H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

`Hari Raya Orba`, Mengapa `Dicueki` Penguasa?

Jakarta, law-justice.co - Di akhir bulan September, jalan jalan tampak meriah dengan bendera merah putih yang dipasang setengah tiang sebagai tanda duka. Bendera itu bukan saja menghiasi rumah rumah penduduk tapi juga kantor kantor pemerintah di desa maupun di kota.

Seakan akan ikut melengkapi suasana, di kampong kampong sampai kota, orang pada memperbincangkan film G30S/ PKI yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa.

Baca juga : Bulan Depan, Erick Thohir Bakal Rombak Direksi-Komisaris 12 BUMN

Film itu ditayangkan lewat layar tancap di desa desa belakangan bahkan juga disiarkan di televisi nasional agar semua orang menontonnya. Begitulah suasana yang terjadi setiap tahun menjelang akhir bulan September pada saat pemerintah orde baru (orba) masih berkuasa.

Saat itu bangsa Indonesia memang memiliki hari nasional yang dirayakan dua hari berturut-turut, yakni tanggal 30 September dan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya. Tanggal 30 September diperingati sebagai ‘Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI.’

Baca juga : Nasib Tragis BUMN Farmasi Indofarma

Sementara tanggal 1 Oktober adalah hari ‘Kesaktian Pancasila.’ Dua hari peringatan pengkhianatan PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tersebut, ada saja yang kemudian menyebutnya sebagai “hari raya Orba”.

Namun kini dengan tumbangnya Orba, suasana peringatan tragedi G30/PKI dan hari kesaktian Pancasila tersebut terasa semakin hambar saja. Bendera bendera yang berkibar setengah tiang makin sulit ditemukan di desa maupun kota. Film G30S/PKI yang biasanya diputar oleh televisi nasional juga sudah menghilang entah kemana.
Mengapa dua hari tanggal 30 September dan 1 Oktober disebut sebagai hari raya Orba ?.

Baca juga : MNC Larang Nobar Piala Asia U-23 Ada Sangsi Pidana

Mengapa pula pemerintah yang sekarang berkuasa terkesan enggan untuk mengingatkan warga negaranya akan bahaya PKI yang dulu begitu gencar di kampanyekan pada massa orba ?, Apa perbedaan kepentingan antara pemerintah Orba dan pemerintah yang sekarang berkuasa dalam menyikapi hari raya orba ?.

Hari Raya Orba

Kita semua tentu sudah tahu apa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Saat itu tujuh jenderal TNI-Angkatan Darat diculik dan dibunuh di sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang bernama Lubang Buaya. Pelakunya adalah ‘Gerakan 30 September’ sebuah gerakan bersenjata yang isinya adalah perwira dan prajurit-prajurit TNI-Angkatan Darat juga.

Untuk mengenang peristiwa itu,pada masa Orba tepatnya tahun 1984, dibuat sebuah film dokudrama tentang peristiwa ini yang berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI 1965. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana.

Mengingat latar belakang produksinya, banyak yang menduga bahwa film tersebut ditujukan sebagai propaganda politik Orba. Apalagi di era Presiden Soeharto, film tersebut menjadi tontonan wajib anak sekolah yang selalu ditayangkan di TVRI tiap tanggal 30 September tiba.

Selain peristiwa 30 September pembunuhan para jenderal di lubang buaya, hari berikutnya dirayakan juga sebagai ‘Hari Kesaktian Pancasila.’ Dalam versi Orde Baru, tanggal 30 September adalah hari pengkhianatan Pancasila. Sehari sesudahnya, Pancasila ternyata tidak bisa dikhianati, dan dengan demikian, ia sakti adanya.

Dikutip dari Menguak Misteri Sejarah (2010) karya Asvi Warman Adam, penetapan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan lewat Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966. Itu harus diperingati oleh Angkatan Darat. Menteri/Panglima AD yang juga Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu adalah Soeharto.

Dua hari ini adalah hari yang paling sentral diperingati pada masa Orba berkuasa. Karena begitu meriahnya perayaan dua hari ini sehingga mirip sebagai hari raya keagamaan saja. Di dua hari itu ada ada ritual upacara, ada renungan, ada doa-doa, ada ritual berkunjung ke Lubang Buaya dan tempat sakral lainnya yang dianggap sebagai saksi sejarah kekejaman PKI di Indonesia.

Selama dua hari perayaan itu jalan-jalan dihiasi spanduk-spanduk yang mengingatkan kembali massa-rakyat akan ‘bahaya laten Komunisme’ atau ‘kebangkitan Komunisme’ di Indonesia. Di Koran-koran dan televisi nasional , pemuka-pemuka agama dan aparat mengeluarkan fatwa yang terus diulang-ulang akan bahayanya partai komunis Indonesia.

Kalau tanggal 30 september diperingati sebagai hari kematian tanda duka maka tanggal 1 oktober adalah hari kemenangan bangsa Indonesia karena berhasil lepas dari ancaman komunis yang akan menguasai Indonesia.

Peringatan dua hari raya Orba itu biasanya didominasi acara yang bersifat militeristik karena tentara (khususnya angkatan darat) memang dianggap sebagai pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan PKI beserta antek anteknya.

Semasa Orde Baru, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh.

Prosesi pengibaran bendera selama dua hari itu bisa dimaknai sebagai berikut: Bendera setengah tiang yang dikibarkan pada 30 September dimaksudkan sebagai tanda duka nasional setelah terbunuhnya beberapa perwira militer AD.

Di Jakarta, para jenderal itu adalah Ahmad Yani, Soeprapto, M.T. Haryono, Siswondo Parman, D.I. Panjaitan, Sutoyo Siswodiharjo, serta Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution. Sedangkan di Yogyakarta, ada dua perwira militer yang juga menjadi korban, yaitu Katamso dan Soegiyono.

Keesokan harinya, bendera dinaikkan secara penuh sebagai simbol kemenangan berkat “kesaktian Pancasila” yang mampu menangkal ancaman ideologi komunis. Ritual semacam ini seolah dipaksakan harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober setiap tahunnya Namun, setelah Soeharto lengser dan Orba runtuh saat Reformasi 1998, prosesi ini jarang diterapkan lagi karena dianggap kental muatan politisnya.

Enggan Merayakan ?

Meskipun tidak hilang sama sekali namun fenomena hari raya orba yang awalnya dulu dirayakan secara meriah kini sudah mulai ditinggalkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Terjadinya pergeseran kebijakan ini tidak terlepas dari adanya kepentingan politik yang berbeda.

Pemerintah yang berkuasa saat ini menganggap bahwa peringatan dua hari raya Orba itu tidak terlalu relevan lagi untuk dirayakan seperti pada masa orba. Karena perayaan hari raya orba identik dengan upaya mengagung agungkan Soeharto sebagai orang yang paling berjasa sebagai pahlawan penyelamat bangsa Indonesia dari pemberontakan PKI yang akan mengganti Pancasila.

Soeharto dianggap berjasa karena langkah paling penting yang ditempuhnya yaitu membubarkan PKI dan antek anteknya. Langkah pembubaran PKI di kemudian hari ditindaklanjuti dengan keluarnya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Inti dari TAP MPRS itu adalah tidak memberi ruang kepada paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme hidup di Indonesia.

Daripada merayakan hari raya Orba tersebut pemerintah sekarang lebih cenderung untuk merayakan hari lahirnya Pancasila yang ditetapkan pada 1 Juni 1945 oleh Presiden pertama RI, Soekarno, dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Namun, hari bersejarah tersebut sempat menuai polemik pada era kepemimpinan Presiden Soeharto di masa Orba. Saat itu, ada upaya untuk tidak mengaitkan Pancasila dengan Soekarno. Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 10 Mei 1987, peringatan Hari Lahir Pancasila tidak rutin diperingati setiap tahun pada era Orba.

