Meikarta dalam Seribu Tanya

Sabtu, 28/10/2017 14:14 WIB
Chief Executive Officer Meikarta Ketut Budi Wijaya menyatakan mereka akan tetap jalan sesuai rencana. (Foto Istimewa)

Chief Executive Officer Meikarta Ketut Budi Wijaya menyatakan mereka akan tetap jalan sesuai rencana. (Foto Istimewa)

Jakarta, law-justice.co - MEIKARTA adalah sihir yang seketika memerangkap pikiran orang Indonesia. Kota super-modern yang ditawarkannya lewat iklan yang paling intens dalam sepanjang sejarah negeri kita telah menjadi citra yang membenam di kepala jutaan orang di negeri ini. “Bawalah aku pergi dari sini….aku ingin pindah ke Meikarta,” bukan sekadar penggalan teks iklan lagi dalam pemaknaan kanak-kanak kita, melainkan dambaan berkemendesakan.

Sangat berhasil Meikarta dalam pencitraan diri.  Namun, mereka kemudian tersandung karena rupanya belum memenuhi ketentuan terkait perizinan. Lantas apakah langkah mereka akan menjadi surut setelah disoal sejumlah otoritas negara, termasuk Pemerintah Daerah Jawa Barat? Tampaknya tidak juga. Buktinya hingga hari ini mereka masih terus beriklan dengan memanfaatkan aneka ruang,  termasuk media massa.

Di sisi lain masyarakat sendiri tetap antusias menjalin hubungan bisnis dengan mereka. Lihatlah gerai-gerai mereka di mal: suasana di tempat ber-live music ini tetap saja ramai. Jadi, seperti kata pepatah lama: anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Chief Executive Officer Meikarta Ketut Budi Wijaya, dalam konferensi pers yang digelarnya kemarin (Jumat 27 Oktober), menyatakan mereka akan tetap jalan sesuai rencana. Setidaknya menggarap lahan 84, 6 hektar yang sudah memiliki Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dulu. Sambil jalan mereka akan mengupayakan izin sesuai luas kapling yang mereka iklankan (500 hektar).

Terlepas dari kecerlangan strateginya dalam melambungkan diri serta urusan perizinan yang membelitnya sekarang, Meikarta memang sebuah penyimpangan (anomali) yang memunculkan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan besar adalah: bagaimana ia muncul dengan konsep yang serba gigantik di saat bisnis properti sedang sempoyongan di mana-mana?

 

Lesu darah

Lippo Group, menurut  laporan Reuters pada 5 Mei lalu, akan membangun pusat industri di antara koridor Jakarta – Bandung senilai US$ 21 miliar. Di sana bakal ada industri otomotif dan elektronik, hotel bintang lima, pusat perbelanjaan,  dan kampus. Proyek Meikarta ini merupakan gawe terbesar Lippo Group selama 67 tahun kiprahnya. Dalam menghadirkan salah satu kota yang terpenting di Indonesia kelak, mereka bersekutu dengan Mitsubishi Group Jepang, Toyota, dan Sanko Soflan Holdings Co Ltd.

Masih menurut laporan Reuters, dalam tahap pertama yang akan dibangun adalah  area seluas sekitar 2.000 hektar  di koridor Jakarta – Bandung. Kawasan industri rakitan mobil, sepeda motor dan elektronik mengelilinginya.

Meikarta telah melakukan pra-penjualan sejak akhir Mei lalu. Pembangunan tahap pertama ditargetkan selesai dalam waktu 3 tahun. Selain dari modal sendiri, Lippo akan membiayai proyek Meikarta dari utang dan hasil pra-penjualan.

Merupakan anomali bahwa Meikarta hadir di saat bisnis poperti sedang lesu darah di seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia. Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),  Salamuddin Daeng menggambarkan kondisi bisnis porperti di negeri kita sekarang seperti berikut.  

Sektor properti kita menurun sejak 2015. Itu terlihat dari keuntungan bersih tiap-tiap perusahaan pada triwulan (tiga bulan) pertama 2016. Agung Podomoro, misalnya, keuntungannya menurun hingga 28%. Alam Sutra Realty 18%, Bumi Serpong Damai 6%, Ciputra Development 8%, Lippo Karawaci 9%, Pakuwon 23%, dan Summarecon Agung 28%. Secara keseluruhan Property and Real Estate Index loss 100% sepanjang 2016.

Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) mencatat pada 2014 saja ada 12 ribu unit pasokan apartemen. Lalu, jumlah itu meningkat menjadi 26 ribu unit pada tahun berikutnya. Jumlah pasokan pada 2014 saja tidak terserap secara keseluruhan karena permintaan melambat.

Riset Colliers International Indonesia menyebutkan pasokan apartemen 2015 hingga 2016 bertambah sebanyak 47.269 unit. Dari total pasokan itu, 36 persen di antaranya masuk pada 2016.

Kelesuan pasar membuat para pengembang kesulitan likuiditas. Salamuddin mengutip laporan Institute of International Finance berbasis Washington pada 2015 yang menyebutkan: utang perusahaan properti se-jagat sekitar US$ 25 triliun. Cina merupakan salah satu negara yang paling menumpuk utangnya  di sektor properti. Secara keseluruhan utang publik mereka ini 2016 mencapai US$ 31,7 triliun, sebagian besar di sektor properti.

“Utang global sektor properti itu telah menyebar ke Indonesia, masuk ke perusahaan-perusahaan pengembang besar. Keuntungan sebagian besar perusahaan properti Indonesia pun tersapu sepanjang 2015,” kata Salamuddin saat dihubungi pada 27 Oktober 2017.

Salamuddin menduga, ada agenda tersembunyi dari masifnya pembangunan sektor properti di wilayah sekitar Jabodetabek sekitarnya. Agenda tersembunyi itu antara lain adalah untuk menyelamatkan perusahaan pengembang dari jeratan utang.

Salamuddin menduga, kehadiran Meikarta yang sensasional tidak terlepas dari persoalan utang yang harus dijamin dengan tanah yang luas. “Perusahaan properti yang sedang lesu darah ingin menjadikan lahan sebagai jaminan utang,  baik ke lembaga keuangan nasional maupun internasional;  juga ke pasar keuangan global,” tutur dia.

Berdasarkah dugaan Salamuddin Daeng? Waktu akan menjawabnya. Juga menjawab seribu tanya.  (Kristian Ginting, Teguh Nugroho, Reko Alum)

(Reko Alum\P. Hasudungan Sirait)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar