Amnesty International Indonesia

Putusan Kasus Novel Baswedan; Bukti Negara Gagal Melindungi Korban

law-justice.co - Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjatuhkan vonis kepada dua pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. Amnesty International Indonesia (AII) menilai, vonis yang ringan menunjukkan bahwa negara telah gagal menegakkan hukum dan melindungi korban kekerasan.

Direktur AII Usman Hamid mengatakan, sejak awal pihaknya melihat proses penyelidikan kasus ini terkesan sandiwara dan penuh kejanggalan. Aparat penegak hukum bergerak lamban, tertutup, dan tidak serius mengungkap pelaku sesungguhnya di balik kasus yang terjadi pada 11 April 2017 itu.

Baca juga : Kasus Korupsi Bupati Labuhanbatu, KPK Sita Uang Rp48,5 Miliar

“Vonis tersebut gagal meyakinkan masyarakat bahwa negara benar-benar menegakkan keadilan untuk korban. Dari awal, kami melihat banyak kejanggalan selama proses penyelidikan hingga persidangan. Semua seperti sengaja direkayasa. Seperti sandiwara dengan mutu yang rendah,” kata Usman, Jumat (17/7/2020).

Majelis hakim yang diketuai oleh Djuyamto menjatuhkan vonis 2 tahun dan 1,5 tahun kepada masing-masing terdakwa, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Putusan itu sedikit lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta hakim menjatuhkan vonis satu tahun penjara.

Kedua pelaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan terencana dengan mengakibatkan luka berat dan melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP tentang perbuatan penganiayaan yang direncanakan yang mengakibatkan luka berat, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindak pidana melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, Subsider Pasal 351 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga : Nonaktifkan 2 Rutan, KPK Pindahkan Tahanan ke Gedung Merah Putih

Amensty menilai, kasus Novel Baswedan penuh dengan unsur politik yang melibatkan orang penting. Sempat dibentuk tim pencari fakta, namun gagal mengungkap pelaku sesungguhnya.

“Komnas HAM menemukan adanya abuse of process yang mengarah pada upaya menutupi kasus ini. Unsur-unsur non polisi kehilangan objektifitas karena kedekatan mereka dengan pimpinan polisi. Ketimbang mendengar suara korban mereka justru sinis pada korban dan menghasilkan mutu laporan di bawah standar pencarian fakta,” ujar Usman.

Baca juga : Diduga Halangi Proses Pelanggaran Etik, Novel Laporkan Nurul Ghufron

Amnesty mendesak pihak berwenang untuk memulai kembali penyelidikan kasus ini dari awal, secara independent, efektif, terbuka, dan imparsial. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk penegakka hukum di Indonesia.

“Pengadilan sandiwara ini merupakan salah satu preseden terburuk bagi penegakan hukum di Indonesia karena meniadakan penghukuman pelaku sesungguhnya, serta meniadakan perlindungan para pejabat anti-korupsi yang berintegritas. Ini sama saja dengan melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia,” imbuh Usman.