Mengenal Influenser dari Kacamata Hukum

[INTRO]

Baru-baru ini Indonesia Coruption Watch (ICW) menyebut ada aktivitas dari pemerintah yang melibatkan influencer yaitu muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total pengadaan sebanyak 40 paket sejak 2017-2020. Secara umum pemerintah telah menghabiskan anggaran senilai total Rp 1,29 triliun untuk aktivitas digital sejak 2014, termasuk di dalamnya Rp 90,45 miliar yang digunakan untuk pengadaan influencer ini.

Dilansir Kompas, Minggu, (23/8/2020) pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa sesuatu disebut influencer jika ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas.

Baca juga : Ucapan Rocky Gerung Diputus PN Jaksel Tak Hina Jokowi

"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.

Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.

Baca juga : Pengamat Asing Sebut Prabowo Bakal Teruskan Model Ekonomi Jokowi

"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.

Lalu bagaimanakah bentuk tanggung jawab influencer jika beriklan di media sosial?

Baca juga : Apakah Prabowo-Megawati akan Singkirkan Jokowi?

Menurut kaca mata hukum perlindungan konsumen, pada dasarnya pihak influencer yang dimaksud adalah bagian dari pelaku usaha juga. Sebagai pelaku usaha, ia juga berkewajiban menjamin informasi yang disampaikan melalui iklan itu mengandung kebenaran.

Namun, jika seseorang diposisikan sebagai model yang memberikan testimoni atas keandalan sebuah produk, maka testimoni ini dapat saja dipandang menyesatkan konsumen, misalnya jika ternyata ia tidak pernah menggunakan produk itu dalam jangka waktu tertentu.

Di sini sayangnya, perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait dengan periklanan, belum pernah diuji sampai ke pengadilan.

Selain itu dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebenarnya ada Etika Pariwara Indonesia yang juga memiliki keterkaitan, yang juga dapat dijadikan pedoman karena hal ini diatur dalam hukum positif,  misalnya di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf f juncto Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Perbedaan antara wartawan, youtuber, selebgram dan influencer?

Sebenarnya dilihat dari kacamata hukum, siapa pun bisa menjadi wartawan karena profesi ini terbuka.

Selebgram, youtuber dan influencer juga bisa, asalkan memenuhi syarat.

Mereka semua sepanjang sebagai warga negara Indonesia diberikan kesempatan oleh Pasal 9 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers untuk berusaha bidang pers.

Pasal 9 ayat (2) menegaskan, siapapun yang ingin mengambil peluang ayat (1) harus membuat badan hukum Indonesia.

Baik Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 maupun Pasal 9 ayat (2) sudah diuji materi di Mahkamah Konstitusi, hasilnya permohonan uji ditolak.

Jadi pasal-pasal pada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tetap menjadi hukum positif di Indonesia.

1. Pers tidak boleh dikelola perorangan, tetapi harus lembaga (perusahaan) dan melakukan kegiatan jurnalistik.

2. Lembaganya (perusahaan) tidak boleh bercampur dengan usaha lain.

3. Bentuk badan hukumnya bisa PT, yayasan atau koperasi.

4. Selain persyaratan administrasi, juga harus mematuhi kewajiban dan hak.

5. Asas kemerdekaan pers diberikan sebagai wujud kedaulatan rakyat dengan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

6. Pers dalam kegiatannya mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Jo Pasal 18 ayat (1).

7. Pers memiliki kewajiban mematuhi Pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 13 Jo. Pasal 18 ayat (2)

8. Wartawan wajib memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik sesuai perintah Pasal 7 ayat (2).

9. Mengaku pers tidak memiliki badan hukum sebagaimana Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) diancam Pasal 18 ayat (3).

10. Penanggung jawab bertanggung jawab terhadap seluruh konten baik berita dan atau iklan sesuai Pasal 12.

11. Wartawan tidak bertanggung jawab terhadap berita yang sudah dipublikasikan, bukan karena dia warga negara kelas 1, tapi sudah diambil alih sesuai perintah UU.

Di sini siapa pun yang ingin mendapatkan perlindungan hukum UU Pers silakan penuhi kewajiban UU Pers.