Pemerintahan saat itu lebih memberikan perhatian pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober sebagai pengingat gagalnya Gerakan 30 September/PKI 1965. Hari Lahir Pancasila saat itu belum menjadi sebuah hari nasional. Bahkan, hari itu diperingati bukan sebagai Hari Lahir Pancasila, melainkan peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

Pada akhirnya, Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai peringatan sekaligus hari libur nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

"Keputusan Presiden tentang Hari Lahir Pancasila, pertama: menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, kedua: tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional," demikian bunyi diktum pertama dan kedua Keppres tersebut. Keppres itu ditandatangani dan mulai berlaku pada tanggal yang sama, 1 Juni 2016.

Namun, untuk realisasi 1 Juni sebagai hari libur nasional baru diimplementasikan pada tahun berikutnya. Dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, penetapan Hari Lahir Pancasila diputuskan dengan menimbang sejumlah latar belakang.

Salah satunya, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara harus diketahui asal-usulnya oleh segenap bangsa dari waktu ke waktu. Tujuannya, untuk melestarikan dan melanggengkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila ini sebenarnya banyak mengundang kontroversi karena tanggal 1 Juni sesungguhnya hanya sekadar mengabarkan tentang pidato Soekarno sebagai salah satu penggali Pancasila. Sementara kita ketahui bersama selain Soekarno ada penggali nilai nilai Pancasila lainnya seperti H. Agus Salim, Moh. Yamin dan yang lain lainnya.

Hari lahir Pancasila yang paling tepat adalah tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Pancasila secara resmi disepakati sebagai dasar dan idiologi bangsa Indonesia yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945.

Selanjutnya bisa dipahami kalau pemerintah yang berkuasa sekarang lebih cenderung untuk mengagung agungkan hari kelahiran Pancasila 1 Juni ketimbang hari raya Orba karena ada sosok Soekarno disana yang dianggap sebagai orang paling berjasa melahirkan Pancasila menurut penguasa.

Sebaliknya kalau hari raya Orba yang dirayakan, dinilai hanya mengangkat derajat Soeharto sebagai orang yang paling berjasa mengenyahkan paham komunis di Indonesia.

Lagi pula pemerintah sepertinya cenderung menganggap idiologi komunis bukan satu satunya ancaman bagi Pancasila karena ada ancaman lain yaitu khilafah dan penganut islam radikal dan intoleran yang juga berbahaya. Sikap ini akhirnya memunculkan kebijakan yang terkesan ramah terhadap potensi lahirnya “neo komunis” di Indonesia.

Sikap ramah penguasa terhadap ajaran komunis ini akhirnya memberikan angin untuk lahirnya neo komunisme di Indonesia. Mengenai kebangkitan kembali komunis di Indonesia sudah ada tanda tandanya .

Menurut tokoh intelektual TNI Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo., tanda kemunculan kembali neo PKI mulai terlihat saat diadakan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag, Belanda, November 2015. Tanda-tanda tersebut terus berkembang seperti belakangan ini terdapat penggunaan simbol-simbol palu arit di kalangan anak muda.

Senada dengan Sayidiman, imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab menguraikan indikasi kebangkitan PKI antara lain ada kelompok yang kukuh terhadap pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966. “Kalau ini dicabut yang untung adalah kader-kader PKI,” katanya.

Rizieq menyebut tanda yang lain yaitu penghapusan materi sejarah pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 dan Gestapu 1965 dari kurikulum sekolah. Menurut Rizieq, reformasi 1998 berperan menghapuskan materi pengkhianatan PKI dari kurikulum sekolah. Dia mengusulkan agar materi tersebut dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran sejarah.

Selain itu, Rizieq mengusulkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI karta Arifin C. Noer ditayangkan kembali setiap tanggal 30 September. Bahkan, Rizieq mengusulkan agar Litsus (Penelitian Khusus) –metode screening yang diterapkan Orde Baru kepada masyarakat– diberlakukan kembali, terutama untuk calon pejabat negara.

Sementara ajaran neo komunis terbuka peluang untuk kembali hadir di Indoesia, pada sisi lain pemerintah gencar “memusuhi” bentuk negara khilafah dan pandukungnya seperti HTI serta mereka yang dianggap sebagai penyebar paham islam radikal dan intoleran meskipun tidak jelas seperti apa defisinisinya.

