Kinerja KPK Suram, ICW: Semua Karena Campur Tangan Presiden dan DPR

Jakarta, law-justice.co - Lembaga pengawas korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) mencatat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam enam bulan terakhir (semester 1) memasuki masa yang paling suram.

Menurut mereka hal ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari rentetan kejadian pelemahan yang dilakukan oleh Presiden dan DPR terhadap KPK di sepanjang tahun 2019 yang lalu.

Baca juga : Hamas Siapkan Jebakan Jika Israel Menyerang Rafah

"Mulai dari proses pemilihan Pimpinan KPK yang sarat akan kepentingan politik, sampai pada upaya melululantahkan kewenangan melalui jalur legislasi. Hasil dari segala upaya Presiden dan DPR pun perlahan-lahan mulai terlihat, KPK kini hanya menjadi institusi pemberantasan korupsi yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat," ujar ICW dalam siaran persnya diterima Kamis, (25/6).

Lanjut mereka, pada konteks kepemimpinan, KPK kini diisi oleh lima komisioner yang kebijakannya kerap kali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Baca juga : 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Saat BI Rate Naik

"Tak pelak, proses tata kelola organisasi pun menjadi problematika baru di lembaga anti rasuah ini. Begitu pula pada aspek penindakan dan pencegahan, yang mana juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan dibanding kepemimpinan sebelumnya. Kombinasi seperti ini tentu hanya akan menafikan ekspektasi publik terhadap kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK," jelas ICW.

ICW dan TII berupaya mengejawantahkan ragam persoalan yang ada di internal KPK selama enam bulan terakhir. Setidaknya ada tiga fokus utama dalam kajian evaluasi ini yang meliputi kinerja penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal organisasi. Ketiga poin ini nantinya diharapkan dapat mencerminkan situasi stagnasi pemberantasan korupsi di KPK.

Baca juga : Pekerja Tak Digaji, Direksi & Komisaris Indofarma Berlebih Tunjangan

Pertama, upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan seringkali justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Hal ini didasari atas minimnya tangkap tangan, menghasilkan banyak buronan, tidak menyentuh perkara besar, dan juga abai dalam melindungi para saksi. Padahal instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi.

Kedua, fungsi pencegahan belum berjalan optimal. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru dalam pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif. Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir.

Ketiga, kebijakan internal KPK seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata. Bahkan dengan melihat iklim di lembaga anti rasuah saat ini praktis publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu Pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan. Kesimpulan itu merujuk pada fakta yang terjadi di KPK, diantaranya, pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, penafsiran keliru publikasi penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik, dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka. Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari Pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik.

Keempat, fungsi Dewan Pengawas belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Hal ini karena sejak Pimpinan KPK dilantik praktis tidak ada temuan penting terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai lembaga anti rasuah ini. Ini menujukkan bahwa Dewan Pengawas berupaya menutup diri terhadap ragam persoalan di era kepemimpinan Komjen Firli Bahuri. Tak hanya itu, saat merumuskan kode etik, Dewan Pengawas juga tidak lagi mengakomodir pengaturan etik Pimpinan KPK.

"Maka dari itu, menanggapi persoalan di atas maka ICW dan TII merekomendasikan KPK untuk membenahi sektor penindakan, terlebih dengan memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara. Tak hanya itu, integrasi antara penindakan dan pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK. Pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya Pimpinan KPK untuk meminimalisir gimmick politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan," tutup ICW.