Akal-akalan Pembangunan Smelter Ala PT Freeport, Ada Luhut Backingnya?

Jakarta, law-justice.co - Kita masih ingat ketika jaman pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Saat itu pemerintah berkomitmen  akan menindak tegas perusahaan tambang yang belum membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sampai waktu yang ditentukan tiba.

Kewajiban membangun smelter tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba, diantaranya mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentahnya.

Baca juga : Analisis Hukum Evaluasi Kinerja UU Minerba Pasca Adanya UU Cipta Kerja

Dalam Undang-Undang Minerba ditegaskan pembangunan smelter selambat-lambatnya dilakukan pada 12 Januari 2014  (kalau dihitung sekarang sudah 6 tahun kadaluarsa). Alasan utama ketetapan tersebut diantaranya karena ekspor bijih mineral yang terus meningkat sejak 2008, namun tidak memicu perkembangan sektor hilir pertambangan Minerba.

Kini enam tahun telah berlalu, kewajiban perusahaan tambang untuk membangun smelter sebagaimana amanat Undang Undang MInerba itu tidak pernah direalisasikan sebagaimana mestinya termasuk bagi perusahaan raksasa semacam PT. Freeport yang ada di Papua. Padahal dilihat dari sisi potensi sumberdaya terutama aspek finansial, seyogyanya tidak ada kendala bagi PT. Freeport untuk bisa merealisasikannya.

Baca juga : Gurihnya Bisnis Batubara Tapi Seretnya Pemasukan untuk Negara

Mengapa pembangunan smelter PT. Freeport itu terkatung katung pembangunannya ?. Seperti apa sanksi yang diberikan oleh pemerintah bagi  mereka yang mengabaikan pembangunan smelter yang merupakan kewajibannya ?, Mengapa Luhut cs beigtu ngotot pembangunan smelter PT. Freeport dilaksanakan di luar Papua?

Terkatung katung

Baca juga : Pemerintah Harus Patuhi Keputusan Judicial Review MK Soal UU Minerba

Rencana pembangunan smelter PT. Freeport sebenarnya sudah terdengar sejak lama. Rencana pembangunan itu sudah dilakukan sejak tahun 2017 yang lalu namun terus terkatung katung realisasinya. Setelah terjadi tarik ulur mengenai lokasi pembangunan smelter akhirnya ditetapkan pembangunan smelter berlokasi di Gresik Jawa Timur jauh dari Papua.

Kini dikabarkan pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan konsentrat (smelter) oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 4,9 persen kemajuannya. Padahal smelter tersebut sudah mulai direncanakan dibangun sejak 2017 lalu.

Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan pihaknya baru akan mengebut pembangunan smelter di Gresik ketika Kementerian ESDM memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga tahun 2041.

“Kami kan masih berunding dengan pemerintah, bukan divestasi saja. Ada kelangsungan operasi sampai 2041, jadi itu semua harus dalam satu kesepakatan,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (1/10) sebagaimana dikutip republika.

Adapun alasan PTFI menunggu IUPK terlebih dulu, yakni dikarenakan pembangunan smelter tidak murah. Dengan adanya kepastian beroperasi dengan jangka waktu lama, PTFI tidak akan merasa dirugikan dengan membangun smelter itu.

Pada hal menurut UU Minerba, IUPK diberikan secara bertahap alias  tidak bisa dilakukan sekaligus hingga 20 tahun. Untuk tahap pertama, IUPK berlaku sampai 2031 selanjutnya akan dievaluasi pelaksanaannya.

Terlihat disini bahwa dalam pembangunan smelter PTFI  sepertinya “menawar” dan mensyaratkan pembangunannya kalau ijinnya diperpanjang. Seolah olah kalau ijin tidak diperpanjang, pembangunan smelter tidak akan dilakunannya, pada hal pembangunan itu adalah perintah dari UU Minerba yang sudah lama diabaikannya.

Belum lagi kelar pembangunan smelter PT. Freeport di Gresik, pemerinta sudah ancang ancang lagi untuk mengkaji kembali lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang akan dibangun oleh PT Freeport Indonesia.

