Pigai ke Jokowi: Putusan Hakim 7 Tapol Papua akan Tentukan Sikap Kami

Jakarta, law-justice.co - Pegiat Hak Asasi Manusia yang juga merupakan Tokoh Papua, Natalius Pigai mengecam keras tuntutan kepada orang-orang Papua termasuk 7 pemuda Papua yang didakwa makar dalam aksi demonstrasi anti rasisme pada Agustus 2019 lalu.

Dia mengancam akan membuat perhitungan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum kalau sampai 7 tahanan politik (Tapol) itu dituntut dengan diskriminasi hukum.

Baca juga : Berkas Lidik Korupsi SYL Bocor, KPK Bakal Lacak Pelakunya

"7 Aktivis Anti Rasisme di Hukum 17, 15, 8 thn. Pengadilan Rasis. sampaikan ke Jokowi, Ketua MA, Kapolri & Jaksa Agung bwh keputusan HAKIM akan menentukan sikap kami utk Menggalang Gerakan Kulit Hitam di dunia untuk Embargo Bantuan Aparat Penegak Hukum." kicaunya di twitter.

Baca juga : Kasus Firli Mandek, Kejaksaan Sebut Polda Belum Lengkapi Berkas

Terkait galang kekuatan negara-negara, dia mengaku sudah mendapat banyak dukungan. Setidaknya ada 74 negara yang meminta Presiden Jokowi untuk menghentikan tindakan rasis di Indonesia.

Menurutnya, diskriminasi hukum ini bermula dari tidak adanya kebebasan bersuara bagi orang-orang Papua, hingga beratnya tuntutan di depan pengadilan.

Baca juga : Politisi Demokrat Ajak Seluruh Pihak Bersatu Membangun Bangsa

"Surat dari Jaringan Keturunan Afrika Untuk Seluruh Dunia untuk Pengadilan Rasis di Indonesia! Bangsa Kulit Hitam punya 74 negara seluruh dunia. Kami akan lawan Rasisme!" kicaunya lagi.

Seperti diketahui, Tujuh pemuda asal tanah Papua tengah dituntut di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.

Mereka adalah mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih, Ferry Kombo (dituntut 10 tahun penjara), Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Alex Gobay (dituntut 10 tahun penjara), Hengky Hilapok (dituntut 5 tahun penjara), Irwanus Urobmabin (dituntut 5 tahun penjara).

Lalu, Buchtar Tabuni (dituntut 17 tahun penjara), Ketua KNPB Mimika Steven Itlay (dituntut 15 tahun penjara), dan Ketua Umum KNPB Agus Kossay (dituntut 15 tahun penjara).

Sebelumnya Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar membeberkan sejumlah bentuk diskriminasi hukum terhadap orang-orang Papua termasuk 7 pemuda Papua yang didakwa makar dalam aksi demonstrasi anti rasisme pada Agustus 2019.

Diskriminasi itu bermula dari tidak adanya kebebasan bersuara bagi orang-orang Papua hingga beratnya tuntutan ketika mereka dibawa ke pengadilan.

Contoh teranyar adalah proses hukum terhadap tujuh pemuda yang dituntut 5-17 tahun di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Kita punya banyak contoh diskriminasi di dalam proses hukum terhadap orang Papua," kata Anum dalam diskusi virtual `Free the West Papuan Political Prisoner`, Jumat malam, 12 Juni 2020.

Pertama kata dia, orang-orang Papua tidak memiliki kebebasan berbicara, berekspresi, dan menyuarakan pendapat. Mereka tidak bebas bersuara ihwal hak-hak masyarakat adat Papua, perampasan tanah, atau pelanggaran HAM. Orang Papua yang bersuara, kata Anum, begitu mudahnya dikenai pasal makar.

Kedua, dia menilai tidak ada praduga tidak bersalah dalam proses hukum terhadap orang-orang Papua. Ia mencontohkan pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, ketika itu masih dijabat Jenderal Tito Karnavian, pada awal September 2019 yang mengklaim mengetahui siapa aktor kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

Tito ketika menuduh ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) dan KNPB (Komite Nasional untuk Papua Barat) sebagai aktor di balik pecahnya kerusuhan di Papua. Padahal ketika itu polisi belum menangkap Buchtar Tabuni, Wakil Ketua UU Badan Legislatif ULMWP yang kini dituntut 17 tahun penjara.

Ketiga, Anum mengatakan orang-orang Papua yang ditangkap juga tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana mestinya. Mereka ditangkap dan diperiksa tanpa didampingi pengacara.