Pakar HTN Fahri Bachmid: Konsekwensi Deregulasi Melalui Omnibus Law!

Jakarta, law-justice.co - DPR akan mulai membahas Omnibus Law Rancangan Undangan-Undang atau RUU Cipta Kerja pada akhir Maret 2020 mendatang.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makassar Dr Fahri Bachmid SH MH meminta DPR harus cermat dan teliti ketika membahas RUU Cita Kerja. Sebab, ada konsekuensi yuridis, teknis, dan substansial melalui mekanisme Omnibus Law.

Baca juga : Pakar UGM Beberkan Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

"Skema omnibus law RUU Cipta Kerja memang digunakan untuk kepentingan deregulasi demi menghindari tumpang tindih dan mewujudkan efesiensi dan implementasi kebijakan," kata Fahri Bachmid dalam keterangan persnya, Sabtu (7/3/2020).

Fahri mengemukakan, urgensi dari Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena ada dinamika perubahan global, sehingga perlu direspons secata cepat dan tepat.

Baca juga : Yusril Ungkit Putusan MK usai Didoakan Hotman Jadi Jaksa Agung

Jika tanpa reformulasi kebijakan, ujar Fahri, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan dan ketinggalan oleh negara lain.

"Dengan pranata Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja diharapkan terjadi pertumbuhan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakan semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan peningkatan produktivitas. Jika Omnibus Law tidak dilakukan, lapangan pekerjaan akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif. hal ini merupakan urgensi dari Omnibus Law," ujar dia.

Baca juga : Ketika Bu Mega PDIP Bertanggung Jawab Penuh Untuk Hentikan Jokowi

Fahri Bachmid menuturkan, konsepsi dan penerapan Omnibus Law secara teoritik merupakan metode yang digunakan untuk mengganti dan atau mencabut ketentuan dalam UU atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam undang-undang ke dalam satu UU tematik.

Beberapa negara lain, tutur Fahri, telah menggunakan Omnibus Law untuk memperbaiki regulasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja (job creation) dan meningkatkan iklim dan daya saing investasi walaupun konsep Omnibus Law merupakan tradisi sistem hukum “Anglo Sexon” atau Rule of Law”,

"Secara general (umum) konsep Omnibus Law belum populer di Indonesia. Namun terdapat beberapa UU yang sudah menerapkan konsep tersebut. Seperti UU Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan Perpajakan menjadi UU yang hakikatnya mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU," ungkap Fahri.

Lebih lanjut, Fahri mengatakan, manfaat penerapan Omnibus Law di Indonesia salah satunya adalah menyelesaikan keadaan hiper regulation yang mana saat ini secara positif terdapat 8.451 Peraturan Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah.

Secara teknis perundang-undangan, hiper regulation itu mendiskripsikan bagaimana kompleksitas regulasi di negara ini dan sangat rumit untuk diurai.

"Dengan demikian sebagai konsekuensi penerapan pranata Omnibus Law, maka Undang-undang existing (telah ada sebelumnya) masih tetap berlaku, kecuali sebagian pasal (materi hukum) yang telah diganti atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang existing tidak diberlakukan lagi apabila pasal (materi hukum) yang diganti atau dinyatakan tidak berlaku yang merupakan esensi serta jantung dari UU tersebut," kata Fahri.

Secara teknis yuridis, ujar dia, dalam rangka penyiapan regulasi pelaksana Omnibus Law, maka secara paralel dengan proses pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja bersama DPR RI saat ini, masing-masing menteri atau kepala lembaga harus menyiapkan regulasi teknis sebagai derivatif atas pengaturan Omnibus Law.

Seperti perizinan lokasi, lingkungan, bangunan gedung, dan sektor, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, UMKM, pengadaan tanah, investasi dan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.

"Konsekuensi hukum dari penerapan Omnibus Law sebagai suatu sistem perundang-undangan, tandas Fahri, maka dampak teknisnya adalah ada sekitar 79 UU yang bakal terkena pembatalan, baik sebagaian pada pasal atau ayat tertentu maupun mengganti atau mencabut UU tertentu, atau bagian dari UU tertentu, yang membutuhkan kajian mendalam serta diharmonisasi secara cermat dan hati-hati agar sistem hukum kita tidak rusak atau terjadi kekacauan pada aspek penerapan dilapangan," tandas Fahri.

Untuk itu, Fahri menegaskan bahwa DPR tidak boleh menganggap sederhana draf materi Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pembahasan harus dilakukan secara cermat dan teliti, sehingga visi pembangunan nasional, khususnya pada sektor ekonomi dapat berjalan dengan baik dan proporsional di bawah payung konsep hukum Omnibus Law.

Di sisi lain, ujar dia, tidak mengacaukan sistem hukum nasional yang sudah dibangun secara positif dengan regulasi existing yang telah berjalan selama ini.

Hal ini membutuhkan energi besar dengan melibatkan pakar, ahli hukum, dan ahli tata negara. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan membangun sistem dalam kerangka hukum tata negara.

Kemudian aspek yang wajib dipedomani adalah konsep Omnibus Law harus senantiasa berjalan di atas rel dan berdimensi hak asasi manusia (HAM) sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi (UUD NRI 1945).

"Instrumen HAM merupakan salah satu aspek penting dan strategis untuk dipedomani agar ke depan jika telah diberlakukan, Omnibus Law sebagai hukum positif tidak digugat oleh warga negara ke MK karena dinilai melanggar hak konstitusional. Jadi hal ini yang sejak semula harus dibahas secara baik dan hati-hati," pungkas dia. (sindonews).