi oleh partai pendukung penguasa.

Tetapi paling tidak serangan serangan itu akan mampu menaikkan daya tawar partai partai “oposisi” itu untuk menaikkan posisinya dimata rakyat pada pemilu 2024 nantinya. Hal ini bisa terjadi jika pergerakan pemilih cerdas semakin bertambah sehingga menentukan komposisi perolehan suara bagi partai yang mendandalkan basis intelektualnya.

Tetapi kalau para pemilih masih didominasi kalangan tradisional atau emosional, sepertinya isu isu terkait dengan jebloknya kinerja penguasa itu tidak akan banyak berpengaruh pada pergerakan perolehan suara. Buktinya partai partai yang menjadi juara korupsi dan banyak melakukan penyimpangan hukum oleh kader kadernya masih juga menjadi pemenang pemilu alias menjadi juara.

Kok dipamer-pamerkan ?

Pada akhirnya kami  membaca bahwa kenekatan Presiden yang tetap  menaikkan iuran BPJS melawan keputusan MA merupakan suatu bentuk kebijakan penguasa yang sudah berputus asa. Karena dalam kondisi normal seharusnya kebijakan itu tidak dilakukannya apalagi sekarang ini rakyat sedang mengalami kesusahan karena sedang dilanda pandemi virus corona.

Kebijakan yang melanggar hukum itu seolah olah juga ingin memperlihatkan bahwa presiden mempunyai kekuasaan luar biasa dimana  tidak ada kekuatan yang bisa menentangnya sehingga ia bisa bertindak semau maunya. Tetapi hakekatnya  hal ini justru memperlihatkan sosok pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin yang tidak bisa merasakan kesusahan yang sedang dirasakan oleh rakyat yang sekarang sedang timpa bencana. Pemimpin yang kehilangan simpati dan empatinya sehingga hilang rasa.

Kebijakan menaikkan iuran BPJS pada hal melanggar hukum juga memperlihatkan perilaku arogan, pamer kekuasaan karena merasa tidak ada lagi yang bisa menghadangnya. Pemimpin yang terang terangan melanggar hukum tanpa ada rasa bersalah atau menyesali perbuatannya.  Pada hal yang namanya pemimpin itu seharusnya menjadi tauladan bagi rakyatnya. Perilakunya menjadi acuan alias contoh untuk ditiru oleh rakyat yang dipimpinnya. Presiden Jokowi seharusnya memberikan contoh kepada rakyatnya untuk taat dan tunduk pada konstitusi negara.

Uniknya orang orang disekitar penguasa sepertinya diam diam saja menyaksikan itu semua, atau bahkan mungkin ada agenda untuk menjerumuskannya ?. Sosok seperti professor Mahfud MD misalnya sesungguhnya bisa menjadi konsultan hukum bagi presiden untuk mengingat langkah langkah presiden dalam menjalankan kebijakannya yang tidak sesuai dengan aturan /norma yang ada. Tetapi kita tidak tahu mengapa hal itu tidak dilakukannya.

Dari sisi presiden sendiri nampaknya saat ini sudah pada tahapan tingkat kejenuhan yang tinggi dalam mengelola negara. Utang yang bertambah terus, ekonomi yang melambat, banyaknya rakyat yang terkena PHK serta pandemic virus corona yang tidak jelas kapan berakhirnya, barangkali telah membuat presiden lelah pikirannya.

Dalam kondisi seperti ini barangkali patut juga dipertimbangkan saran dari MS Ka’ban mantan menteri yang berkuasa ketika SBY berkuasa. Dalam konferensi pers Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia (PN MPBI) di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (13/5/20) lalu ia  menyarankan agar Presiden Jokowi meniru langkah Presiden Soeharto jika tidak sanggup mengelola negara.

"Kalau sudah merasa tidak sanggup mengelola negara, ya lebih bagus ambil sikap, sikap itu yang paling elegan ya apa yang dicontohkan oleh Pak Harto dulu, ya menyatakan berhenti sebagai presiden," pungkasnya. Tetapi mungkinkan itu berani  dilakukannya ?.

Kini ditengah tengah amburadulnya pengelolaan pemerintahan, presiden menghembuskan isu resufle kabinet untuk mengganti menteri menterinya yang dianggap tidak becus bekerja. Sinyal penggantian kabinet itu di tunjukkan ketika ia berpidato marah marah dihadapan para menterinya.  Uniknya meskipun isu resufle kabinet dihembuskan oleh  pihak istana, yang ramai justru banyak orang mempertanyakan kapan resufle presiden yang sekarang berkuasa.

 

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar