Editorial Pemimpin Redaksi Law-Justice.co, Dr. Roy T. Pakpahan SH

Setahun Jokowi-Ma`ruf; Akhir Sang Pemimpin Kacamata Kuda dan Neo Orba

Jakarta, law-justice.co - Hari ini, 20 Oktober 2020, tepat setahun Presiden Jokowi berkuasa. Jika digabung dengan 5 tahun di periode pertama, berarti sudah 6 tahun Jokowi memimpin Indonesia dan bagaimana hasil kinerjanya? Rakyat makin sejahtera atau tidak? Ekonomi makin baik atau tidak? Tentu akan sangat banyak pertanyaan berikutnya.

Satelah dilantik sebagai Presiden periode kedua, Jokowi banyak menebar janji-janji kepada rakyat. Mulai dari peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil, mengurangi hutang, penegakan hukum dan ham, pemberantasan korupsi, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, dan logistik, memangkas regulasi, memangkas birokrasi dan reformasi ekonomi. 

Baca juga : Buruh Jegal Omnibus Law UU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI

Dari berbagai janji tersebut, belum satu pun terealisasi dengan optimal dan membuat rakyat bahagia. Malah yang diutamakan adalah program-program pencitraan dan propaganda yang tak jelas kelanjutannya seperti pindah ibukota negara, tol laut dan sawah sejuta hektar yang masih mangkrak.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Indonesia sedang mengalami resesi demokrasi yang parah di bawah kepemimpinan Jokowi. "Tidak hanya resesi ekonomi, resesi demokrasi pun terjadi di Indonesia," ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Baca juga : Massa Buruh Kembali Gelar Aksi Demonstrasi di Patung Kuda Jakpus

Tokoh-tokoh yang kritis banyak yang dilaporkan dan ditangkapi. Demokrasi mengalami kemunduran. Dan yang terkonsolidasi itu bukan demokrasi, tapi oligarki dan politik dinasti. Semua orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah langsung dilawan oleh BuzzerRp yang memang sengaja dipakai oleh penguasa dengan biaya anggaran negara untuk membentuk opini publik via medsos yang menjadi corong dan propaganda pemerintah.

Penangkapan sewenang-wenang aktivis KAMI, Syahganda dan Jumhur serta aktivis lainnya menjadi tanda adanya penyusutan ruang sipil dan telah lahir rejim neo orba yang memang hobby memberangus demokrasi dan hak-hak sipil.

Baca juga : Pengakuan Aneh Saksi Soal Demo Tolak Omnibus Law Dibantah Syahganda

Di sisi lain terjadi juga peningkatan budaya kekerasan, pengabaian agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan sipil (misalnya Menhan dan TNI turun urusin pangan), serta minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial.

 
 
Serangan terhadap kebebasan berekspresi mulai terlihat saat masyarakat menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada tahun lalu. Saat itu, sejumlah aktivis antikorupsi dan akademikus yang menolak revisi UU KPK mengalami peretasan dan intimidasi. Ironisnya tokoh-tokoh anti korupsi ini justru adalah pendukung setia Jokowi di periode pertama dan awalnya di periode kedua, berharap Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya.

Belum lagi soal aparat penegak hukum yang masih bekerja standar. Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman masih belum bekerja dengan amanat keadilan rakyat. Polisi malah menjadi lembaga super yang bisa melakukan apa saja atas nama penegakan hukum. Sorotan terhadap citra dan reputasi Polri sudah sangat banyak dilontarkan masyarakat. Tetapi belum ada polisi sekaliber mantan Kapolri, alm. Jenderal Hoegeng yang bisa diteladani.

Dalam soal disintegrasi Papua, Jokowi sudah melontarkan triliunan rupiah untuk mengambil hati rakyat Papua. tetapi tetap saja bintang kejora berkibar dan rakyat Papua memilih untuk referendum rakyat. Akibatnya korban sipil rakyat Papua terus berjatuhan dan masalah Papua tak pernah kunjung selesai karena memang seperti sengaja terus dipelihara.

Janji Jokowi membangun SDM dan tenaga kerja terdidik siap pakai memang cukup sulit dilaksanakan di tahun pertama kepemimpinan Jokowi-Ma`ruf. Sebab, nyaris sepanjang tahun ini, pemerintah harus menanggulangi dampak Covid-19. Salah satu upaya pemerintah membangun SDM melalui Kartu Pra Kerja. Namun, dalam pelaksanaannya, Kartu Pra Kerja mengalami banyak persoalan.

Sementara itu janji membangun infrastruktur terlihat hasilnya tidak optimal. Misalnya, Jokowi meresmikan tol Pekanbaru-Dumai namun karena terlalu mahal, lebih banyak pengemudi akhirnya balik melalui jalan biasa. Hal serupa terjadi dengan pembangunan Bandara Kertajati Jawa Barat. Setelah diresmikan justru bandara ini masih sepi dan hanya dua maskapai yang mau beroperasi dan itu pun tidak rutin alias tidak terjadwal.

Masalah penyerapan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan penanganan dampak Covid-19 juga belum maksimal. Padahal uangnya ada dan tinggal membelanjakan sesuai prinsip yang akuntabel dan transparan.

Lalu janji Jokowi untuk menyederhanakan regulasi melalui Omnibus Law justru mendapat resistensi dari berbagai elemen masyarakat. Sebab penyusunan Omnibus Law oleh pemerintah hingga pengesahan oleh DPR tidak melibatkan pihak buruh dan aktivis lHAM, lingkungan, dll. Prosesnya pun sim salabim karena setelah resmi diketuk jumlah pasalnya bisa berubah berkali-kali.

Proses pembuatan Omnibus Law ini sangat ugal-ugalan dan mencederai prinsip pembuatan UU yang seharusnya adil, transparan dan menyerap aspirasi semua pihak. Jelaslah omnibus dikebut hanya untuk mengamankan bisa masuk dengan cepatnya investasi asing dan aseng. Ironisnya beberapa investor asing dari Amerika dan Eropa justru menolak Omnibus karena menilai investasi yang jor-joran akan merusak lingkungan dan membuat global warming semakin parah.

Janji Jokowi melakukan debirokratisasi aparat PNS terkait juga masih jalan di tempat. PNS masih menjadi alat negara dan belum menjadi abdi rakyat yang profesional dan bersifat melayani. Korupsi oleh aparat birokrasi juga masih sering terjadi.

Janji Jokowi-Ma`ruf untuk melakukan transformasi ekonomi juga belum dilaksanakan. Hingga saat ini, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan riil yang secara efektif berdampak pada transformasi ekonomi.

Kebijakan yang dihasilkan justru sebaliknya. Misalnya dari keluarnya UU Minerba yang justru mendorong adanya upaya untuk mengekspansi batu bara lebih besar dan mineral lainnya dan ini sangat membahayakan ekosistem lingkungan hidup.

Kebijakan pemerintah yang paling fatal adalah saat menghadapi masa awal pandemi Corona terdapat beberapa perbedaan pendapat serta kebijakan dalam menghadapi pandemi antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat awalnya anggap enteng dengan corona dengan masih membuka penerbangnan langsung ke Indonesia dan daerah wisata terbuka lebar bagi turis.

Begitu juga saat Jokowi menaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No. 64 Tahun 2020 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada akhir Februari lalu. Akan tetapi dua bulan kemudian iuran BPJS kembali naik melalui Perpres No. 64 tahun 2020. Hal ini menunjukan tendensi dan preseden yang sangat tidak baik yang dilakukan oleh Kepala Negara, yang justru tidak mematuhi keputusan hukum yang sudah permanen. Tapi dari mulut Jokowi selalu keluar ucapan bahwa kita negara hukum dan semua orang harus patuh terhadap apapun putusan hukum.

Aspek jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil di satu tahun pemerintahan Jokowi sangat memprihatinkan. Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 menjadi 74,92. Akan tetapi Indeks Kebebasan Sipil justru mengalami penurunan sebanyak 1,26 poin.

Hal ini terbukti Pada Juni 2020, Presiden Jokowi beserta Menkominfo, Jhony Plate divonis bersalah terhadap pemblokiran internet di wilayah Papua dan Papua Barat. Padahal setiap orang tanpa terkecuali berhak untuk mendapatkan serta mengakses informasi apapun.

Ekonomi Terjerat Hutang 

Mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Indonesia tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.

 

Beban utang luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding negara berpendapatan menengah lain seperti Argentina, Afrika Selatan hingga Thailand. Bahkan berpotensi semakin membesar di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.

Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah. Pada 2020, pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya pemerintah tengah mewarisi utang pada generasi ke depan dan anak cucunya.

"Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta. Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk,".

Beban utang itu bakal semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan drastis hingga menyentuh level -5,32 persen di kuartal II 2020 akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan China yang merupakan negara asal pandemi. Negeri Tirai Bambu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama. Sementara Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.

Di sisi lain, kesiapan Pemerintah dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi relatif kecil, hanya 4,2 persen dari PDB dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang 20,8 persen dan Singapura 13 persen.

Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus. Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan untuk penyelamatan ekonomi kapitalis.

Lantas pembangunan infrastruktur yang jor-joran tersebut sebagai salah satu masalah terbesar pemerintahan Jokowi-Ma`ruf Amin. Sebab program itu terbilang sia-sia dalam menurunkan ongkos logistik. Salah satu masalah terbesar adalah) biaya logistik yang tak menurun signifikan meskipun bangun infrastruktur di mana-mana.

Menurut catatan redaksi Law-Justice.co, biaya logistik masih berada di kisaran 23-24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur belum mampu menurunkan biaya logistik karena banyak infrastruktur yang salah dalam perencanaan karena tidak diriset lebih dalam sebelum dibangun.

Tingginya biaya logistik menyebabkan investasi di Indonesia berbiaya tinggi dan rendahnya angka inflasi pada masa 1 tahun Jokowi-Ma`ruf Amin ini akibat tekanan daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation), hanya 1,86 persen per September 2020.

Inflasi yang rendah tersebut turut berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian, bahkan terancam berhenti beroperasi dan mem-phk karyawannya.

Terbukti angka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terus alami kenaikan, dan diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Hasil survey ADB (Asian Development Bank) pun menunjukkan UMKM di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.

Situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008, dimana PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal/UMKM. Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali dan itu belum tersentuh dalam program PEN.

Hal tersebut berakibat pada laju kemiskinan yang terus bertambah yang sudah mencapai lebih dari 12-15 persen, akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat saat pandemi Covid-19. Data Bank Dunia mencatat terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid-19.

Jokowi memang pernah menyatakan bahwa akan memimpin periode kedua ini tanpa beban sehingga kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak populer dan sangat berlawanan dengan kehendak rakyat. Tetapi Jokowi jalan terus dan jadinya memerintah seperti supir Metromini seenaknya sendiri. Padahal seluruh kebijakan Jokowi harus sesuai dengan koridor hukum serta kehendak dari rakyat banyak. Ini bisa terjadi karena Jokowi bekerja tanpa ada Garis Besar Haluan Negara yang mengawasinya, sehingga bisa menabrak apa saja yang menghalangi kebijakannya. 

Boleh saja berbeda cara memimpin di periode kedua Jokowi. Tapi jangan maksa terus pakai kacamata kuda dan meminjam cara neo orba. Akan tetapi tetap saja harus mengutamakan kepentingan Merah-Putih dan kepentingan rakyat banyak yang hari ini kehidupannya sebelum corona saja sudah susah, apalagi setelah corona datang. Makanya saat ini di benak rakyat timbul tanda tanya Jokowi sekarang bekerja untuk siapa? Mudah-mudahan bukan untuk kepentingan asing dan aseng seperti yang tersurat dalam Omnibus Law.

Refleksi dari semua catatan di atas adalah apakah pemerintahan Jokowi-Maruf akan bisa bertahan sampai periodenya selesai atau akan tumbang di tengah jalan?