Seperti dilansir CNBC Indonesia tanggal 01 Pebruari 2020, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menuturkan, memang ada tiga opsi lokasi smelter  di Papua, Nusa Tenggara Barat, dan di Gresik. "Jadi utamanya, kami lihat, bu Menteri BUMN (saat itu Rini Soemarno) minta khusus ini dikaji. Smelter kan butuh banget listrik, nah ada dimana dan darimana yang murah, kalau yang murah itu kan dari air," ujar Fajar kepada media saat dijumpai di Jakarta, Jumat (1/2/2019).

Lebih lanjut, ia menuturkan, memang saat ini persiapan smelter dilakukan di Gresik, tetapi kemudian ada pertimbangan lain, yakni dari sisi sumber energi, juga lokasi, dan kapasitas smelter. Saat ini, kata Fajar, kapasitas smelter di Gresik hanya bisa mengolah 30-40% tembaga dari kapasitas yang dihasilkan Freeport, jadi masih butuh untuk menambah smelter baru."Dalam waktu dekat akan diputuskan, pokoknya dalam lima tahun sudah harus jadi (smelter)," pungkas Fajar.

Pembangunan smelter di Gresik belum jelas penyelesaiannya, pemerintah kembali berencana untuk membangun smelter PT. Freeprot di Weda Bay Maluku Utara. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan  sebagaimana dikutip tempo.co 5 Juni 2020 menyatakan akan meminta PT Freeport Indonesia membuat smelter di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Menurut Luhut, dengan adanya smelter, kawasan industri tersebut akan terintegrasi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produksi.

"Jadi kita dapat asam sulfatnya untuk lithium baterai. Kita sekarang ingin bikin semua terintegrasi. Kalau enggak dibuat (terintegrasi), kita hanya bikinkan market untuk orang lain," tutur Luhut dalam diskusi bersama I`M GenZ melalui saluran virtual, Jumat, 5 Juni 2020.

Tarik ulur pembangunan smelter PT. Freeport yang tak kunjunga selesai menimbulkan kecurigaan ada apa dibalik itu semua. Apakah pembangunan smelter yang sudah menjadi kewajiban pengusaha menurut UU Minerba ini hanya dijadikan akal akalan saja ?

Pemerintah Yang Lemah

UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan adalah undang-undang yang pertama kali ada di Indonesia. UU ini dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Daerah dan sebagainya. Namun, sejak Februari 2009, UU Pokok Pertambangan diganti dengan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sejak itu peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan dirjen dan peraturan daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.11 Tahun 1967 berangsur-angsur turut berubah.

Teranyar, pada 11 Januari 2017 lalu , Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Setidaknya, ada dua alasan diterbitkannya PP tersebut.

Pertama, sebagai pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian didalam negeri.

Kedua, untuk memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan.

Terkait tindak lanjut pelaksanaan pengolahan pemurnian, batasan minimum pengolahan pemurnian serta penjualan ke luar negeri, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga menerbitkan dua Peraturan Menteri, yaitu Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017. 

Namun ketentuan /pengaturan terkait dengan pertambangan yang ada tersebut nampak amburadul dilihat dari sisi konstruksi hukumnya. Karena aturan pelaksanaan bisa sejajar dengan UU No.4 Tahun 2009, bahkan yang namanya peraturan pelaksanaan bisa lebih tinggi dari pada UU. 

Sebagai contoh soal pengaturan ekspor mineral logam yang menurut amanah UU  No.4 Tahun 2009 telah jelas disebutkan limitasi toleransi waktunya, namun kemudian limitasi waktu tersebut sering mengalami perubahan akibat penyesuaian-penyesuaian dalam perubahan kedua dan keempat PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.

Di Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009, Pemegang kontrak yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 ini secara tersurat memberi limitasi bagi para pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan aktifitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU No.4 Tahun 2009 dikeluarkan.

Pengaturan dalam kedua pasal tersebut di atas kemudian dikuatkan dengan lahirnya PP No.23 Tahun 2010 yang mewajibkan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian bagi pemegang IUP atau IUPK yang berasal dari hasil penyesuaian kuasa pertambangan paling lambat 12 Januari 2014.

Persoalan kemudian muncul ketika disaat berakhirnya batas ekspor mineral mentah ke luar negeri, pemerintah kemudian mengeluarkan PP No.1 Tahun 2014 yang merupakan perubahan kedua atas PP No.23 Tahun 2010. PP No.1 Tahun 2014 mengatur tentang pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian bagi pemegang IUP/IUPK paling lambat 12 Januari 2017. Artinya, dengan terbitnya PP ini, Pemerintah memberikan toleransi kepada perusahaan tambang pemegang IUP/IUPK yang belum melakukan aktifitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, selambat-lambatnya 5 tahun sejak PP ini diterbitkan.

Pemerintah yang pada saat itu diwakili oleh Menteri ESDM Jero Wacik, sebagaimana dirilis Asosiasi Pertambangan Indonesia melalui website resminya ima-api.com, mengemukakan alasannya bahwa kebijakan ini ditempuh untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan berkurangnya pemasukan negara. "Jangan sampai ada PHK besar-besaran ketika pemerintah memberlakukan amanat UU Minerba.

Kebijakan Pemerintah yang memberikan relaksasi ekspor mineral logam yang pertama ini kontan mengundang respons publik. Indonesia Resources Studies (IRESS) saat itu menilai pemerintah melanggar UUD 1945 dan UU No.4 Tahun 2009 jika masih membolehkan ekspor konsentrat pasca 12 Januari 2014.

Persoalan yang sama kembali terulang. Saat batas waktu toleransi ekspor yang diberikan pemerintah akan habis per 12 Januari 2017 yang lalu, di tanggal yang bersamaan, pada 11 Januari 2017 pemerintah mengeluarkan 3 regulasi terkait tata kelola minerba secara sekaligus.

PP No. 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan keempat atas PP 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pegolahan dan Pemurnian, serta Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Ekspor. Melalui Permen ESDM No.5 Tahun 2017, pemerintah kembali memberikan relaksasi terhadap limit ketentuan ekspor kepada pemegang IUP/IUPK sampai 5 tahun ke depan.

Terus dilakukannya perpanjangan / relaksasi terhadap limitasi ketentuan ekspor kepada pemegang IUP/IUPK ini tentunya memunculkan adanya keanehan yang sekaligus kelemahan pemerintah ketika berhadapan dengan pengusaha tambang. Kelemahan dan ketidategasan ini telah meruntuhkan wibawa pemerintah dimata pengusaha karena ternyata hukum bisa dimainkan sesuai kehendak pengusaha. Melanggar ketentuan tidak apa apa toh pemerintah nanti tidak akan berani menegakkan hukumnya begitu kira kira persepsi pengusaha pemegang IUP/IUPK.

Pada hal sejak pemerintah jaman SBY ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  dipegang oleh Jero Wacik sudah koar koar akan memberikan sanksi diantaranya menghentikan kontrak karya bagi perusahaan tambang di Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban membangun smelter hingga akhir 2014.

Pemeriintah akan menindak tegas perusahaan tambang yang belum menunjukkan niatnya membangun smelter, pemerintah juga akan memberikan insentif untuk pengusaha pertambangan yang koperatif.“Kalau yang tidak membangun ada penalti, maka yang membangun harus ada insentif. Apa bentuknya kita siapkan,” ujarnya sebagaimana dikutip dari media, 22/11/2013 lalu.

Ancaman untuk memberikan sanksi kepada PT. Freeport sebagai pemegang IUP/IUPK juga ditebar oleh Pemerintah Jokowi melalui Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji. Sebagaimana diberitakan tirto.id 26/7/2017, Izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia akan dicabut oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) jika perusahaan tersebut tidak menyelesaikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral "smelter"nya. 

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji mengatakan pemerintah akan mengontrol pembangunan smelter Freeport setiap 6 bulan. "Terkait sanksi, nanti ada wacana dari Kemenkumham dalam mengontrol kemajuan agar Freeport sungguh-sungguh bangun smelter. Kita berikan izin untuk mempercepat pembangunan dan dievaluasi setiap enam bulan. Apakah nanti dibekukan atau dicabut dan sebagainya," kata Teguh dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (26/7/2017).

Namun sanksi yang akan diberikan itu seperti biasanya akan berakhir begitu saja tanpa ada realisasinya. Hanya pepesan kosong seolah olah pemerintah tegas tapi kenyataannya tidak ada nyalinya Pemerintah terkesan tidak berdaya ketika berhadapan dengan swasta multinasional kakap seperti PT. Freeport misalnya. 

PTFI  sudah terbukti  tidak punya iktikad baik untuk membangun smelter sebagaimana dipersyaratkan UU Minerba. Ia baru mau melanjutkan pembangunan smelter jika diberikan kepastian perpanjangan kontrak operasi 2021-2041. PTFI  selalu mengatasnamakan Kontrak Karya (KK) untuk melanggar sejumlah undang-undang atau peraturan di Indonesia. Padahal, Pasal 3 kontrak karya ditegaskan bahwa PTFI adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia yang mana tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.

Cara pandang PTFI  yang menganggap dirinya setara dengan pemerintah adalah cara pandang keliru.  Namun kekeliruan itu nampaknya seperti di maklumi saja oleh pemerintah kita. Perlu dipertanyakan disini tentunya, pantas sebuah negara yang katanya berdaulat harus  kalah dengan perusahaan swasta ?.

Akal Akalan Belaka ?

Selain penegakan hukum yang sangat lemah, pembangunan smelter, PTFI  juga diwarnai kejanggalan mengenai lokasi pembangunannya yang selalu berpindah pindah seolah-olah itu hanya modus untuk mengulur ulur waktu saja.

Belakangan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjahitan yang meminta PTFI  membangun smelter di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Karuan saja rencana pembangunan smelter di luar Papua ini mendapatkan penolakan dari warga Papua. Sebagai contoh  Sekretaris Umum Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Papua, Yance Mote yang melakukan penolakannya. Ia menegaskan smelter PTFI  harus dibangun di Papua, demi menyejahterakan Papua.

“Kalau kita bicara konsep industri, dari hulu sampai hilir harus tetap berada di satu daerah, agar perputaran ekonomi dan kemajuan daerah [penghasil bahan baku industri hulu] berkembang pesat. Jadi smelter PTFI harus dibangun di Papua,” kata Mote sebagaimana dikutip Jubi.com, Sabtu (6/6/2020).

Mote menegaskan wacana pembangunan smelter PTFI  di luar Papua akan merugikan Provinsi Papua dan orang Papua. “Tidak ada cerita smelter itu dibangun di luar Papua.  Sebab, kami rakyat Papua juga mau menikmati pajak, pendapatan asli daerah, dan penyerapan tenaga kerja yang akan dimunculkan dari pembangunan smelter itu. Kami menolak smelter (PTFI) dibangun di luar Papua,” tegasnya.

Mote mengatakan kucuran Dana Otonomi Khusus akan mulai berkurang banyak pada 2021, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Menurutnya, Pemerintah Provinsi Papua harus mengumpulkan sebanyak mungkin potensi pendapatan asli daerah sebagai pengganti Dana Otonomi Khusus Papua yang berkurang.“Apa susahnya [membangun industri pertambanan dari] hulu sampai hilir di Papua? Dampak ekonomi dan kesejateraan rakyat akan lebih besar, dan pengangguran di Papua akan berkurang,” ujarnya.

Pendapat senada disampaikan oleh Anggota DPD dari Provinsi Papua, Charles Simaremare,sebagaimana dikutip republika co.id 26/01/2015,  Charles menyayangkan PTFI  belum menunjukkan komitmennya untuk membangun smelter di Papua. Padahal, menurut dia, aspirasi masyarakat Papua saat ini ingin pembangunan smelter segera direalisasikan."Pemerintah harus mendesak Freeport bangun smelter, karena smelter kebutuhan di sini," katanya. 

Menurut dia, smelter akan memberikan kehidupan ekonomi baru bagi masyarakat Papua. Sebab, dengan adanya smelter akan ada lapangan kerja baru, serta menggerakkan sendi ekonomi lain seperti sektor perdagangan. Namun, smelter bukan satu-satunya keinginan masyarakat Papua.

Pentingnya pembangunan smelter PTFI di Papua juga disuarakan oleh mantan Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Partai Nasdem, Kurtubi yakin, jika semua pihak ingin pembangunan dan manfaat lebih untuk masyarakat Papua, fasilitas pemurnian bijih mineral (smelter) PTFI  bisa dibangun di Papua.

"Kalau semua pihak bersepakat all out termasuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat saya rasa bisa dalam waktu tiga tahun," kata Kurtubi ditemui usai Rapat Dengar Pendapat dengan PTFI,  Selasa (27/1/2015) sebagaiman dikutip kompas.com. Jika semua sepakat memajukan Papua, Kurtubi yakin smelter PTFI bisa beroperasi pada 2017, sesuai dengan ketentuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Optimisme Kurtubi bahwa smelter di Papua bisa beroperasi pada 2017 didasarkan pada ketersediaan tanah dan listrik. "Tanahnya ada, pembebasan lahan tidak perlu kalau di Papua," lanjut Kurtubi. Begitupun dengan ketersediaan listrik. Menurut Kurtubi, biaya yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik tidak terlampau besar, sebab sifatnya hanya ekspansi. "Dia sudah punya pembangkit sekarang, tinggal ditambahi kapasitasnya. Lebih-lebih kalau dia bahan bakunya batubara, jadi lebih murah. Jadi, listrik tidak bisa jadi alasan untuk ngeles (menghindar)," tegas Kurtubi. 

Selain alasan alasan yang dikemukakan warga Papua dan pengamat Dr. Kurtubi diatas, kita harusnya juga berkaca pada pengalaman pelaksanaan penambanga di dunia dimana  pertambangan yang sukses adalah pertambangan yang terintegrasi pembangunannya.

 Seperti kita ketahui bersama Industri sumber daya alam tidak terbaharukan, khususnya migas dan tambang, ada prosesnya  mulai dari hulunya, eksplorasi – mencari cadangan di perut bumi. Lalu tahap berikutnya adalah eksploitasi atau produksi yaitu cadangan tersebut diangkat ke permukaan bumi. Yang diangkat ini adalah bahan baku, masih berupa batu-batu. Tahapan selanjutnya adalah, bahan baku tersebut diolah, atau dimurnikan. Ini adalah sektor hilir.

Perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir amat sangat efisien. Terbukti di Amerika Serikat dimana efisiensinya sangat tinggi, daripada perusahaan yang bergerak di hulu saja yaitu  yang hanya memproduksi bahan baku.

Dalam kasus PTFI, hasil tambang mentah tidak hanya dijadikan batu-batu kecil, tapi sudah dijadikan bubur – ini yang disebut konsentrat. Mereka mengekspor dalam bentuk konsentrat. Dalam bentuk ini, belum ketahuan berapa kandungan emas atau tembaganya. Di luar negeri baru dimurnikan atau dismelter. Tentunya, produk hilir ini yang merupakan tembaga/emas/perak yang sebenarnya, bukan bubur konsentrat lagi, memiliki harga jual yang sangat tinggi! 

Perusahaan yang bergerak dari hulu sampai hilir, sampai dia jual emasnya, atau jual tembaganya dalam bentuk logam tembaga, itu luar biasa untungnya. Inilah yang disebut dengan perusahaan yang terintegrasi.

Selama ini Freeport bergerak dengan menjual bahan baku atau konsentrat selama 30-40 tahun, dan juga proses smelternya mereka punya sendirii konon katanya ada  di Jepang, Amerika, Spanyol. Kalau di negara-negara ini proses smelternya diberhentikan, berarti mereka akan nganggur.

Jadi fenomena ini mungkin yang membuat mereka sebagai sebuah kerugian sehingga harus diperhitungkan . Pada hal kalau Freeport mau membangun smelter di Papua akan menghemat ongkos kirim konsentrat yang selama 40 tahun ini mereka ekspor keluar negeri untuk dimurnikah. Jadi kalau mereka membangun smelter di lokasi tambang atau di Papua sesunggunya ongkos angkut itu jadi nol sehingga menjadi  efisien. Tapi mengapa mereka tidak mau melakukannya ?

Sejauh ini alasan Freeport  enggan membangun smelter di Papua karena alasan sulit listrik, atau sulit infrastruktur, atau sulit mencari lahan untuk membangun pembangkit listrik, rasanya ini alasan-alasan yang tidak masuk akal dan dibuat buat. Karena Freeport  punya tanah luasnya ribuan hektar sehingga soal pengadaan lahan seharusnya bukan lagi jadi masalah . Demikian juga halnya soal listrik, bisa lebih murah listrik mereka, jika pembangkit listrik yang sudah mereka punyai saat ini dibesarkan kapasitasnya. Pastinya jatuhnya lebih murah daripada membangun pembangkit baru di luar Papua.

Harus diingat pula bahwa  propinsi-propinsi tambang itu umumnya propinsi-propinsi termiskin di Indonesia. Data BPS menunjukkan, Papua termasuk 7 propinsi termiskin di Indonesia. Padahal mereka punya tambang Freeport yang luar biasa hasilnya. Makanya kalau smelter di bangun dilokasi tambangnya harusnya didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa demi keadilan antar anak anak bangsa.

Jadi sekurang kurangnya ada tiga alasan mengapa smelter Freeport harus dibangun di Papua. Yang pertama untuk pemerataan pembangunan, karena daerah tambang pembangunannya sangat tertinggal. Yang kedua untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar provinsi dan juga ketimpangan penduduk antar penduduk (mengurangi indeks GINI). 

Yang ketiga, demi keadilan; selama ini daerah penghasil tambang memperoleh sebagian yang relatif sangat kecil, berasal dari kegiatan penambangan yang ada di daerahnya (yaitu: dana bagi hasil yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dibayar oleh perusahaan tambang ke pemerintah yang dibagi ke pemerintah daerah). 

Pajak yang dibayar oleh penambang kepada pemerintah, 100% ke pemerintah pusat tidak ke daerah. Sehingga, daerah tambang mendapatkan bagian yang sangat kecil dari penerimaan negara dari perusahaan tambang di daerah tersebut.

Dengan alasan-alasan yang dikemukakan diatas kiranya patut dipertanyakan kalau Menko Maritim Luhut Panjaitan masih tetap ngotot akan  membangun smelter PT. Freeport di Maluku Utara. Apalagi ada kewajiban bagi PT Freeport untuk mengajak mitra lokal ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan smelter. Mitra lokal inilah yang dinilai pengamat pertambangan, sebagai pintu masuk perusahaan Luhut Panjaitan dan mitranya untuk dapat menikmati keuntungan dari bisnis smelter.

Luhut tahu persis bahwa dia dan mitranya bisa rugi besar kalau smelter dibangun di tanah Papua, karena setiap saat pasti ada saja demo warga setempat dan kemungkinan bisa saja Papua lepas dari RI seperti Timor Leste. Kalau dibangun di Maluku lebih aman, karena lebih sulit Maluku lepas dari NKRI. Jadi jelaslah untuk kepentingan siapakah kiranya smelter ini ? Jangan-jangan ini juga modus untuk mengulur-ulur waktu untuk membangun smelter yang telah menjadi kewajiban pengusaha tambang sesuai amanat UU Minerba.

Seperti layang-layang saja tarik ulur tapi tidak jelas endingnya. Seolah-olah pemerintah memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan mendorong PTFI  membangun smelter tapi semua itu hanya dalih semata karena ketika PTFI  tak kelar juga memenuhi kewajibannya, tidak ada sanksi apa-apa. Indikasi itu makin jelas belakangan ini ketika PTFI meminta penundaan pembangunan smelter dengan alasan adanya pandemi corona. Duh akalan-akalan model macam apa lagi yang mereka pamerkan untuk rakyat  Indonesia ?