Puncaknya, Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Perppu ini digagas sejak awal untuk membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Alasannya, karena UU Ormas yang diciptakan Soeharto pada 1985, yang secara hukum belum pernah dihapus, tak mencukupi lagi untuk zaman gaduh sekarang ini.

Sedikitnya ada hampir 20 pasal yang dipangkas dari UU Ormas, dalam Perppu yang diteken Jokowi per 10 Juli 2017 lalu. Pasal yang banyak dihapus perihal pemberian sanksi hingga tata cara pembubaran sebuah Ormas.Ketentuan tentang cara pembubaran Ormas yang perlu dilakukan melalui pengadilan, sebagaimana diatur Pasal 68 UU Ormas pun dihapus dalam Perppu Ormas.

Setelah penerbitan Perppu itu, pemerintah langsung mendata Ormas yang anti-Pancasila. Ada sebanyak 344.039 ormas tercatat di buku Kemendagri atau Kemenkumham.

Yang bukan berasas Pancasila siap-siaplah segera dibubarkan. Disini kita melihat kembali Pancasila seolah kembali menjadi mantra, kembali dikultuskan dan dikeramatkan. Pancasila kembali dijadikan palu gada untuk memberangus kelompok-kelompok yang dicap mengancam negara.

Dengan latar belakang dan pandangan kepentingan politik yang berbeda tersebut akhirnya kita bisa memahami memangapa pemerintah yang sekarang berkuasa enggan untuk merayakan hari raya Orba dan lebih memilih untuk meramaikan hari lahirnya Pancasila.

Dua kepentingan politik yang berbeda akhirnya melahirkan kebijakn yang berbeda pula. Sayangnya sikap sikap seperti ini mencerminkan seorang penguasa yang kurang bijaksana karena hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

Meluruskan Sejarah Bangsa

Sejarah seringkali ditulis sesuai dengan kemauan penulisnya. Kalau penulis sejarah itu adalah pemegang kendali kekuasaan maka sejarah akan ditulis sesuai dengan kepentingan oleh rejim yang sedang berkuasa.

Pada masa Orba ada dua hari raya yaitu tangal 30 september dan 1 oktober yang diperingati dengan cara meriah oleh seluruh warga bangsa dengan dukungan penuh penguasa. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan peringatan itu karena gugurnya tujuh jenderal angkatan darat yang merupakan putra putra terbaik bangsa. Ia gugur karena dibunuh oleh pengkhianat bangsa yang ingin mengganti Pancasila.

Peringatan seperti itu perlu sebagai tanda kita semua bangsa Indonesia yang harus waspada betapa bahayanya partai komunis Indonesia yang telah terbukti melakukan pemberontakan kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Mengapa peringatan itu perlu di ulang karena kalau tidak maka anak anak cuku kita akan lupa akan adanya sejarah kelam bangsanya.

Mengenang dan pemperingati tragedi nasional pemberontakan PKI juga perlu terus diulang untuk meningkatkan kewaspadaan supaya peristiwa serupa tidak terulang lagi untuk kedua kalinya.

Peringatan seperti ini juga wajar wajar saja dilakukan seperti halnya di Jerman dimana peringatan terhadap bahaya Nazi Jerman juga dilakukan setiap tahunnya. Peringatan itu untuk mengingatkan bangsa Jerman akan bahaya semangat nasionalisme sempit yang telah mendorong bangsa itu terjeremba kedalam kancah perang dunia kedua yang merugikannya.

Tanpa bermaksud menutupi kesalahan kesalahan Orba, peringatan tanggal 30 september dan 1 oktober juga penting untuk mengenang jasa jasa pemimpin Orba Soeharto yang telah berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari paham komunis yang hampir saja berhasil mengganti ideology Pancasila.

Soeharto dianggap berjasa karena langkah paling penting yang ditempuhnya yaitu membubarkan PKI dan antek anteknya. Langkah pembubaran PKI di kemudian hari ditindaklanjuti dengan keluarnya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Inti dari TAP MPRS itu adalah tidak memberi ruang kepada paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme hidup di Indonesia. Di masa Orde Baru, PKI benar benar menjadi musuh bersama.

Kalau boleh kita berandai andai, tanpa Soeharto yang dengan sangat tegas dan disiplin menjaga Pancasila dari ancaman PKI selama 32 tahun masa kekuasaannya, bisa saja komunis kembali berkuasa di Indonesia. Kiranya kesimpulan ini tidak terlalu berlebihan jika mengingat PKI pernah menjadi partai besar, punya kekuatan sosial dan dukungan internasional, serta memiliki pendukung yang solid dan militan pula.

Karena itu terlepas dari kekurangan dan pro-kontra terkait Orba, Soeharto adalah orang yang paling berjasa menyelamatkan Indonesia dari komunisme dan anasir anasir pendukungnya.Setelah Pancasila selamat, agama terjamin hidupnya di Indonesia, akankah kita beri peluang PKI bangkit kembali dengan cara mengendorkan kewaspadaan kepada kebangkitannya ?

Diluar peran Soeharto yang telah berhasil menggagalkan pemberontakan PKI tahun 1965 ada peristiwa lain yang juga perlu diperingati dan diselesaikan kasusnya sebagaimana mestinya. Peristiwa itu adalah adanya kematian lebih dari 500 ribu jiwa warga Indonesia.

Sebagaimana diketahui bersama sepanjang tahun 1965-1966, juga tahun-tahun setelahnya, telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap PKI atau antek-anteknya. Mereka yang dituding terkait dengan komunis, kendati tanpa bukti yang kuat dan tanpa proses pengadilan dihabisi nyawanya.

Keseluruhan jumlah korban pembantaian itu masih menjadi misterik tidak diketahui berapa jumlah persisnya. Dikutip dari The Indonesian Killings of 1965-1966 (1990) karya Robert Cribb, Angkatan Bersenjata RI memperkirakan jumlah yang dibantai mencapai sekitar satu juta.

Sedangkan menurut orang-orang komunis yang selamat dari pembantaian dan mengalami trauma, tulis Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2003), perkiraan awal jumlah korban pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan komunis tidak kurang dari dua juta manusia.

Sebagian sejarawan menyepakati setidaknya setengah juta orang telah menemui ajalnya. Oleh M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1300 (1991), jumlah ini disebut lebih banyak ketimbang peristiwa apa pun dalam sejarah Indonesia. Setelah Orde Baru runtuh, investigasi untuk menguak tragedi pembantaian 1965-1966 mulai diupayakan, kendati tetap saja menemui banyak kendala.

Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM berat karena mereka dibunuh tanpa melalui proses peradilan sebagaimana mestinya.

Kalau para jenderal yang gugur dalam peristiwa 30 september itu diperingati sebagai hari pengkhianatan G30S/PKI,apakah ratusan ribu bahkan jutaan rakyat yang dibantai oleh sesama anak bangsa di tahun 1965-1966 itu tidak pantas mendapat penghormatan yang juga sama layaknya?.

Alhasil peringatan hari raya Orba tanggal 30 september dan 1 oktober hemat saya masih relevan untuk terus dilakukan bukan bemaksud mengingatkan jasa jasa Orba menyikat komunis di Indonesia tetapi untuk mengenang sejarah kelam bangsa dengan adanya pemberontakan PKI tahun 1965.

Selain itu peringatan hari raya Orba, peringatan hari lahir Pancasila juga penting untuk dilakukan guna meneguhkan komitmen agar kita bersama sama lebih mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Namun penetapan hari lahir pancasila sebenarnya bukan pada tanggal 1 Juni melainkan tanggal 18 agustus 1945 sebab kalau kita melihat Pancasila sebagai dasar negara, maka ia resmi lahir ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan konstitusi negara, yakni UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Pancasila secara utuh sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945 ketika secara utuh dan bulat dimasukkan kedalam pembukaan UUD 1945 oleh tokoh-tokoh bangsa.

Dengan penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, kesannya mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila. Hal ini juga mengindikasikan semangat fanatisme buta rejim penguasa dimana seolah olah Pancasila merupakan hasil karya dari seorang Soekarno saja.