Albertina Ho, S.H., M.H Srikandi Hakim dan Anggota Dewan Pengawas KPK

Hidup Mengalir, Tidak Peduli Apa Kata Orang Walau Putusan Dicerca

Jum'at, 29/10/2021 07:00 WIB
Hakim senior dan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho (Dok.KPK)

Hakim senior dan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho (Dok.KPK)

Jakarta, law-justice.co - Siapa tidak kenal dengan hakim perempuan satu ini. Namanya bikin ciut nyali koruptor dan pelaku kejahatan lainnya.

Albertina Ho, S.H., M.H. yang lahir 11 Januari 1960 adalah seorang hakim karier wanita pada Peradilan Umum dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Nama Albertina mulai dikenal publik ketika menjadi ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Karena kegigihan, ketegasan, kecermatan dan kekukuhannya sebagai hakim wanita, Albertina Ho mendapat julukan “srikandi hukum” oleh sebagian kalangan. Pada April 2016, Albertina Ho bertugas sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Medan dan kini ditunjuk menjadi Anggota Dewan Pengawas KPK.

Simak wawancara Jurnalis Law-Justice.co Yudi Rachman dengan Hakim Senior Perempuan yang juga Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho berikut ini :

Ceritakan soal sejarah dan latar belakang Anda hingga bisa menjadi hakim?
Kalau ditanya kenapa sih ibu menjadi hakim, saya tidak bisa menjawab. Jawaban saya begini ya karena pada waktu itu ada lowongan penerimaan calon hakim, saya daftar saya diterima. Jadi saya itu kuliah ambil fakultas hukum, mengalir begitu saja ya, kuliah lulus, tidak bercita-cita lah nanti saya lulus mau bekerja di sini, mau jadi apa, tidak.

Saya berpikir sederhana dengan pikiran saya, dari desa, pikirannya sederhana saja. Selesaikan perguruan tinggi selesai, kuliah lulus, diterima bekerja. Kemudian ada tes calon hakim saya mendaftar kemudian saya jalani.

Saya pertama ditempatkan calon hakim di PN Yogyakarta, kemudian saya ikut pendidikan calon hakim di daerah Cinere. Dulu hakim masih di bawah Departemen Kehakiman, salah satu direktoratnya mengurus hakim-hakim.

Mengikuti pendidikan, kalau saya tidak salah itu pendidikan 4 bulan kemudian kembali ke PN Yogyakarta kemudian magang disana. Sebelum belajar sidang, Ketua PN Yogyakarta itu sangat teliti sekali punya naluri sebagai pengajar. Senang mengajar calon hakim. Dulu dia bilang besok kalau jadi hakim harus tahu semua yang dikerjakan orang di Pengadilan, itu prinsip beliau. Untuk itu harus belajar semuanya, kami belajar dari bagian umum.

Dulu kami kerjanya buat amplop, dulu itu tidak ada amplop, tidak seperti sekarang. Dulu anggarannya terbatas, jadi kerta bekas dipotong-potong menjadi amplop. Saya ingat persis dulu awal sekali saya magang saya belajar membuat amplop. Jadi kalau jadi hakim harus tahu bagaimana staf-staf anda membuat amplop. Jadi seluruh pekerjaan apa pun di Pengadilan kami harus belajar.


Hakim senior dan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho (Dok.KPK)

Dari bagian umum, kemudian pindah ke bagian keuangan, dari keuangan belajar lagi di perpustakaan, rapihkan perpustakaan, rapihkan buku-buku. Kita mulai belajar di bagian sekretariatan dan kemudian kepaniteraan.

Kita di paniteraan harus mulai meregister surat-surat gugatan dengan tulisan tangan ratusan halaman kami harus tulis di buku tulis tangan, kami pelajari itu. Kami juga dibebani untuk buat makalah dan diseminarkan diantara kita.

Ceritakan perjalanan karir Anda dari hakim junior hingga menjadi hakim di Pengadilan Tinggi?
Saya jalani sebagai calon hakim di PN Yogyakarta itu hampir 4 tahun, kemudian Kepres saya sebagai hakim keluar. Lepas 4 tahun saya berangkat dan pertama kali ditempatkan di PN Slawi Kabupaten Tegal. Pertama kali di tempatkan di PN Slawi selama 5 tahun setengah, kemudian saya dipindahkan ke PN Temanggung itu saya 6 tahun, kemudian saya dipindahkan ke PN Cilacap saya jalani 2 tahun lebih.

Kemudian di PN Cilacap saya dimutasi sebagai assisten koordinator di Mahkamah Agung kebetulan saya Assisten Koordinator Tim B1 yang ketua timnya adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial.

Saya kira di Mahkamah Agung sebentar ternyata cukup lama, saya menghabiskan waktu di Assisten Koordinator sekitar 4 tahun kemudian dari situ saya dipindahkan ke PN Jakarta Selatan selama kurang lebih 3 tahun lalu dipindahkan sebagai Wakil Ketua PN Sungai Liat.

Di PN Sungai Liat satu tahun setengah kemudian saya diangkat sebagai Ketua PN Sungai Liat setelah itu dari Sungai Liat saya mengikuti tes dan lulus kemudian saya dipindahkan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang.

Dari Palembang sekitar 8 bulan, kemudian saya dipindahkan ke Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, saya jalani sekitar 1 tahun 3 bulan. Lalu dipindahkan menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan. Saya jalani di Medan sekitar 2 tahun lebih, kemudian saya ikut fit n proper test kemudian September 2019, saya dipindahkan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, di Kupang saya jalani.

Ternyata September 2019 saya ditunjuk oleh Bapak Presiden Joko Widodo sebagai Dewan Pengawas KPK. Semua mengalir dan saya jalani saya tidak ada yang khusus-khusus.

Bisa ceritakan suka dukanya menjadi hakim terutama hakim di daerah terpencil dan kota besar seperti Jakarta?
Jelas berbeda, kalau di kota besar volume perkara lebih banyak kita harus bersidang itu dengan frekuensi yang tinggi. Mungkin kalau di kota kecil, kita bisa sidang mungkin 10 perkara. Kalau di kota besar, bisa 40-50 perkara sehari, itu jelas ya perbedaan.

Sekarang kita bicara kompleksitas perkara itu sendiri, perkara kalau di kota kecil tidak sekompleks di kota besar apalagi kalau menyangkut perkara perdata, tentu saja berbeda. Kalau di kota kecil paling hutang piutang, jual beli tidak bayar. Kalau di kota besar para pihak ada korporasi besar bukan perorangan lagi, itu jelas sangat berbeda.

Kalau ditanyakan soal ketelitian, ya kita sama-sama harus teliti, baik di kota besar atau kecil dalam menangani perkara. Kita lihat kalau sistem karir hakim di Mahkamah Agung, seorang hakim itu mulai berkarir dari kota kecil. Dari kota kecil itu kita mulai belajar,punya banyak waktu untuk membaca, perkara belum terlalu kompleks, kita banyak belajar. Kemudian pindah ke kota yang lebih besar sedikit dan pada akhirnya baru di kota besar, setelah di kota besar kita menduduki jabatan struktural, kita kembali ke kota kecil lagi.

Suka duka menangani perkara peradilan yang berhubungan dengan public figure seperti pejabat atau korporasi besar?
Sukanya saya senang, saya pindah ke mana-mana, saya lebih berpikir pindah ke mana mana gratis, meski pun baru datang ke situ senang toh, kalau terlalu lama mumet juga, apalagi kotanya kecil, tempanya kurang nyaman. Tetapi kita harus memotivasi diri kita sendiri untuk buat tempat ini enak dan kita betah. Kalau kita belum jalani, wah tempat ini tidak enak, akhirnya tertanam di pikiran kita. Jadi saya mengalir menerima apa adanya.

Ada pameo hakim yang ditempatkan ke daerah itu hakim buangan, bagaimana pendapatnya?
Ya betul ada pameo seperti itu, ada itu jelas, ya saya nikmati dan saya jalani saja. Kalau memang menurut pimpinan saya harus dipindahkan ke situ ya saya jalani saya. Kenapa saya harus ke tempat seperti itu dan kenapa tidak ke tempat yang enak.

Saya selalu bilang ke diri saya, yang penting saya bekerja saja yang baik-baik. Harus ditanamkan pikiran siapa kamu, apa sih yang sudah kamu lakukan, supaya kita tidak merasa tinggi, tidak, ya jalani sederhana saja, enak-enak saja. Jadi lebih ke diri sendiri.

Itu suka dukanya hakim yang dimutasi. Kadang kita baru buka barang barang, menata barang-barang, dusnya sudah dibuang terpaksa beli dus baru lagi.

Ada suka duka dalam menangani kasus memang kalau saya menanamkan dalam pikiran kita, apa pun yang saya putuskan tidak akan mampu memuaskan semua orang.

Apalagi pihak-pihak berperkara, pasti semua mau menang, pasti semua orang tidak mau dihukum.

Kita ini mengerjakan suatu pekerjaan di tengah-tengah, di antara dua keinginan yang berbeda. Di perkara pidana, jaksa maunya dia dihukum, sementara terpidana maunya dia bebas. Di perkara perdata penggugat maunya dia menang, tergugat juga mau menang, jadi keinginan yang berbeda dan bertentangan pihak-pihak yang ada di pengadilan.

Jadi jangan kita harapkan bahwa bisa memuaskan mereka. Untuk itu prinsip saya adalah, bagi saya yang penting adalah saya sudah maksimal menyidangkan perkara itu, saya sudah maksimal membuktikan, mempertimbangkan semua bukti-bukti yang diajukan di persidangan itu tentu saja sesuai dengan ketentuan aturan hukum yang ada dan tidak terlepas dari kemampuan saya, mungkin juga kemampuan saya sebagai manusia terbatas.

Hal yang sangat penting adalah dalam memutuskan itu saya tidak punya kepentingan apa pun, saya tidak punya kepentingan bahwa penggugat harus menang, saya tidak punya kepentingan tergugat harus menang, saya tidak punya kepentingan ini harus saya hukum, ini harus saya bebas, tidak ada.

Saya ikuti aturannya, kalau ini harus saya putus, orang tidak puas ya sudah. Kalau nanti saya putus, saya di Pengadilan Negeri kemudian di Pengadilan Tinggi keputusan saya dibatalkan tidak apa-apa juga bagi saya. Saya sudah putuskan itu secara optimal sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki. Tentu saja sebelum mengambil keputusan itu tidak terlepas kita berdoa, memohon bimbingan agar tidak keliru dalam mengambil keputusan.

Kalau itu sudah dilakukan semua, ya sudah selesai. Kalau sudah saya putus kemudian orang berteriak-teriak, ribut-ribut, saya biar saja. Orang bilang saya menerima sesuatu, biar saja, yang penting kan tidak. Nah itu dukanya di situ.

Tapi ada sukanya juga kadang-kadang, kadang-kadang ada kita putus suatu perkara, itu di kota kecil, kadang orang maju sendiri orang tidak menggunakan advokat kemudian kita putus dia menang, kadang itu senang sekali orangnya sampai datang sendiri ke meja sidang, mengucapkan terima kasih bu hakim dan pak hakim, sementara kita lirik sebelahnya itu marah dengan kita.

Paling tidak kalau saya, saya sudah memberikan keadilan untuk dia, dan menurut saya patut dia menang. Masalah di sebelah marah-marah biar saja, silakan Anda menggunakan upaya hukum. Itu suka dukanya dalam menangani perkara.

Bagaimana soal memutuskan perkara yang besar misalnya korupsi dan menyangkut publik figur apakah ada tekanan?

Kalau kita menangani perkara yang besar misalnya korupsi dan perkara korporasi yang besar
Tentu saja tekanan-tekanan publik itu pasti ada, kalau tidak ada bohong itu. Misalnya salah satu yang saya anggap tekanan adalah misalnya di persidangan saksi dan orang menjelaskan begini begini.

Kemudian besok kita baca di pemberitaan dan kita nonton di TV kok yang dikutip tidak semuanya, malah separonya yang menimbulkan penafsiran dan pendapat lain. Yang bagian sini kok tidak muncul, bagi saya ya sudah biarkan saja.

Ada lagi bagian lain tidak dikutip yang dikutip bagian yang lain. Ini kadang-kadang digiring oleh publik menjadi suatu opini publik bahwa putusan akhirnya akan berakhir seperti ini, karena kutipan tidak lengkap. Harus putusannya menjadi A. Dan waktu kita memutus tidak A dan putusannya B, ya ampun. Saya semampu-mampunya tabah sajalah membaca atau mendengar komentar ahli-ahli di TV, itu sudah ngelus dada saja.

Kenapa saya mau membaca, tetapi teman-teman tidak mau membaca berita itu menambah pusing saja. Kalau saya tetap membaca, hal-hal yang saya lihat penggirangan opini menjadi A justru dalam keputusan saya itu akan saya jelaskan, ini lho ada hal-hal seperti ini yang memang tidak menjadi konsumsi publik. Ini bisa jadi catatan saya putusan saya bisa jadi lengkap. Itukan yang namanya kalau sudah opini, orang tidak mau dengar putusan kita. Itu pengalaman kami terkait putusan perkara.

Suka duka menangani perkara peradilan yang berhubungan dengan public figure seperti pejabat atau korporasi besar?
Kalau ancaman yang langsung saya kok agak kurang peka, kadang-kadang sama teman-teman media mereka sering ingatkan, kalau pergi sendiri apalagi pegang perkara yang penting, ibu hati-hati lho bu kalau pergi sendiri, dari media sering ingatkan, agar saya lebih kuat. Kalau teror-teror telepon dan segala macam itu hal biasa dalam arti telepon bunyi, nomor tidak dikenal.

Kebiasaan saya dari dulu, saya tidak pernah angkat telepon yang tidak terdaftar di hape saya, itu salah satu preventif untuk melindungi keamanan dan privasi saya. Kalau tidak nanti dia sudah maki-maki dan ngomong kasar, ya rasanya sakit hati, tidak nyaman dan membebani pikiran. Saya mencegahnya dengan cara seperti itu.

Sebenarnya saya merintis dari hakim junior di kota kecil, paling tidak baik di kalangan advokat, bisa juga di kalangan teman-teman hakim sendiri itu sudah mengetahui prinsip kita.

Dan saya pikir itu sangat membantu kita untuk rintisan kita ke depan, rintisan kita selanjutnya. Nanti lama-lama orang juga malas datang ke kita, orang juga nawas mau nawarin begini begitu, teman-teman kita juga malaslah ngomong sama orang itu, malah dikuliahi macam-macam. Dengan begitu saya akan merasa aman, merasa lebih nyaman.

Integritas harus dibangun dari junior, integritas itu satu kata yang gampang diucapkan dan sangat sulit dilaksanakan, sangat sulit. Banyak yang bilang gampang berintegritas dong, tetapi itu sangat sulit dijalankan, apakah kita mampu.

Itu harus kita bangun dari kita kecil dari SD, SMP, Perguruan tinggi dari hal-hal kecil, kalau sudah dibangun dari hal kecil, akan mampu ke hal yang lebih besar, seperti itu.

Mahkamah Agung sudah menanamkan zona integritas di seluruh Pengadilan tetapi masih ada saja hakim terjaring korupsi dan penyuapan, apa tanggapan Anda?

Betul, di sini kita bisa melihat integritas itu sangat mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Misalnya Ketua Pengadilan Negeri, gampang sekali dia bilang di depan rapat di depan pegawai, dia berbicara di situ, kalau kita menerima sesuatu kita harus begini begitu, belum tentu juga kan kalau ada orang menawarkan belum tentu juga dia menjalankan apa yang dia bilang tadi.

Makanya saya bilang mudah diucapkan sangat sulit dijalankan, harus dilatih dari muda sedini mungkin. Dilatih dari hal kecil dulu, kemudian ke hal yang besar pun. Tidak mungkin kita mulai dari hal yang besar dulu. Kalau tidak dilatih integritas misalnya kalau menangin ini ada Rp2 miliar, tidak pernah nih lihat uang Rp2miliar, mau bagaimana coba, berkali-kali gaji, kalau pensiun gaji tidak sampai segitu, jadi harus dilatih dari yang kecil. Kemudian kalau sudah dilatih dari yang kecil yang besar kita jadi berani.

Terkait pilihan ibu untuk mengambil amanah menjadi Anggota Dewan Pengawas KPK?
Saya tidak pernah bercita-cita bagaimana, saya mengalir saja, saya jalani begitu saja Saya waktu itu ditunjuk oleh pak Presiden untuk menjadi salah satu Dewan Pengawas KPK.

Waktu itu saya kaget, bimbang karena mungkin saya sudah lama menjadi hakim dan sudah tertanam jiwa hakim saya, saya bimbang. Masa saya harus meninggalkan dunia hakim saya yang sudah saya bangun suka dukanya dan saya jalani dari kecil sampai di tingkat Pengadilan Tinggi sampai saja menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi. Ada juga beberapa teman sudalah berdoa saja, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya kamu itu itu siapa sih. Masa kamu sudah ditunjuk oleh Kepala Negara saja kamu menolak.
Itu juga menjadi pemikiran saya, di Indonesia ini ada sekian ribu hakim, kok kamu yang ditunjuk.

Saya lalu merasa sepertinya menjadi orang yang sangat sombong kelihatannya. Itu ada teman saya bilang begitu, saya terpukul juga, saya merasa orang yang sangat sombong itu. Itu pertama, kedua saya di mana saja sebenarnya saya bisa mengabdi, saya sebagai hakim itu nonaktif, dan setelah saya selesai saya bisa aktif kembali menjadi hakim. Memang awalnya waktu ditunjuk itu belum disampaikan jadi bimbang tadi itu. Akhirnya karena begitu omongan, saya berdoa kalau memang ini kehendak Tuhan saya harus jalani bagian dari karir saya walaupun non aktif sebentar, menyeberang ke daerah lain ya sudah lah saya jalani saja, itulah akhirnya saya menerima.

Setelah itu, sebelum pelantikan saya diberitahu saya dinonaktif sebagai hakim kemudian setelah selesai saya jalani akan diaktifkan kembali sebagai hakim. Saya senang sekali, setelah saya selesai di Dewan Pengawas KPK, saya bisa kembali lagi menjadi hakim.

Bagaimana pendapat Anda soal komentar dan protes publik soal pembentukan Dewan Pengawas KPK?
Saya itu terus terang tidak mengikuti itu, jadi setelah ditunjuk baru saya baca apa sih itu tugas Dewan Pengawas KPK. Karena saya orang yang mengalir saja, kemudian apa pekerjaan dibebankan ke saya semaksimal atau seoptimal mungkin saya kerjakan. Ya sudah orang protes macam-macam, ya sudahlah yang penting saya optimal sesuai dengan apa yang bisa saya kerjakan dan sesuai kemampuan yang saya miliki dari Tuhan. Terutama, saya tidak menerima apapun, atau saya tidak memenuhi janji-janji orang atau saya tidak memenuhi janji saya kepada orang dalam saya melaksanakan tugas. Jadi apa yang saya kerjakan itu adalah murni, memang itulah kemampuan saya dan keterbatasan saya, itulah yang bisa saya lakukan.

Di dalam tubuh Dewas KPK sudah hampir 2 tahun, apa urgensinya Dewas KPK dan Apa tanggapan Anda soal komentar publik yang bilang Dewas menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi?

Kalau saya mengatakan, ya tolonglah dibuktikan, diberikan data-datanya. Kita itu kalau berbicara tidak bisa tanpa data. Karena ini kita berbicara di tataran ilmiah, silakah tunjukkan. Di bagian mana Dewas KPK menghambatnya. Tidak ada sama sekali, Dewan Pengawas melakukan post audit itu setelah mereka kerjakan semua bukan diawal, setelah mereka kerjakan semua. Apakah Dewan Pengawas ikut menentukan suatu perkara dari penyelidikan ke tingkat penyidikan, tidak.

Tetapi kalau KPK melakukan pemblokiran rekening orang, padahal orangnya sudah mati rekeningnya masih diblokir anak cucunya ini lapor ke Dewas KPK. Ya akan Dewas mempertanyakan dong, blokir rekening untuk kepentingan apa, mau buat apa, orangnya sudah mati, itukan perlu kita awasi, benarkah, inikan terjadi pelanggaran HAM kalau kita mau berbicara sejujurnya. Betul HAM itu boleh ada upaya paksa, tetapi upaya paksa juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kalau kita pelajari tidak ada peraturan dan perundangan yang ada yang menyebutkan boleh memblokir rekening selamanya, tidak ada. UU KPK sendiri mengatakan kalau anda blokir harus cepat diperiksa, kalau tidak ada kaitannya ya harus segera dibuka blokirnya. Kalau memang ada kaitannya ditingkatkan dengan melakukan penyitaan ini contoh sederhana saja misalnya.

Biarlah orang mau ribut-ribut, teriak-teriak ke sana ke mari tetapi saya mencoba dan merasa sendiri saya tidak pernah menghalangi atau menghambat, tidak ada sama sekali.Saya biasa-biasa saja, Dewas tidak bisa, KPKnya santai-santai saja, terus kita menyuruh mereka bekerja, kewenangan itu ada pada mereka.

Apa masukan dari Anda terkait anak milenial yang ingin menjadi hakim?
Pesan saya bagi anak muda yang mau berkarir mau menjadi hakim, saya senang sekali jika ada anak muda yang sedari muda bercita-cita dan bertekad ingin menjadi hakim. Saya sangat senang mendengar itu, apalagi jika itu dilaksanakan. Pesan saya, jika ingin merintis karir ke sana, mulailah dibinalah, dijagalah integritas Anda, mulailah dari sekecil dan sedini mungkin.

Kemudian dari pengalaman saya, kalau kita nanti sudah menjadi hakim, kalau mau mendengar atau menanyakan bisa menjadi pedoman adik-adik yang mau menjadi hakim, saya itu kalimatnya adalah selalu puas dengan apa yang dimiliki. Saya puas dengan mobil dan rumah, saya sangat puas dengan barang yang saya miliki, itu khusus untuk materi. Kalau untuk pengetahuan, selalu tidak puas dengan yang kita miliki jadi mendorong kita untuk belajar terus. Untuk materi, selalu puas dengan materi apa yang kita miliki, itulah hak saya.

 

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar