Indonesia Gamang Tentukan Status Darurat Covid-19 dari Awal

Jakarta, law-justice.co - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan penanganan pandemi Covid-19 adalah soal manajemen krisis. Kendati demikian, kebijakan keadaan darurat sipil harusnya diambil sejak awal pandemi Covid-19.

"Saya dari awal sudah bilang, mestinya berlakukan keadaan darurat sipil, di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi). Itulah manajemen yang tidak biasa. "Ini sekarang kan manajemennya biasa-biasa saja. Makanya marah terus presidennya," ujarnya, dilansir dari Pojoksatu.id, Minggu (9/8/2020).

Baca juga : PDIP Sebut Jokowi dan Anak Mantunya Bagian dari Masa Lalu Partai

Anggota DPD RI ini menuturkan dalam hukum tata negara sudah ada aturannya. Ada hukum tata negara normal dan hukum tata negara darurat. Umumnya, konstitusi modern pasti sudah mengantisipasi itu.

"Ada pasal yang dibuat. Kalau kita namanya Pasal 12 (UUD 45), pasal tentang keadaan bahaya," katanya.

Baca juga : Diungkap Otto, Gugatan Ijazah Palsu Jokowi Kembali Ditolak PN Jakpus

"Keadaan bahaya itu bisa perang, nonperang, bisa darurat militer nonperang, bisa darurat sipil. Baik karena bencana alam maupun nonalam," imbuhnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menambahkan akan tetapi kebijakan Indonesia berbeda, karena yang diumumkan Presiden Jokowi bukan keadaan darurat. Apalagi, pandemi Covid-19 ini terjadi di seluruh dunia, dan 80 persen menerapkan keadaan darurat.

Baca juga : Puji Timnas Indonesia U-23, Presiden Jokowi: Sangat Bersejarah!

"Yang dideklarasikan Pak Jokowi 3 April itu kan bukan keadaan darurat tapi bencana nasional. Beda bencana nasional dengan keadaan darurat. Kalau bencana nasional itu merujuk ke UU Penanggulangan Bencana Nasional 2007," jelasnya.

Bila mengacu UU Penanggulangan Bencana, katanya, pemerintah tidak boleh melanggar HAM, tidak boleh melanggar konstitusi. Kebijakan tersebut, menurut Prof Jimly, tidak tepat di situasi pandemi sekarang ini.

"Dalam keadaan begini, banyak yang perlu kerjakan yang bilamana perlu untuk sementara menangguhkan pasal-pasal HAM, berlakunya pasal-pasal UUD, apa boleh buat. Karena, Salus Populi Suprema Lex Esto, keselamatan warga itu akhirnya hukum yang paling tinggi," ungkapnya.

Namun demikian, pemerintah sudah memutuskan tidak menerapkan darurat sipil karena terlalu mendengarkan ketakutan para aktivis LSM. Pasalnya, keadaan darurat itu dianggap militeristik, karena UU tahun 1959 dianggap sudah sangat ketinggalan zaman.

"Iya. Tetapi ini kan kita bisa tafsirkan keadaan negara ini (tak biasa). Maka, manajemennya itu harus terintegrasi, di bawah kendali Presiden. Semua menteri harus tunduk. Jangan ada gubernur saling bertentangan dengan bupati, wali kota. Presiden seolah-olah bertentangan dengan gubernur," ujarnya.

Kalau darurat sipil itu baru akan diterapkan sekarang, ia menambahkan, itu sudah telat alias sudah tidak pas lagi. Maka apa yang sudah ada dan diputuskan tinggal dijalankan saja dengan akal sehat.